Oleh. Mustika Lestari
(Freelance Writer)
Cemerlangmedia.Com — Kasus kekerasan seksual di Indonesia terus bermunculan tanpa jeda. Belum tuntas kasus lama, muncul berderet kasus baru, begitu seterusnya. Seolah menjadi fenomena rutin yang terjadi di tengah masyarakat.
Baru-baru ini Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan pendataan kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan. Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti mengatakan, pihaknya mengumpulkan data melalui pemberitaan media massa karena telah dilaporkan kepada pihak kepolisian. Ditemukan sejak Januari-Mei 2023 terdapat 22 kasus kekerasan seksual dengan korban hingga 202 anak atau peserta didik.
Dari 22 kasus tersebut, sebanyak 50% atau 11 kasus terjadi pada satuan pendidikan di bawah Kemendikbud-Ristek, satu di antaranya terjadi di luar sekolah. Sedangkan 36,36% atau 8 kasus di bawah kewenangan Kementerian Agama, dan 13,63% atau 3 kasus lainnya terjadi di lembaga pendidikan informal, seperti tempat pengajian (m.mediaindonesia.com, 3-6-2023).
Bukan hanya tahun ini, apabila menguak kasus kejahatan seksual di dunia pendidikan tanah air dari tahun ke tahun tidak kalah mencengangkan dari kasus serupa di lingkungan masyarakat. FSGI mencatat setidaknya ada 17 kasus dengan 117 anak menjadi korban pelecehan seksual di sekolah sepanjang 2022, sementara itu terjadi sekitar 18 kasus pada 2021 dengan 207 anak sebagai korbannya. Bahkan angka ini belum mencakup kasus di jenjang perguruan tinggi.
Tentu saja fakta tersebut mencoreng citra dunia pendidikan yang seharusnya menjadi ruang teraman bagi generasi bangsa menimba ilmu, kini berubah menjadi tempat menakutkan. Sekolah tidak lagi steril dari predator seksual. Korbannya bukan satu atau dua orang, melainkan ratusan. Itupun hanya kasus yang terlapor, di mana yang tidak terungkap atau terlapor jauh lebih banyak lagi.
Berbagai kalangan termasuk pemerintah sepakat bahwa fenomena ini mesti segera dihentikan. Hanya saja, berbicara langkah tanggap yang ditempuh terkesan ala kadarnya. Lihat saja di instansi terkait, biasanya hanya melaporkannya kepada pihak kepolisian atau lebih ringan lagi sebatas memutasi pelaku, bahkan sekadar memindahkan kelas mengajar. Jelas ini bukan solusi, sebab tidak akan membuat kapok.
Begitu pula pemerintah, sejauh ini sudah mengeluarkan beragam regulasi untuk memerangi persoalan tersebut. Seperti Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, kemudian menerbitkan pula Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Namun nihil, realita menunjukkan efeknya hanya beda tipis, yakni tetap tidak mengubah apa pun. Kasus seksual kian menjamur dan berlarut.
Harus dipahami bahwa untuk menuntaskan suatu persoalan mesti mengurainya dari yang paling dasar agar solusinya tepat. Namun, kacamata negeri ini ketika terjadi penyimpangan aturan tidak lebih dari menyorot personalnya saja. Padahal jika mau jujur, banyak faktor yang menyertai keruwetan kasus yang satu ini.
Memang kita tidak bisa menyangkal kesalahan individu sebagai pelakunya. Akan tetapi, melihat fenomenanya yang meluas dan berulang-ulang sudah pasti tidak sesederhana itu. Media yang menyajikan informasi tanpa filter, berhamburan konten haram pornografi dan pornoaksi turut mengambil andil dalam memicu rangsangan seksual bagi siapa saya yang melihatnya. Akhirnya, menuntun pelaku untuk memenuhi tuntutan tersebut tak terkecuali pada anak-anak didik. Individu yang dasarnya memiliki pemahaman serba bebas dan boleh mudah saja melakukannya.
Sistem pendidikan yang berlaku juga demikian. Visinya yang hanya pada pencapaian angka-angka tanpa disertai dengan pengukuhan karakter sesuai tuntunan agama kepada peserta didik maupun tenaga pendidiknya menjadikan output yang dihasilkan banyak yang bermasalah. Faktanya, mereka yang seharusnya melindungi anak bangsa seolah merasa tidak berdosa melakukan aktivitas bejat kejahatan seksual.
Makin kompleks dengan aturan hukum buatan manusia yang berlaku. Setingkat lingkungan pendidikan bahkan negara tidak mampu memberikan efek jera. Bahkan dengan penentuan benar dan salah dengan standarnya yang ambigu sebenarnya sudah menjadi persoalan. Orang yang benar bisa jadi salah atau yang salah bisa jadi benar tergantung kekuatan uang dan relasi. Sekalipun akhirnya menjerat pelaku yang sebenarnya bersalah, hanya berupa pemberhentian kerja, denda, dan pidana penjara yang sangat nyaman. Alhasil, jangankan kasus itu tuntas berkurang saja rasanya mustahil.
Sengkarut persoalan di atas tidak terjadi begitu saja. Melainkan konsekuensi logis dari penerapan sistem sekularisme-liberal di negeri ini. Landasannya yang memisahkan peran agama dari kehidupan mengharuskan aturan negara termasuk aktivitas manusia secara menyeluruh mengikuti kehendaknya sendiri. Individu yang kering iman, kehidupan bermasyarakat dan bernegara juga jauh dari aturan agama, maka jadilah kasus seksual ada di mana-mana. Sistem rusak ini telah terbukti hanya menambah deretan panjang kejahatan seksual di lingkungan pendidikan.
Berbeda halnya dengan Islam yang diturunkan oleh Sang Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan, Allah Swt. untuk menyelesaikan masalah kehidupan manusia. Termasuk berkaitan dengan kekerasan seksual yang saat ini membelenggu pendidikan dan masyarakat secara umum.
Islam memandang aktivitas seksual tanpa adanya ikatan pernikahan (zina) sebagai tindakan kriminal sekaligus kemaksiatan. Islam secara tegas menyatakan bahwa perbuatan yang demikian itu haram hukumnya, dalam bentuk apapun. Allah Swt. berfirman dalam QS al-Isra ayat 32, “Janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang buruk.”
Atas dalil di atas, maka segala sesuatu yang mendekati atau dapat mengantarkan ke arah perzinaan maka haram dilakukan. Termasuk peredaran konten-konten negatif, seperti pornografi-pornoaksi, ataupun yang semisalnya. Islam menindak tegas para pelaku sesuai ketentuan takzir.
Islam mewajibkan negara untuk memupuk keimanan masyarakat sejak dini sehingga ketika menjalani kehidupan di tengah masyarakat, benteng internalnya telah terbentuk. Tentunya disertai dengan pelaksanaan pendidikan Islam yang mendukung pemahaman masyarakat. Mulai dari menjelaskan syariat Islam yang memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan kecuali pada hal-hal yang dibolehkan, menanamkan pemahaman atas larangan berkhalwat, kewajiban menutup aurat bagi wanita, menundukkan pandangan bagi pria, dan sebagainya. Aktivitas amoral semacam perzinaan akan tertutup apabila landasannya adalah pemahaman Islam.
Adapun benteng terakhir penjagaan Islam dari kasus ini adalah sistem sanksi yang tegas oleh negara. Standar benar-salah, baik atau buruknya suatu perbuatan tidak berdasar pada selera manusia, melainkan syariat Islam yang telah pasti. Hukuman rajam untuk pelaku kejahatan seksual bagi yang sudah menikah, sementara pelaku yang belum menikah, Islam menetapkan sanksi padanya 100 kali dera. Selain untuk menyelesaikan kasus yang telah terjadi dan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari, aturan tersebut juga untuk menebus dosa pelaku di akhirat.
Sungguh, kasus seksual yang sangat meresahkan masyarakat hanya akan tuntas ketika negara menerapkan aturan Islam. Individu yang islami, pendidikan yang ideal, dan sanksi yang solutif akan mengantarkan pada kebaikan untuk seluruh manusia. Saatnya kita menyadari urgensi syariat Islam agar terwujud negara yang aman dan kehormatan manusia pun dapat terjaga. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]