Oleh. Hany Handayani, S.P.
(Aktivis Muslimah)
CemerlangMedia.Com — Belum lama ini masyarakat Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng. Tak ayal hal ini membuat masyarakat luas yang sebagian besar konsumen minyak goreng gusar. Maklum, sebagian besar produk yang laris manis di pasaran adalah makanan yang serba digoreng. Maka para pedagang kecil kewalahan untuk bisa memenuhi ketersediaan minyak goreng. Belum lagi tingkat konsumsi minyak goreng rumah tangga yang tak bisa dianggap sebelah mata.
Usut punya usut, ternyata imbas kelangkaan minyak goreng tempo hari adalah karena adanya korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya yang dilakukan oleh tiga perusahaan, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Usai dilakukan penyidikan dan penyitaan, ketersediaan minyak goreng di pasaran pun kembali seperti semula. Namun, ternyata ketiga perusahaan yang terlibat korupsi tersebut tidak langsung dibekukan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana mengatakan akan timbul dampak yang bisa lebih merugikan negara jika pembekuan ketiga perusahaan tersebut dilakukan, yakni mereka tidak bayar pajak, tidak bayar pegawai, dan bisa di-PHK semua. Maka tiga perusahaan yang menjadi tersangka saat ini tetap dibiarkan beroperasional. Akan tetapi, keuntungan yang didapat diserahkan kepada negara (kompas.com, 18-07-2023).
Masih dari sumber yang sama menyebutkan bahwa terselesaikannya kasus korupsi minyak goreng tadi hanya berakhir pada penahanan lima tersangka yang berstatus terpidana, termasuk tiga koorporasi tersebut juga menjadi tersangka. Hukuman yang dijatuhkan kepada mereka, yakni vonis kurungan penjara dan denda yang tak sedikit.
Kelangkaan Minyak Berulang
Dengan dijatuhkan hukuman kepada pelaku korupsi ternyata tidak membuat masalah kelangkaan minyak goreng ini berakhir sampai di sini. Sebab isu tentang kelangkaan minyak goreng mulai “digoreng” kembali akhir-akhir ini. Hal itu lantaran Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) kembali menagih utang pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng yang sampai sekarang masih belum dibayarkan oleh Kementerian Perdagangan senilai Rp344 miliar.
Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey mengancam apabila Kemendag tak kunjung membayarkan utangnya itu, maka Aprindo akan lepas tangan jika 31 perusahaan ritel yang terdiri dari 45.000 gerai toko di seluruh Indonesia menghentikan pembelian minyak goreng dari para produsen (cnbcindonesia.com, 18-08-2023).
Selain melakukan mogok pembelian minyak goreng para ritel pun mengancam akan melakukan pemotongan tagihan hingga menyetop pembelian minyak goreng dari produsen. Jika hal ini terjadi, maka kelangkaan minyak goreng pun tak bisa dihindari lagi seperti yang sudah terjadi tempo hari. Berulangnya kelangkaan minyak menandakan bahwa ada sesuatu yang salah dalam hal ini. Jika hanya berkaitan dengan oknum dan “people error” maka kecil kemungkinan kasus kelangkaan berulang terjadi seperti sekarang ini.
Sistem Pengelolaan Kapitalisme
Karut marutnya masalah ketersediaan minyak goreng tersebut disebabkan karena salah kelola penyediaan minyak goreng untuk rakyat. Pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam negara seharusnya memiliki kewenangan untuk bisa mengelola kebutuhan pokok masyarakat dengan baik. Bukan malah membuka lebar kesempatan kepada para pengusaha untuk bermain dengan bebas di dalamnya. Beginilah akhirnya jika sistem pengelolaan menggunakan sistem kapitalisme, semuanya diserahkan kepada pengusaha secara utuh tanpa ada pengawasan dari negara.
Pengelolaan sistem kapitalisme ini bermuara pada pemahaman sekularisme. Pemahaman yang jauh dari pandangan Islam. Sebab sekularisme memandang bahwa dalam mengelola sumber daya alam merupakan otoritas penuh manusia yang memiliki hak untuk bisa mengaturnya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Walhasil, masalah satu per satu pun bermunculan dan berulang terjadi. Hal ini berdampak besar pada masyarakat banyak, sebab hal itu berkaitan dengan kebutuhan umum.
Dalam sistem kapitalisme pun tak ada pengklasifikasian mengenai kepemilikan harta. Maka wajar jika individu atau pengusaha dibolehkan mengelola secara penuh bahkan menentukan arah kebijakan sesuai dengan prinsip kapitalisme. Selama di sana bisa menghasilkan keuntungan berlimpah, maka halal bagi mereka untuk meraup keuntungan tanpa batas dan aturan. Jadi yang menjadi sandaran bukan lagi apakah hal tersebut bermanfaat bagi masyarakat atau tidak, tetapi lebih kepada demi memperkaya diri.
Akibat terlalu berkuasanya pengusaha dalam ketersediaan minyak goreng yang notabene bagian dari sembilan bahan pokok, membuat pemerintah tak punya kuasa untuk bisa mengelola sendiri ketersediaan tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebab yang memiliki bergaining potition adalah pengusaha ritel bukan penguasa. Mereka berhasil memonopoli sumber daya alam secara resmi melalui kebijakan negara.
Alih-alih mau mengakomodir semua sumber daya alam, justru negara yang disetir dalam memenuhi keuntungan para kapitalis. Ketika pengusaha punya andil besar dalam pengelolaan, maka orientasinya adalah mendapatkan keuntungan lebih besar. Bukan pemenuhan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi tujuan. Semoga kesalahan fatal ini segera disadari oleh banyak pihak terutama pemangku kekuasaan. Sebab hanya di tangan mereka kebutuhan masyarakat mampu dipenuhi dengan baik.
Pengelolaan Minyak dalam Islam
Jika ditinjau dari sisi Islam, kewajiban negaralah untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat banyak termasuk minyak goreng yang menjadi bagian dari sembilan bahan pokok. Negara tak boleh abai terhadap kepentingan masyarakat. Apalagi menyerahkan semuanya kepada pengusaha untuk mengelolanya. Padahal dengan beragam potensi yang dimiliki oleh Indonesia, sebenarnya kita mampu untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan harga murah bahkan gratis, mengingat potensi perkebunan kelapa sawit yang begitu besar di Indonesia.
Islam sebagai agama sekaligus panduan kehidupan pada fakta sejarahnya justru mampu memberikan solusi terbaik. Sebab Islam memiliki mekanisme pengelolaan dan kebijakan politik ekonomi dalam mewujudkannya. Bahkan Islam dapat dengan mudah menutup akses agar para ritel tak berkuasa penuh terhadap sumber kekayaan alam negara.
Dalam Islam, sumber daya alam termasuk dalam kepemilikan umum yang dikelola oleh negara. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah)
Kemudian Rasul saw. juga bersabda, “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah)
Maka wajib bagi negara untuk bisa memanfaatkannya agar kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi dengan baik. Bahkan jika ada pihak lain yang mengeklaim sumber daya tersebut secara pribadi maka wajib hukumnya bagi negara untuk menarik kembali sumber daya alam tersebut. Sebagaimana sejarah pernah mencatat bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi)
Namun, bentuk pengelolaan dalam Islam seperti ini tak mungkin bisa diterapkan dalam sistem saat ini. Sebab pengaturan sistem ekonomi Islam tak mampu diterapkan tanpa adanya penerapan sistem Islam lainnya. Maka butuh perombakan secara total bukan hanya dari sisi pengelolaan sistem ekonomi, melainkan di seluruh aspek yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sepenuhnya.
Maka kesadaran penuh kebutuhan masyarakat terhadap syariat merupakan salah satu kunci terbukanya jalan menuju penerapan syariat Islam kafah. Sebab tanpa adanya kesadaran masyarakat tersebut, sulit meminta pemerintah mau bergerak untuk bisa mengelola negeri ini sesuai dengan yang Allah minta. Maka penting kiranya bersama-sama membuka pemahaman masyarakat dengan syariat. Agar rida Allah bisa kita dapat dan keberkahan hidup pun bisa dirasakan.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]