Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Pesta demokrasi sebentar lagi akan digelar. Riuh geliat perpolitikan di negeri ini kian membara. Para kontestan pemilu sibuk mencari simpati dan dukungan publik serta melakukan berbagai cara untuk lolos menjadi pemenang pemilu.
Sayangnya, di tengah riuhnya pesta, di duga banyak pelanggaran yang dilakukan untuk mencapai kemenangan. Ambisi kekuasaan mengalahkan logika berpikir. Hal ini kontan saja mendapat kritikan dari berbagai pihak, di antaranya civitas academica. Terlebih, pelanggaran ditengarai melibatkan pucuk pimpinan negara.
Seperti yang disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul Herdiansyah Hamzah bahwa demokrasi di negeri ini dalam keadaan bahaya lantaran adanya ketidaknetralan para aparatur negara yang memberikan jalan politik dinasti dan keberpihakan serta cawe-cawe presiden dalam Pemilu 2024. Hal ini terlihat dari keputusan Mahkamah konstitusi (MK) yang menurutnya cacat etik (Cnn.indonesia, 3-2-2024).
Setidaknya ada beberapa kampus, baik negeri maupun swasta yang turut serta bersuara untuk mengkritik pemerintahan Joko Widodo dalam gelaran Pemilu 2024 ini. Mereka menyampaikan petisi dan kritik agar menghentikan penyalahgunaan jabatan untuk melanggengkan kekuasaan. Mereka pun meminta untuk mengembalikan keluhuran eksistensi bangsa Indonesia dengan cara menghormati nilai-nilai politik yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa (Cnn.indonesia, 6-2-2024).
Wujud Asli Demokrasi
Banyaknya protes kampus yang bergulir saat ini membuktikan bahwa demokrasi telah gagal menyerap aspirasi rakyat. Kekuasaan yang dimiliki segelintir orang dengan mudahnya mampu memanipulasi aturan-aturan yang telah disepakati oleh mereka sendiri. Ironis, demi kekuasaan yang sebenarnya merupakan amanah besar untuk dipertanggungjawabkan, justru diperebutkan seperti anak kecil yang berebut mainan.
Walaupun banyak pihak menyadari bahwa hal tersebut dianggap sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi, tetapi aturan yang dianggap memaksa tersebut tetap saja dijalankan. Menabrak aturan yang telah disepakati seolah menjadi hal biasa. Kalau sudah begini, rakyatlah yang menjadi korban penipuan para elite politik demokrasi.
Sejatinya, karut marut sistem demokrasi saat ini bukanlah sebuah penyimpangan berdemokrasi, tetapi wujud nyata dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi rapuh, tidak bisa dijadikan sistem politik secara utuh. Kebebasan yang selama ini menjadi jargon seolah menjadi pintu masuk untuk mengamankan para oligarki. Atas nama kebebasan inilah lahir berbagai aturan di luar nalar, jauh dari kemaslahatan rakyat, dan rentan sebagai sumber konflik. Ini karena pada dasarnya, aturan yang ditetapkan bukan berdasarkan benar atau salah, melainkan pada kesepakatan sekelompok orang tertentu.
Wajar kemelut dalam politik demokrasi selalu terjadi. Hal ini makin mengonfirmasi bahwa sistem ini adalah sistem politik yang buruk. Sebab, tegak di atas paham sekularisme liberal yang menafikan peran agama dalam menjalankannya, apalagi sistem politik demokrasi bernilai mahal. Oleh karenanya, setiap kontestan pemilu identik dengan adu kekuatan modal sekaligus menjadi lahan meraup uang.
Namun, aspirasi para kaum intelektual kampus perlu diapresiasi. Hal ini merupakan bentuk perhatian terhadap permasalahan negeri yang tidak berkesudahan. Meski demikian, imbauan untuk kembali kepada politik warisan para pendiri bangsa, yakni politik demokrasi tidak akan menjadi solusi atas masalah yang terjadi karena akan selalu terjadi pengulangan peristiwa kecurangan.
Demokrasi hanyalah ilusi untuk mengantarkan pada kesejahteraan dan kemakmuran. Pasalnya, dalam merumuskan kebijakan penuh intrik dan tipu muslihat. Rakyat selalu dijadikan tameng, segala kebijakan yang dilahirkan seolah tidak pernah berpihak kepada rakyat, justru selalu merugikan rakyat.
Oleh sebab itu, yang dibutuhkan untuk perbaikan negeri adalah perubahan yang mendasar dan revolusioner, yakni perubahan dari sistem hidup kapitalisme —sistem politik demokrasi merupakan cabang dari sistem hidup ini— menuju sistem hidup Islam yang menyeluruh.
Islam Sempurna
Islam bukanlah sekadar agama ritual yang hanya mengatur hubungan individu dan Tuhan. Akan tetapi, Islam merupakan agama yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, misalnya cara berpakaian, makanan, minuman, amanah, kejujuran, dan sebagainya. Mengatur manusia dengan Tuhannya, misalnya salat, puasa, haji, dan sebagainya. Mengatur manusia dengan manusia lainnya, yakni berupa aturan-aturan dalam bidang ekonomi, politik, pemerintahan, pendidikan, sosial, dan uqubat.
Sayangnya, kesempurnaan Islam saat ini ternodai dengan isu radikalisme yang mengidentikkan pelaksanaan aturan Islam secara menyeluruh itu merupakan biang kerusakan sehingga upaya perbaikan negeri dijauhkan dari solusi Islam kafah. Para civitas academica pun seolah “ogah” terhadap politik Islam sebab gelombang fobia terhadap penerapan syariat Islam kafah terlanjur tercipta di masyarakat.
Padahal, akar permasalahan negeri ini adalah akibat dijauhkannya hukum-hukum Islam. Kepemimpinan yang seharusnya dilakukan dengan pertanggungjawaban atas landasan iman dan takwa membelot menjadi ambisi untuk meraih kekuasaan, meraup keuntungan, dan mendulang popularitas semata.
Berbeda dengan demokrasi yang menjadikan jabatan atau kekuasaan untuk meraup manfaat, dalam Islam, politik berarti meriayah umat dan mengurusi kepentingan umat. Kekuasaan yang diraih untuk menjalankan syariat Islam secara menyeluruh. Dengan demikian, akan tercipta pemimpin yang adil karena memutuskan perkara atau menetapkan hukum berdasarkan pada perintah Allah yang telah tertuang dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw..
Al-Qur’anlah yang seharusnya dijadikan sebagai sumber hukum, sebab Al-Qur’an membimbing manusia ke arah yang benar. Begitu pula dengan solusi problematika umat, Al-Qur’anlah sebagai jawabannya, sebagaimana firman Allah Swt.,
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa [4]: 59).
Pelanggaran syariat dalam negara Islam mungkin juga akan terjadi, tetapi dengan adanya sanksi yang tegas, segala penyimpangan itu akan teratasi dan diminimalkan. Lebih dari itu, negara benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pelayan umat dan konsisten melaksanakan syariat Islam.
Khatimah
Oleh karena itu, seruan perubahan negeri seharusnya dipikirkan secara mendalam, yakni pada perubahan sistem hidup. Menafikan adanya sistem Islam ibarat orang sakit yang tidak mau untuk berobat. Ini karena pada hakikatnya, Islamlah yang mampu menyembuhkan penyakit di negeri ini.
Dengan demikian, baik individu, masyarakat, maupun negara mampu berperan maksimal dalam menghamba kepada Allah Swt.. Sebab, atmosfer ketakwaan tercipta melalui sistem hidup warisan Rasulullah saw. bukan sistem hidup warisan penjajah. Wallahu a’lam. [CM/NA]