Oleh. Wida Nusaibah
(Pemerhati Kebijakan Publik)
CemerlangMedia.Com — Cina merupakan negara yang memiliki banyak proyek investasi di Indonesia. Dilansir dari CNN Indonesia, bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan Cina memiliki 15.906 proyek investasi di Indonesia. Ia menyebut jumlah proyek tersebut merupakan akumulasi investasi yang telah mencapai US$30,8 miliar atau setara Rp459,17 triliun (asumsi kurs Rp14.908 per dolar AS) sejak 2014 hingga 2022 (04-04-2023).
Tidak berhenti di 2022, pada 2023 pun negeri Tirai Bambu tersebut kembali berinvestasi di Tanah Air. Bahkan Investasi Cina di Indonesia makin meningkat. Hal itu tampak dari komitmen investasi yang diberikan oleh perusahaan asal Cina, Xinyi International Investment Limited senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp175 triliun (asumsi kurs Rp15.107 per US$). Rencana investasi itu meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca serta industri kaca panel surya di Kawasan Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Investasi tersebut didapat setelah kepulangan Presiden Joko Widodo dari Cina (CNBC Indonesia, 29-7-2023).
Kapitalisme Mengantarkan Negara pada Perangkap Utang
Peningkatan investasi dari Cina tak luput dari berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintah. Kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah untuk menarik investasi tersebut seperti kemudahan pemberian izin usaha, kemudahan izin penggunaan tenaga kerja asing, memberikan fasilitas pengurangan pajak penghasilan, juga kemudahan berinvestasi yang diberikan dalam jangka waktu lama hingga puluhan tahun.
Investasi yang diberikan Cina memang memberikan keuntungan bagi Indonesia. Namun, di sisi lain, hal ini berpotensi menambah ‘utang’ negara dan menjerumuskan ke dalam jebakan utang. Investasi asing tanpa perhitungan yang matang berpotensi menjadi bentuk penjajahan terselubung atau penjajahan berbalut investasi yang makin kuat bagi negara pemberi utang. Apalagi ‘utang’ investasi tersebut dalam skema riba. Jelas, potensi jebakan tersebut kian besar dan berpeluang melemahkan kedaulatan negara.
Sebagaimana diungkapkan oleh seorang Peneliti Cina-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Zulfikar Rakhmat. Ia mengatakan bahwa terdapat masalah serius terkait investasi Cina di Indonesia yang perlu menjadi perhatian. Masalah tersebut adalah peningkatan utang luar negeri Indonesia dari Cina dan adanya indikasi potensi perangkap utang seperti yang terjadi di Sri Lanka dan Zimbabwe.
Zulfikar mengatakan bahwa Indonesia telah mengalami ketergantungan pada Cina baik dalam perdagangan dan investasi. Hal tersebut mendorong Indonesia tidak memiliki posisi yang kuat terhadap Laut Cina Selatan. Bahkan, menurut penelitian yang ia paparkan, Indonesia hanya mampu memonitor kapal Cina yang masuk ke laut Indonesia tanpa perlawanan (BISNIS.COM, 27-7-2023).
Begitulah akibat dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Negara diperbolehkan menjalin hubungan apa pun dengan negara kafir, bahkan termasuk dalam hubungan ekonomi baik perdagangan maupun utang piutang berbasis riba. Sebab, kapitalisme sekularisme memang memisahkan agama dari negara. Tak heran jika riba yang diharamkan pun dikesampingkan. Selain itu, siapa yang paling kuat modalnya adalah yang paling kuat posisinya. Jelas, menjalin hubungan dengan negara kafir memiliki risiko besar, termasuk adanya potensi risiko dijajah oleh negara investor.
Hal tersebut sesuai firman Allah yang artinya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS Al-Baqarah: 120)
Ayat di atas jelas melarang umat Islam mengikuti jalan dan kemauan kaum kafir, termasuk jalan mereka yang membolehkan riba. Paradigma kapitalisme sekularisme tersebut jelas berbeda dengan paradigma Islam. Sebab, Islam dengan sistem ekonomi dan politiknya mampu menyediakan modal yang sangat besar untuk pembangunan negara tanpa utang. Apalagi, dalam Islam jelas diharamkan utang riba.
Islam Mengantarkan Menjadi Negara Adidaya
Sistem politik Islam melarang negara menjalin hubungan apa pun dengan negara yang memusuhi Islam, apalagi meminta bantuan dana pada mereka. Seperti diketahui, bahwa konflik pemerintah Cina dengan umat Islam Uighur menunjukkan kebencian mereka pada Islam. Dalam hal ini pun tampak pemerintah Indonesia tak mampu bersuara apalagi memperjuangkan penegakan HAM bagi Uighur akibat hubungan erat antara pemerintah dengan Cina.
Sedangkan dalam sistim ekonomi Islam jelas mengharamkan riba seperti yang Allah firmankan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275, bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dalam sistem ekonomi Islam juga mengharamkan penyerahan pengelolaan SDA atau harta milik umum kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Oleh karenanya, hasil pengelolaan oleh negara dapat maksimal dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat tanpa campur tangan negara lain.
Tak hanya SDA, sumber pendapatan negara juga banyak seperti fa’i, ghanimah, zakat, harta tak berwaris, tanah usriyah, khazraj, jizyah, dll.. Di mana dalam sistem Islam yang telah terwujud suasana keimanan akan membentuk para pemimpin sebagai pengurus urusan umat yang amanah, adil, dan bijak. Semua tugas dilaksanakan sebagai amanah yang diimani kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari hisab. Dengan begitu, negara tidak akan bergantung pada negara lain dan akan mampu menjadi negara adidaya karena memiliki kedaulatan penuh. Wallahu a’lam bisshawab [CM/NA]