Hari Pahlawan dan Peminggiran Islam

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Nunik Umma Fayha

CemerlangMedia.Com — 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan sebagai penghormatan atas kepahlawanan arek-arek Surabaya mempertahankan negeri. Pertempuran dahsyat dengan hanya bersenjata bambu runcing melawan senjata canggih Inggris dan tentara Gurkha pendukung Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia, arek-arek Surabaya berhasil memukul mundur musuh, merebut peralatan dan persenjataan Inggris.

Di Hotel Yamato, para pemuda pemberani berhasil merobek bendera tiga warna menjadi bendera Merah Putih. Keberanian dan semangat yang terus dibakar dengan pidato berapi-api dari Bung Tomo yang terus memekikkan takbir dari corong RRI. Kalah persenjataan, tetapi menang semangat juang yang dilandasi semangat jihad. Berjihad harus siap syahid dan itulah kedudukan tertinggi yang diimpikan setiap prajurit.

Sesungguhnya kemerdekaan negeri ini tidak lepas dari gerak kaum muslimin yang terus melawan penindasan, melawan penjajahan dengan semangat jihad. Semangat yang membuat jerih penjajah. Bahkan jihad di bawah Pangeran Diponegoro sampai membuat VOC/Belanda bangkrut.

Hari Pahlawan dan Resolusi Jihad

Dikeluarkannya resolusi jihad yang menjadi dasar diperingatinya Hari Santri, merupakan bukti kekuatan iman kaum muslimin yang direpresentasikan kalangan pesantren. Resolusi jihad sendiri adalah seruan yang dimotori K.H. Hasyim Asy’ari yang ditujukan bagi kalangan pesantren, baik ulama maupun santrinya. Resolusi ini juga diserukan pada setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan NKRI dari serangan penjajah.

Adapun sebagian isi resolusi, yaitu bahwa hukum memerangi orang kafir yang menghalangi kemerdekaan bagi setiap muslim adalah fardhu ‘ain. Hukum bagi setiap muslim yang meninggal dalam rangka melawan musuh adalah syahid. Dan bahwa hukum bagi mereka yang memecah belah persatuan adalah dibunuh. Seruan ini dikeluarkan karena saat itu, negeri yang belum seumur jagung merdeka sedang menghadapi pasukan musuh yang menghendaki kembalinya penjajahan atas bumi Indonesia.

Arek Surabaya dengan gagah berani didukung satuan laskar dari pondok-pondok pesantren berbagai kota di Jawa, menjadi momok menakutkan bagi pasukan musuh. Kendaraan perang direbut atau dihancurkan. Bahkan pasukan Inggris kehilangan petingginya, Brigadir Jenderal Mallaby tewas tertembak sehingga memunculkan kemarahan Inggris. Dahsyatnya pertempuran yang berpuncak pada 10 November 1945 menjadi saksi penanda bahwa semangat jihad di kalangan muslim mampu mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan.

Islam Dipinggirkan, Penulisan Sejarah Indonesia Mengalami de-Islamisasi

Dalam buku “Api Sejarah” yang disusun Ahmad Mansyur Suryanegara, peran ulama dan santri tidak mendapat tempat dalam penulisan sejarah. Yang menyedihkan, kalangan awam bahkan cendekiawan muslim mengira penulisan sejarah yang benar adalah penulisan oleh sejarawan Belanda.

Termasuk pada diorama di monumen nasional. Di situ digambarkan bahwa pesantren menjadi pemersatu bangsa hingga abad ke-14, tetapi setelahnya -sampai abad ke-20- yang dianggap pemersatu adalah kalangan nasrani. Peran sejarah organisasi Islam seperti NU, Persis, PUI dan lainnya ditiadakan kecuali Muhammadiyah. Dan anehnya, meski didirikan lebih dahulu dibanding Taman Siswa, tetapi urutannya malah di belakang. SI, dan semua Partai Islam tidak dituliskan di sana (Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, jilid kesatu, 2015).

Hal ini tentu berbeda dengan fakta sejarah termasuk apa yang terjadi dalam pertempuran besar di Surabaya yang jelas-jelas didasari semangat jihad dari arek-arek Surabaya dan para ulama beserta santrinya dari berbagai penjuru. Taufik Abdullah menyatakan, sejarah bukan untuk dihafal oleh generasi selanjutnya. Sejarah menyangkut kearifan. “Maka, harus belajar sejarah supaya tidak hanya tahu apa yang terjadi, tetapi tahu juga kenapa itu terjadi,” ujarnya (cnnindonesia.com).

Ustaz Ismail Yusanto juga pernah menegaskan tentang penulisan sejarah. Beliau menyampaikan bahwa sejarah mestinya bukan sekadar digging up the past (mengungkap masa lalu), tetapi digging up the truth (mengungkap kebenaran). Beliau juga menyatakan bahwa sejarah tidaklah selalu netral. “Sejarah adalah realitas tangan kedua (second hand reality) yang sangat tergantung pada siapa yang menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis,” paparnya (mediaumat.id).

Penulisan sejarah yang terdistorsi ini tidak lepas dari kesalahan umat. Para ulama sebagai pimpinan umat dan pondok-pondok pesantren lebih fokus pada budaya lisan. Budaya yang memang berurat akar di Nusantara. Akibatnya, saat ini generasi muda tidak merasakan dan tidak paham bahwa dahulu umat Islam adalah garda terdepan pertahanan negara.

Penulisan sejarah para pahlawan yang berjuang dengan semangat jihad dihilangkan ruh Islamnya dan hanya diangkat sebagai nasionalisme belaka. Terlebih saat ini kita lihat hari santri, hari pahlawan hanya diperingati dalam upacara dengan ruh yang sudah melenceng dari awalnya.

Dalam pendidikan, sirah hanya diberikan sebatas sejarah, tanpa pengenalan lebih dalam. Dianggap sekadar cerita, bukan sesuatu yang harusnya memantik dan menumbuhkan kecintaan pada agama maupun para teladan utama.

Umat dan Penguasa

Di mata penguasa, santri dan pondok pesantren saat ini tidak lebih hanya dianggap sebagai objek ekonomi. Seperti di Jawa Barat, ada lebih 8000 pondok yang dianggap menyimpan potensi emas karena memiliki SDM usia produktif sehingga diharapkan mampu memperkuat ketahanan pangan dan menggerakkan roda ekonomi di masa depan (detik.com, 15-11-2023).

Di sisi lain, pondok juga digempur dengan moderasi beragama dengan 9 poin prinsip moderasi yang harus jadi pegangan para santri. Prinsip yang diharapkan yaitu tawassuth/ mengambil jalan tengah, i’tidal/ bersikap objektif, tasamuh/ toleran/ramah terhadap perbedaan, musyawarah atau berunding, ishlah/ menjaga kebaikan dan kedamaian, qudwah/ kepeloporan dalam memimpin, muwathohah/ cinta tanah air, anti kekerasan dan ramah terhadap budaya (tanatidung.kemenag.go.id). Tampak baik-baik saja, tetapi ketika didalami tiap poinnya, banyak yang membuat umat terpeleset bahkan tanpa disadari menjauh atau tidak selaras dengan Islam.

Berbagai kebijakan penguasa juga berpotensi mendiskreditkan umat dan Islam. Seperti yang baru disampaikan oleh Kapolri Jendral Listyo Sigit terkait konflik P4lestin4. Jelas sekali dasar pernyataannya menyakiti umat. Bahkan cnnindonesia.com (01-11-2023) membuat judul tebal, “Kapolri Klaim Perang Isr4el-P4l3stin4 Bangkitkan Sel Tidur Teroris”.

Klaim gegabah, termakan provokasi Isr4el dan AS yang menyebut konflik P4l3stin4 sebagai perang melawan terorisme. Umat yang kurang paham bisa menerima sebagai kebenaran karena diungkap oleh pejabat negara. Ditambah komentar para mantan napiter yang mengeklaim bahwa konflik akan memicu keinginan untuk ikut berperang di sana, tetapi karena keterbatasan dana bisa saja dilampiaskan di sini (kompas.com, 04-11-2023).

Senada dengan hal itu, Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI Dr. M. Najih Arromadloni menyebut bahwa perang Zionis-P4l3stin4 dipolitisasi kaum radikal untuk memgusung isu penegakan Khil4f4h dan menungganginya sehingga kontraproduktif (indonesiasatu.co, 17-11-2023). Sungguh sangat menyedihkan ketika saudara sesama muslim ikut nyinyir.

Dalam kontestasi pemilu pun umat mengalami pendiskreditan seperti dalam ungkapan politik identitas. Belum lagi aleg terpilih yang belum terbukti membawa suara umat. Apa yang dibutuhkan umat masih dalam senyap. Umat selalu harus berjuang sendiri meski sering dipersulit.

Untuk itu umat harus bersatu dalam visi dan misi yang dilandasi Islam, memilih diatur Islam daripada diatur oleh akal manusia karena kerusakannya sudah kasat mata. Sejarah membuktikan ketika Islam ditegakkan, kehidupan adil dan sejahtera bukan isapan jempol belaka. Oleh karena itu, Islam tidak boleh hanya di pinggir, tetapi harus ada di dalam setiap aspek kehidupan.

Wallahu a’lam bissawab [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *