#30HMBCM
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
CemerlangMedia.Com — Kembali sebagaimana ritual sebelumnya, 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Tahun ini, tema yang diangkat “Mengatasi Disrupsi dan Mentransformasi Respons AIDS”.
Dengan tema ini, UNAIDS hendak mengembalikan semangat solidaritas, setiap langkah kecil untuk memahami, menerima, dan mendampingi adalah kontribusi nyata dalam memutus rantai diskriminasi. Sekaligus untuk mengingatkan semua pihak akan dampak luas dari pemotongan pendanaan internasional dan kurangnya solidaritas global yang mengguncang negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang sangat terdampak HIV.
UNAIDS dalam laporan terbarunya memproyeksikan ada penurunan bantuan kesehatan eksternal sebesar 30-40 persen di tahun 2025 dibandingkan pada tahun 2023. Data ini berpotensial menyebabkan gangguan pelayanan kesehatan yang langsung terasa, bahkan lebih parah di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Winnie Byanyima, Direktur Eksekutif UNAIDS mengatakan, WHO bersama komunitas menyerukan kepemimpinan politik yang berkelanjutan, kerja sama internasional, dan pendekatan yang fokus pada HAM untuk mengakhiri AIDS di Tahun 2030.
Tahun ini, sungguh miris! Sebab, Jawa Timur (Jatim) mencatatkan wilayahnya mengalami lonjakan kasus baru HIV/AIDS tertinggi secara nasional. Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Jawa Timur tahun 2025 mendata, jumlah penderita HIV/AIDS di provinsi ini mencapai 65.238 orang. Hanya dalam kurun Januari-Maret tercatat penambahan 2.599 kasus baru yang tersebar di berbagai kabupaten dan kota.
Ratifikasi Kebijakan Global Jadi Acuan
AIDS/HIV bukan penyakit baru, tetapi juga bukan menjadi tema tetap untuk diperingati setiap tahunnya. Inilah bukti sistemkKapitalisme, memaksa fokus negara dan pejabat bukan pada akar persoalan, tetapi hanya simbolis atau pencitraan. Setiap langkah penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sering kali hanya meratifikasi kebijakan strategis dua lembaga internasional, yaitu UNAIDS dan WHO, seperti kondomisasi, subsitusi metadon, dan jarum suntik steril.
Jadilah selama ini, selain mengadakan peringatan setiap tahunnya, upaya yang dilakukan berputar pada edukasi berkelanjutan kepada masyarakat, perluasan skrining di fasilitas layanan kesehatan, serta peningkatan pendampingan bagi orang dengan HIV/AIDS untuk menekan laju penularan dan mengurangi stigma (detik.com,30-12-2025).
Sementara akar masalah tidak dibahas, padahal dampak HIV/AIDS ini sangat mengerikan. Tidak hanya pada pelaku, tetapi juga kelompok rentan, ibu dan anak dalam sebuah keluarga. Disebabkan penularan HIV/AIDS terjadi melalui dua jalur, yakni cairan kelamin dan darah. Alahsil, faktor risiko dari HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan dari praktik-praktik di masyarakat yang mulai dinormalisasi sebagai bentuk penghargaan HAM, yaitu bergonta-ganti pasangan, melalui jarum suntik, ibu hamil ke janin melalui plasenta dan melalui transfusi darah.
Berdasarkan data Kemenkes tahun 2023, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35 persen, lebih tinggi daripada kasus HIV pada kelompok lainnya, seperti kelompok suami pekerja seks dan kelompok men sex with men (MSM). Setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah ibu rumah tangga yang tertular, yaitu sebesar 5.100 kasus.
Penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga karena pengetahuan akan pencegahan dan dampak penyakit yang rendah serta memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko yang berisiko tinggi. Inilah mengapa masyarakat memiliki stigma negatif, ditambah dengan kapitalisasi kesehatan melalui BPJS yang tidak semua penyakit berat dan berbahaya ditutup pembiayaannya.
Ajakan Hapus Stigma Negatif Tetap Bukan Solusi
Anggota Fraksi PDIP DPRD Jawa Timur Hari Yulianto mengatakan, data lonjakan penderita HIV/AIDS di Jawa Timur itu patut menjadi alarm bagi pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat sehingga wajib bersatu melakukan langkah nyata. Pengobatan tidak cukup sebagai upaya penanganan, tetapi perlu membangun kesadaran dan kepedulian sosial.
Rendahnya pemahaman masyarakat mengenai cara penularan HIV menjadi salah satu faktor utama masih tingginya jumlah kasus. Di lapangan, masih banyak orang yang keliru mengira HIV dapat menular melalui sentuhan atau udara. Demikian pula dengan Senator DPD RI asal Jatim, Lia Istifhama, yang juga mengatakan, Jawa Timur menjadi wilayah yang mengalami lonjakan tertinggi menjadi pengingat serius.
Lia menegaskan, upaya pengendalian tidak cukup bertumpu pada angka dan pelaporan medis, tetapi membutuhkan keterlibatan sosial yang lebih luas, terutama dalam menghapus stigma yang masih kuat di masyarakat. Ia pun, dalam peringatan tahun ini, mendorong partisipasi publik yang lebih kuat dengan memberikan ruang yang aman bagi ODHA karena kita sedang membangun masyarakat yang lebih manusiawi (radarbangsa.co.id, 1-12-2025).
Respons masyarakat terhadap HIV/AIDS dan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sangatlah wajar, masyarakat sangat paham apa penyebab penyakit mengerikan ini merebak, sebagaimana peristiwa penggrebekan di salah satu kamar Hotel Midtown Residence Surabaya, (19-10-2025) lalu, yang dilakukan oleh Tim gabungan Polrestabes Surabaya yang terdiri dari Sat Samapta, Satreskim dan Polsek Wonokromo.
Aparat bergerak setelah mendapatkan laporan warga lokal yang mencurigai ada aktivitas tidak wajar. Hasilnya, telah diamankan 34 pria yang diduga terlibat dalam pesta seks sesama jenis (bicarasurabaya.com, 19-10-2025).
AKBP Erika membenarkan, bahkan mengatakan ada seorang ASN Kabupaten Sidoarjo yang turut ditangkap saat penggerebekan di hotel tersebut. Pihak management hotel meminta maaf kepada masyarakat karena tidak teliti memindai siapa-siapa tamunya. Namun tetap saja, fakta ini menjadi pengingat betapa beraninya kaum gay itu berbuat tidak senonoh di lingkungan masyakat mayoritas beragama Islam.
Kapitalisasi Kesehatan dalam Sistem Sekularisme
Semua pihak mendorong untuk mengubah stigma negatif kepada orang ODHA dan meminta peran aktif semua pihak untuk tidak melakukan tindakan diskriminasi ODHA di berbagai aktivitas sosial, seperti pendidikan, dunia kerja, juga pelayanan kesehatan. Karena stigma negatif ini justru dianggap sebagai hambatan besar pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Di sinilah yang harus dikritisi, pemerintah bahkan dunia global sibuk mendorong normalisasi stigma negatif bagi ODHA. Namun, akar masalah bergonta-ganti pasangan seksual, hubungan seksual sejenis, juga pemakaian jarum suntik narkoba secara bergantian dianggap sebagai urusan pribadi, pilihan perorangan, padahal itulah bagian dari amar makruf nahi mungkar.
Tidak ada hukuman yang adil yang sekaligus membuat pelaku berisiko tinggi itu jera. Yang ada, komunitas mereka kian eksis dan tidak malu lagi menampakkan batang hidungnya di tengah masyarakat. Ini negeri muslim terbesar di dunia, tetapi secara pemikiran sungguh bodoh, bukannya kembali kepada aturan Allah Swt., malah membuat hukum tandingan. Astaghfirullah.
ODHA, dalam peringatan Hari HIV/AIDS ini difokuskan terbebas dari stigma negatif, sebagaimana UNAIDS yang mulai mengemis pendanaan dari negara kaya untuk pembiayaan negara miskin yang rentan terdampak HIV/AIDS. Apa yang bisa diharapkan jika asal mula penyakit ini dari pergaulan bebas yang mereka puja?
Islam Wujudkan Generasi Cemerlang
Generasi Emas tidak hanya butuh sehat, tetapi juga butuh lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan potensi. Sedangkan sistem kapitalisme tidak mungkin mewujudkannya secara sempurna dikarenakan asas yang menjadi landasan berpikirnya sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan, maka tidak ada halal haram. Satu sisi masyarakat diimbau untuk setia terhadap pasangan, tetapi di sisi lain tidak melarang pergaulan bebas, bahkan menyimpang.
Bagaimana kita bisa berharap kepada sistem yang tidak konsisten? Sangat berbanding terbalik dengan syariat Islam. Ada beberapa langkah yang akan ditempuh.
Pertama, promotif, yaitu menanamkan akidah yang kuat dan sahih melalui pendidikan keluarga, kurikulum sekolah, dan media yang dikontrol negara.
Kedua, preventif, dengan melarang setiap aktivitas yang mendekati zina, misalnya khalwat dan pornografi. Ada sanksi tegas setiap kali terjadi pelanggaran, seperti hukuman cambuk dan rajam bagi mereka yang terbukti berzina, baik belum menikah atau sudah.
Ketiga, kuratif, di mana pelaku penyimpangan, homoseksual, narkoba, dan lainnya diberi hak untuk bertobat dengan cara menerima sanksi yang akan menghapus dosa mereka di akhirat, terkait zina.
Berikutnya adalah rehabilitatif. ODHA yang bukan pelaku perilaku menyimpang berhak mendapatkan perawatan terbaik, edukasi, dan pendampingan. Mereka dilindungi dari stigma sosial dan diberdayakan agar tetap produktif. Di sisi lain, negara wajib menjamin perekonomian rakyat dengan ekonomi Islam, salah satunya dengan mengelola kekayaan alam secara mandiri kemudian dikembalikan kepada rakyat. Baik berupa zatnya maupun pembiayaan pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, jalan dan lainnya.
Kemudian melarang transaksi yang bertentangan dengan syariat menjadi urat nadi pendapatan, seperti judi, penimbunan, riba, dan lainnya. Pendek kata, penerapan syariat Islam kafah inilah yang mampu mengubah keadaan menjadi adil dan sejahtera dalam makna yang sesungguhnya. Tidakkah kita merindukannya? Wallahua’lam bisshawab.
(*Naskah ini tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 4






















