Oleh: Devy Rikasari, S.Pd.
Pagiku cerah
Matahari bersinar
Kugendong tas merahku di pundak
Selamat pagi semua
Kunantikan dirimu
Di depan kelasmu
Menantikan kami
Guruku tersayang…
Guru tercinta
Tanpamu, apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku terima kasihku
CemerlangMedia.Com — Lirik ini tentu sangat tak asing dalam benak kita. Pasalnya, setiap 25 November, lagu ini sering dinyanyikan seiring dengan peringatan Hari Guru Nasional. Namun, ironisnya, peringatan ini seolah hanya sebatas seremonial belaka karena kondisi guru masih sangat memprihatinkan.
Salah satu kisah mengharukan dari Lukas Kolo, seorang guru di NTT yang sudah mengajar selama 10 tahun, tetapi tak pernah digaji. Lukas dan tiga guru honorer lainnya terpaksa tinggal di perpustakaan sekolah untuk menghemat ongkos. Meski sudah menerima Surat Keputusan (SK) Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tetapi ia belum menerima gaji hingga saat ini (@undercover.id, 24-11-2023).
Kisah memilukan juga datang dari salah satu guru di SDN Malaka Jaya 10, Duren Sawit, Jakarta Timur. Meski berstatus honorer, guru tersebut masuk dari pukul 6.30—15.00 WIB selama lima hari dalam sepekan untuk mengajar para siswi di sekolah tersebut. Guru itu mengaku telah menandatangani surat kuitansi bersama kepala sekolah mengenai upah dirinya selama mengajar. Di kuitansi tersebut, tertulis nominal Rp9 juta (untuk gaji Juli & Agustus), tetapi yang diterimanya hanya 300 ribu per bulan (tribunjabar.id, 24-11-2023).
Nasib serupa kedua guru di atas juga dialami guru honorer lainnya. Jika kita menelusuri di mesin pencarian, akan ditemukan lebih banyak lagi fakta memilukan. Bahkan ada guru yang hanya dibayar tiga ribu rupiah per jam pelajaran.
Memang benar, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, bukan berarti tidak perlu ada penghargaan terhadap profesi tersebut. Layaknya lagu yang diputar di setiap peringatan hari guru. Tanpa guru, anak-anak kita tak bisa membaca, menulis, dan menghitung. Lebih dari itu, penanaman adab dan nilai-nilai kehidupan juga dilakukan oleh guru.
Guru Menderita dalam Sistem Kapitalisme
Dari tahun ke tahun, para guru menggantungkan nasibnya pada penguasa negeri ini. Namun, pergantian menteri pendidikan seiring bergantinya rezim ternyata tidak kunjung membawa perubahan kondisi para guru. Guru, di tangannyalah ditentukan nasib generasi selanjutnya. Peran strategisnya mencetak generasi berkualitas yang akan mengisi peradaban manusia yang akan datang. Kebijakan demi kebijakan pun terus digulirkan, tetapi kondisi guru masih tetap sama, tidak sejahtera.
Hal ini bukan hanya perkara salah kelola, melainkan juga karena kesalahan paradigma dalam mengatur negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, yang penting adalah cuan. Mindset berpikir para penguasa hanya menghasilkan uang, tak peduli bagaimana pun caranya. Pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada asing. Walhasil, asinglah yang lebih banyak meraup keuntungan. Padahal seharusnya, jika SDA dikelola sendiri dan disalurkan semata-mata untuk kepentingan umat, akan sangat cukup untuk membiayai pendidikan di negeri ini. Bukan hanya untuk operasional belajar mengajar, juga dapat menggaji guru dengan sangat layak.
Dari produksi sawit saja sebanyak 47 juta ton atau senilai 950 triliun rupiah, jika dikelola dengan baik oleh negara, bisa menggratiskan biaya pendidikan dan memberi gaji guru honorer yang layak. Apalagi jika digabung dengan komoditi lain. Ditambah lagi Indonesia merupakan negara produsen terbesar puluhan sumber daya alam lainnya. Hal ini diungkapkan oleh Ketua DPD RI LaNyalla (detiknews.com, 20-4-2022).
Guru Sejahtera dalam naungan Khil4f4h
Dalam Islam, guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Ada banyak sekali hadis yang memerintahkan kaum muslimin untuk menghormati guru. Bukan hanya dari sisi adab, tetapi juga penghargaan negara terhadap posisi guru ini sangat tinggi.
Hal ini dapat kita lihat dalam sejarah panjang kekhilafahan Islam. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dar al- Wadl-iah bin Atha, bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak dan Khalifah Umar bin Khattab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63,75 gram emas). Jika dikalkulasikan dalam rupiah, angkanya sangat fantastis.
Rilis dari situs kompas.id pada Kamis (19-10-2023), harga emas batangan bersertifikat Antam tembus Rp1,1 juta per gram. Jika gaji guru di Madinah saat kepemimpinan Khalifah Umar itu dikonversikan dengan 1 juta rupiah per gram saja, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya senilai Rp63.750.000. Ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam kepada ilmu. Bukan itu saja, Islam menjamin kesejahteraan para guru sehingga mereka dapat fokus mendidik generasi tanpa dipusingkan untuk mencari penghasilan tambahan.
Negara dalam naungan sistem Islam juga menyediakan segala sarana pendidikan secara cuma-cuma untuk menunjang perkembangan ilmu dan pengetahuan. Jika kita menilik sejarah, bertebaran perpustakaan-perpustakaan besar yang menampung ribuan buku. Siapa pun boleh meminjam tanpa ada biaya sewa. Bahkan disediakan penginapan untuk para peminjam buku. Maka tak heran, bermunculan ilmuwan-ilmuwan besar dalam sejarah peradaban Islam, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lain-lain.
Siapa pun tentu sangat merindukan kondisi yang demikian. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menyerukan kepada umat ini untuk kembali kepada naungan Islam yang mulia, yakni sistem Khil4f4h yang tidak hanya menjamin kesejahteraan umat Islam, tetapi juga seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Wallahu a’lam bisshawab [CM/NA]