Oleh: Fakihah Farhah Faridaashri, S.E.
(Aktivis Muslimah)
CemerlangMedia.Com — Kawula muda tengah terancam dengan julukan “homeless millennial generation.” Bagaimana tidak, harga rumah di berbagai wilayah Indonesia terus meningkat. Dengan daya beli yang rendah, masyarakat menjadi tidak mampu untuk membeli rumah yang harganya selangit. Padahal rumah alias kebutuhan papan merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok hidup manusia. Lantas, harus bagaimana?
Harga Rumah Melangit
Harga rumah terus meningkat dari tahun ke tahun. Masyarakat harus mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk membeli rumah, bahkan harga rumah saat ini sudah tembus mencapai miliaran. Menurut data Leads Property, harga rata-rata rumah komersial per unit di Jabodetabek sudah mencapai Rp2,5 miliar. Persebaran rumah subsidi di antaranya berada di wilayah pinggiran Depok, Tangerang, serta Bogor. Namun, harga rumah di wilayah tersebut pun sudah tinggi, di antaranya Bekasi mencapai Rp1,5 miliar, Depok (Rp1,8 miliar), Bogor (Rp0,9 miliar), dan Tangerang (Rp3,1 miliar) (CNBC Indonesia, 1-12-2023).
Harga rumah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya. Tren kenaikan harga rumah di Indonesia terekam dalam Survei Harga Properti Residensi (SHPR) triwulan II 2023 yang dilakukan Bank Indonesia. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) triwulan II 2023 tercatat naik sebesar 1,92% year on year, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pada triwulan sebelumnya yang sebesar 1,79% (yoy). Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono mengatakan harga rumah yang meningkat pada triwulan II 2023 terutama terjadi di Kota Batam, Jabodebek-Banten, dan Denpasar (CNBC Indonesia, 4-9-2023).
Dengan melangitnya harga rumah tersebut, makin banyak warga yang tidak mampu membeli rumah. Hal tersebut tercermin dari backlog kepemilikan rumah di Indonesia yang masih sangat tinggi, yakni mencapai 12,7 juta. Angka tersebut merupakan perkiraan data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Rumah dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR), 10 jutanya adalah untuk di perkotaan, sementara di pedesaan sebesar 2,7 juta. Angka backlog menunjukkan jumlah kekurangan rumah yang dihitung berdasarkan selisih antara jumlah kepala keluarga dengan jumlah rumah yang ada. Angka backlog tersebut sulit turun karena terus meningkatnya kebutuhan rumah karena penambahan jumlah penduduk di tengah keterbatasan lahan dan mahalnya suku bunga kredit kepemilikan rumah (CNBC Indonesia, 8-8-2023).
Ini Penyebabnya
Banyaknya mal-mal dan bangunan-bangunan mewah di perkotaan menjadi salah satu sebab tingginya harga tanah dan rumah. Director Research & Consultancy Services Leads Property Martin Samuel Hutapea mengungkapkan bahwa tingginya rata-rata harga rumah di Tangerang, yakni sebesar Rp3,1 miliar itu dikarenakan township-township di Tangsel, BSD, Summarecon, dan Alam Sutera (CNBC Indonesia, 1-12-2023).
Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah demi mempermudah masyarakat membeli rumah adalah dengan memperpanjang masa tenor Kredit Pemilikan Rumah (KPR), yang awalnya masa tenor KPR hanya 10 hingga 15 tahun, sekarang diperpanjang menjadi 20-35 tahun. Hal ini karena biasanya penduduk Indonesia membeli rumah di usia 30 tahun, maka tepat 25 tahun kemudian, yakni di usia 55 tahun mereka pensiun dan berakhirnya masa tenor KPR.
Terlihat menggiurkan, tetapi sebenarnya iming-iming tersebut hanya akan menyengsarakan rakyat karena dihantui dengan utang seumur hidup tentu tidak enak. Belum lagi dengan tingginya bunga cicilan rumah yang memberatkan rakyat. Hal ini tentu miris karena dengan kebijakan ini berarti sama saja bahwa penguasa secara sengaja mencekik rakyat dengan bunga yang tinggi dan berkepanjangan hanya untuk membeli rumah.
Selain itu, menurut pandangan lain dari Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah, harga rumah memang sulit turun. Hal tersebut disebabkan semua harga bahan untuk membangun rumah juga naik, mulai dari harga besi, semen, hingga tanah. Harga tanah dapat dipastikan naik karena beberapa daerah pinggiran sudah menjadi daerah tengah kota sehingga permintaan rumah terus tinggi yang berimbas pada harga tanah meningkat (Republika, 25-10-2023).
Namun, sayangnya, kemampuan membeli masyarakat masih sangat terbatas. Sementara, kecenderungan pihak pengelola perumahan tetap mematok harga rumah yang tinggi demi mengejar keuntungan lebih banyak. Pemerintah pun enggan menurunkan harga rumah tersebut dengan alasan jika hal tersebut dilakukan, maka pengelola perumahan tidak mau lagi membangun perumahan sehingga akan menjadi hal yang membahayakan negara. Konsep tersebut mencerminkan betapa penguasa lebih memihak kepada kepentingan orang bermodal daripada rakyatnya sendiri.
Begitulah cerminan profil penguasa yang lahir dari sistem kapitalisme demokrasi ini. Penguasa berorientasi materialistik dan hanya menjadi regulator bagi para pemilik modal, sangat jauh dari cerminan penguasa yang melayani rakyatnya. Hal ini menjadi jelas bagi kita bahwa sudah sepantasnya untuk tidak menaruh harap kepada sistem kapitalisme saat ini yang selalu membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Tuntunan Islam
Dalam Islam, negara sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan papan karena menjadi kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi selain pangan dan sandang. Jika penguasa saat ini melakukan pembangunan dan pengelolaan perumahan dengan orientasi kapitalistik, tidak demikian dengan Islam. Sebab, Islam membangun perumahan dengan orientasi pengurusan kebutuhan rakyat.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memiliki aturan khusus untuk mengelola urusan tempat tinggal. Urusan papan menjadi tanggung jawab kepala keluarga terlebih dahulu. Bahwa yang menjadi kewajiban kepala rumah tangga alias suami adalah memenuhi tiga kebutuhan dasar, yakni sandang, pangan, dan papan. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan kewajiban bekerja bagi setiap laki-laki sebagai kepala keluarga. Adapun yang menjadi tanggung jawab negara untuk dipenuhi adalah dalam urusan kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Negara Islam membantu secara tidak langsung setiap keluarga untuk memiliki rumah. Peran negara Islam dalam memenuhi kebutuhan papan alias tempat hunian bagi rakyatnya adalah dengan menyediakan lapangan kerja yang luas. Dengan pengelolaan tersebut, tidak akan ada laki-laki pengangguran yang menyebabkan ia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, salah satunya kebutuhan akan tempat tinggal. Penyediaan lapangan pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh negara Islam dengan berbagai cara, seperti membuka lapangan pekerjaan baru, memberikan lahan untuk diolah, atau memberikan modal usaha bagi para kepala keluarga. Dengan pengelolaan tersebut, masyarakat menjadi bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Selanjutnya, jika ada rakyat yang tidak mampu bekerja karena alasan syar’i, seperti sakit keras misalnya, maka sudah menjadi kewajiban bagi keluarganya untuk membantu memenuhi kebutuhannya dengan memberikan tempat tinggal, pakaian, hingga makanan. Namun, jika individu ataupun keluarga ternyata belum mampu memenuhi kebutuhan dasar tersebut, maka kewajiban memenuhi kebutuhan dasar itu beralih kepada negara, tempat tinggal itu bisa dibangun dari uang negara atau dari harta milik umum, dan kebijakan pemberiannya sesuai dengan ijtihad yang ditetapkan. Rumah tersebut pun dapat dijual dengan harga terjangkau, disewakan, bahkan dapat diberikan secara gratis.
Di samping pengelolaan di atas, Islam juga memiliki aturan lain yang mendukung rakyat memiliki rumah, seperti kebijakan larangan menelantarkan tanah, mengatur sebab-sebab kepemilikan tanah, mengelola tanah yang tidak ada pemiliknya untuk dijual, dikelola, atau diberikan kepada yang membutuhkan, mengelola harta milik umum, juga mengatur transaksi yang beredar di masyarakat menjadi transaksi yang halal dan memudahkan. Semua hal tersebut hanya bisa diniscayakan, jika Islam diterapkan dalam lingkup negara, yakni Khil4f4h Islam. Wallahu a’lam. [CM/NA]