Judol dan Pinjol di Era Algoritma, Ancaman Sistemik Generasi Muda

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Penulis: Diyani Aqorib
Pemerhati Generasi Muda

Lebih dari sekadar melarang, Islam menawarkan sistem yang melindungi generasi muda secara menyeluruh. Dalam Islam, negara wajib menjamin pendidikan yang membentuk kepribadian bertakwa, menyediakan lapangan kerja yang layak, serta menutup seluruh celah bisnis haram. Media dan teknologi diarahkan sebagai sarana edukasi, bukan alat perusakan moral.

CemerlangMedia.Com — Generasi muda merupakan harapan bangsa untuk melanjutkan kehidupan bernegara. Di tangan merekalah arah masa depan bangsa ditentukan. Namun, apa jadinya jika kerusakan moral dan akhlak justru melanda generasi penerus ini?

Salah satu masalah serius yang kini menjangkiti generasi muda adalah maraknya pinjaman online (pinjol) dan perjudian online (judol). Fenomena ini menunjukkan kuatnya gaya hidup instan yang berisiko menjerumuskan anak muda dalam jeratan utang, ketergantungan, serta perilaku konsumtif yang merusak.

Kombinasi pinjol dan judol tidak hanya berdampak pada kondisi finansial, tetapi juga mengancam kesehatan mental dan stabilitas sosial generasi penerus. Jika tidak diantisipasi secara serius, kerusakan ini akan menjadi bom waktu yang menghancurkan masa depan bangsa.

Data tahun 2025 menunjukkan kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa mayoritas pengguna pinjol berasal dari kelompok usia 19–34 tahun (Gen Z dan Milenial) dengan kontribusi 54,06% atau sekitar Rp27,1 triliun dari total penyaluran kredit (Statistik Fintech Lending OJK 2023).

Bahkan, per Agustus 2025 terjadi lonjakan kredit macet pada peminjam di bawah usia 19 tahun sebesar lebih dari 800% dibandingkan Juni 2024. Nilai penyaluran pinjol mencapai Rp27,92 triliun pada Maret 2025, dengan total utang masyarakat menembus Rp83,5 triliun pada Juni 2025 (kabarbursa.com, 12-11-2025).

Sementara itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan bahwa hingga Oktober 2025, perputaran uang judi online mencapai Rp155 triliun. Bahkan, pada April 2025, nilainya sempat melonjak hingga Rp1.200 triliun. Lebih mengerikan lagi, sekitar 2% pemain judol berusia di bawah 10 tahun atau sekitar 80 ribu anak telah terpapar praktik haram ini (antaranews.com, 6-11-2025).

Algoritma Digital dan Sistem yang Rusak

Maraknya judol dan pinjol tidak bisa dilepaskan dari peran algoritma media digital yang agresif. Iklan pinjol dan judol menyasar psikologi anak muda, seperti janji kaya instan, kemudahan akses, dan normalisasi utang serta perjudian sebagai gaya hidup. Alih-alih dilindungi, generasi muda justru “diburu” oleh algoritma yang bekerja demi kepentingan korporasi dan keuntungan semata.

Ironisnya, negara tampak kalah cepat dari para bandar dan penyedia pinjol. Meski berbagai regulasi dibuat, penindakan terkesan tambal sulam. Akar persoalan justru luput disentuh, yakni sistem ekonomi kapitalistik yang membuka ruang seluas-luasnya bagi bisnis berbasis eksploitasi kelemahan manusia.

Dalam sistem ini, keuntungan dijadikan tujuan utama, sementara dampak sosial dan moral diabaikan. Akibatnya, generasi muda dijadikan pasar empuk tanpa perlindungan nyata.

Namun, menyalahkan generasi muda sebagai penyebab utama adalah kekeliruan besar. Mereka bukan pelaku utama, melainkan korban dari sistem yang rusak dan predatorik.

Di era digital saat ini, algoritma media sosial bekerja bukan untuk melindungi generasi, melainkan memaksimalkan keuntungan. Konten judol dan pinjol secara masif diarahkan ke pengguna muda karena terbukti menguntungkan secara bisnis. Algoritma membaca keresahan, kebutuhan ekonomi, dan mimpi instan anak muda, lalu menggiring mereka ke iklan “cepat cair”, “modal kecil untung besar”, hingga jebakan utang dan perjudian tanpa henti.

Teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan, justru berubah menjadi alat perburuan sistemik. Generasi muda direduksi menjadi komoditas, bukan manusia yang harus dijaga masa depannya.

Kondisi ini diperparah oleh tekanan ekonomi struktural. Lapangan kerja sempit, upah rendah, dan biaya hidup yang terus melonjak membuat banyak anak muda terdesak secara finansial. Dalam situasi seperti ini, pinjol dan judol tampil sebagai solusi palsu—jalan pintas yang tampak menjanjikan, tetapi berujung kehancuran.

Lebih berbahaya lagi, utang dan judi kini dinormalisasi. Utang dianggap wajar, judi dikemas sebagai hiburan digital. Ketika praktik haram dipoles menjadi gaya hidup, maka rusaklah cara pandang generasi. Ini bukan sekadar krisis ekonomi, melainkan krisis akidah dan nilai.

Negara sejauh ini terlihat gagal menjalankan perannya sebagai pelindung generasi. Penanganan judol dan pinjol masih bersifat tambal sulam: pemblokiran situs, literasi digital, dan imbauan moral. Semua itu tidak menyentuh akar masalah. Selama riba dilegalkan, selama judi masih diberi ruang lewat celah digital, dan selama orientasi keuntungan lebih diutamakan daripada keselamatan generasi, maka kejahatan ini akan terus berulang.

Masalah terbesar terletak pada sistem sekuler-kapitalistik yang memisahkan agama dari kehidupan. Standar halal-haram tidak dijadikan landasan kebijakan. Akibatnya, praktik yang jelas merusak akidah dan moral justru dilegalkan atas nama kebebasan dan pertumbuhan ekonomi.

Islam Solusi Hakiki

Islam memandang praktik riba, perjudian, dan eksploitasi manusia sebagai kejahatan yang harus ditutup rapat pintunya. Pinjol berbasis riba dan judi online jelas diharamkan karena merusak individu, keluarga, dan masyarakat.

Allah Swt. menegaskan keharaman judi karena merusak akal, harta, dan kehidupan sosial. Dalam firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamar, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan yang keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.” (TQS Al-Ma’idah: 90).

Allah Swt. juga melarang perbuatan riba karena menzalimi dan menjerat manusia dalam siklus utang tanpa akhir.
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS Al-Baqarah: 275).

Rasulullah saw. bersabda,
“Riba itu memiliki tujuh puluh pintu dosa, yang paling ringan dosanya seperti menzinahi ibunya sendiri.” (HR Ibnu Majah).
Ini menggambarkan betapa efek riba sangat merusak kehidupan manusia, baik secara individu maupun sistemik.

Lebih dari sekadar melarang, Islam menawarkan sistem yang melindungi generasi muda secara menyeluruh. Dalam Islam, negara wajib menjamin pendidikan yang membentuk kepribadian bertakwa, menyediakan lapangan kerja yang layak, serta menutup seluruh celah bisnis haram. Media dan teknologi diarahkan sebagai sarana edukasi, bukan alat perusakan moral.

Khatimah

Selama sistem sekuler kapitalistik masih diterapkan, selama itu pula generasi muda akan terus diburu dan dikorbankan. Sudah saatnya umat menyadari bahwa perlindungan hakiki generasi muda hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem Islam secara kafah yang menjadikan akidah, akhlak, dan kesejahteraan sebagai fondasi utama kehidupan.

Jika generasi muda rusak, sejatinya masa depan bangsa sedang dipertaruhkan. Oleh karena itu, sudah saatnya beralih ke sistem yang sahih yang berasal dari Allah Swt.. Sebuah sistem kehidupan yang dapat melindungi dan mengayomi generasi muda, yaitu sistem Islam dalam naungan Khil4f4h ‘ala minhaj an-nubuwwah. [CM/Na]

Views: 8

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *