Oleh: Syifa, S.E.
(Aktivis Dakwah)
CemerlangMedia.Com — Dari An-Nu’man bin Basyir, dia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim No. 4685).
Inilah seindah-indahnya gambaran keeratan, kedekatan, serta kehangatan muslim satu dengan muslim lain. Ketika bagian tubuh sakit, maka bagian tubuh lainnya sigap, ikut andil menolongnya, menyelesaikan masalah bagian yang lain, dan lain sebagainya. Siapa di antara kita yang tidak menginginkan kondisi indah ini terjadi? Tentu semua dari kita mengharapkannya, bukan?
Namun, sayang sekali, kondisi seperti ini tidak sempurna kita jumpai pada muslim Rohingya. Mereka datang dari negeri yang dipenuhi dengan konflik, mereka berlari menyelamatkan diri untuk mencari pertolongan hingga ke Aceh. Sayang beribu sayang, justru yang terjadi, mereka malah diusir oleh mahasiswa yang ada di sana.
Hal itu diperkuat dengan adanya video-video pengepungan dan pemindahan paksa yang dilakukan gerombolan mahasiswa Aceh terhadap pengungsi Rohingya yang beredar di media sosial pada Rabu (27-12-2023) dan berhasil menyita perhatian publik. Alasan pemindahan dilakukan karena mahasiswa termakan hoax dan provokasi yang menyatakan masyarakat Rohingya telah berani minta makan, pekerjaan, tempat tinggal, dan yang lainnya kepada warga Aceh. Ancaman mahasiswa akan makin brutal dengan massa yang lebih besar jika pemerintah tidak mengindahkan tuntutan mereka untuk mengurus pengungsi Rohingya.
Satu Tubuh Tinggal Wacana
Inilah fenomena gambaran muslim hari ini. Makna hadis muslim ibarat satu tubuh tinggal wacana. Rasa kepedulian dan kasih sayang kepada yang lain telah hilang. Bahkan jelas-jelas, muslim Rohingya sebagai korban kezaliman rezim yang menerapkan sistem kapitalisme, masih belum menjadikan muslim Indonesia sigap menolong mereka. Sedangakan negara hanya mampu menyodorkan kepedulian setengah hati yang tidak pernah menyentuh akar permasalahannya.
Ya, negara hanya mampu berusaha pada tataran solusi teknis seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang mengatakan, pemerintah akan memindahkan sekitar 137 pengungsi Rohingya yang ditampung di Balai Meuseraya, Aceh. Memindahkan tanpa pengurusan yang jelas, lantas untuk apa?
Langkah ini tidak mengubah, mengurangi, atau bahkan menyelesaikan masalah pengungsi Rohingya di Indonesia. Justru sampai hari ini, nasib pengungsi Rohingya tidak jauh berbeda dengan kondisi awal mereka tiba di negeri ini. Padahal skala negara harusnya bisa memberikan solusi atas mereka, tetapi nyatanya tidak terjadi. Miris!
Muncul sebuah pertanyaan besar di benak kita, mengapa Indonesia sebagai negeri dengan mayoritas penduduk muslim hanya mampu menyodorkan solusi teknis atas mereka? Hal ini terjadi karena mayoritas muslim telah dirantai kekuatannya dengan peraturan global yang batil.
Ikatan nation state atau sekat-sekat nasionalisme senantiasa merantai tujuan mulia negara yang bersangkutan, tak terkecuali Indonesia dan seluruh negeri-negeri muslim lainnya. Jadi, ketika negeri ini hendak memberi bantuan, tetap tidak bisa maksimal dan sealakadarnya, bahkan seolah-olah tidak membantu.
Identitas ukhuah islamiah kaum muslim terlepas, tidak hanya di kalangan individu dan masyarakat saja, tetapi juga tataran negara. Oleh karenanya, pemandangan muslim ibarat satu tubuh menjadi pemandangan yang langka bahkan nihil di tengah sistem kapitalisme demokrasi.
Dominasi sistem ini telah mencongkel rasa kepedulian umat. Akibatnya umat makin jauh dari pandangan dasar agama sehingga muncullah narasi urusan muslim Rohingya adalah urusan negara mereka, bukan urusan kita.
Kalaupun ada kepedulian, itu hanyalah sekadar kepedulian semu, yakni kepedulian yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi penindasan atau pemerasan atas nama kepedulian. Lagi-lagi, melihat ini, kafir penjajah tertawa terpingkal-pingkal di atas penderitaan kaum muslim.
Persekongkolan para penguasa dengan musuh (baca: kafir penjajah) telah mengantarkan para penguasa muslim makin abai dan jauh dari kepedulian hakiki terhadap keadaan umat. Kafir penjajah kembali diuntungkan dari keadaan ini, baik dari segi pengokohan pengendalian mereka atas penguasa muslim maupun kaum muslim secara keseluruhan.
Butuh Negara Adidaya yang Mengadobsi Islam
Oleh karena itu, kaum muslimin hari ini sangat membutuhkan hadirnya sebuah negara adidaya yang independen dan mengadopsi syariat Islam, baik secara hukum, politik, ekonomi, sosial maupun pendidikan. Negara inilah yang akan mampu mengambil langkah nyata dan tegas membantu konflik yang terjadi pada saudara kita, baik di Rohingya, Palestina, maupun negeri-negeri muslim lainnya yang sedang ditindas oleh kaum kuffar. Bahkan negara adidaya inilah yang akan senantiasa menyuguhkan pemandangan indah yang disabdakan oleh Rasul, “muslim ibarat satu tubuh” pada kehidupan Islam.
Kehidupan Islam adalah kehidupan yang di dalamnya diterapkan Islam secara paripurna. Ketika Islam diemban penuh oleh sebuah negara, maka inilah yang menjadikan negara tersebut tampil menjadi negara adidaya. Saat syariat Islam diterapkan secara kafah oleh negera, kaum muslim akan menunjukkan jati dirinya sebagaimana tuntunan dalam syariat Islam.
Ekspresi ukhuahnya nyata dan mengagumkan. Mengapa? Karena tidak ada landasan lain mereka bersaudara kecuali satu, yaitu akidah Islam. Akidah inilah yang mendorong mereka menjadi pribadi yang mulia nan tinggi derajatnya.
Landasan akidah inilah yang membuat Salman Al-Farisi memberikan semua keperluan pernikahannya kepada Abu Darda yang hendak menikah dengan seorang perempuan yang menolak pinangannya. Kemudian beralih ke pemandangan indah selanjutnya yang menggambarkan kuatnya persaudaraan muslim, antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin di awal hijrah.
Kaum Anshar bahkan sangat rela dan peduli akan urusan saudaranya Muhajirin yang dari Makkah. Kaum Anshar tidak hanya membagi harta, tetapi juga istri mereka rela diceraikan demi kepedulian pada kaum Muhajirin. Lalu pemandangan yang sama ditunjukkan oleh Khalifah Umar, yakni kepedulian beliau sebagai khalifah yang mengantarkan sendiri gandum kepada rakyatnya yang kelaparan.
Inilah kepedulian atas dasar akidah Islam yang amat dahsyat dan nyata. Kepedulian semacam ini tidak akan terjadi dalam sistem sekularisme kapitalisme dengan sekat-sekat nation state-nya. Hadis kaum muslim ibarat satu tubuh hanya bisa diamalkan apabila negeri-negeri muslim hari ini menerapkan sistem Islam yang telah diwariskan oleh Rasulullah dan menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk memperjuangkannya.
Wallahu a’lam. [CM/NA]