Oleh. Ummu Farizahrie
(Pegiat Literasi dan Dakwah)
CemerlangMedia.Com — Indonesia kembali memasuki musim kemarau panjang. Pada tahun ini, cuaca panas diprediksi akan terjadi hingga pertengahan September 2023 dan diperkirakan bakal terasa lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan fenomena El Nino yang bersamaan dengan Indian Ocean Dipole (IOD) positif.
IOD adalah perbedaan suhu muka laut di Samudra Hindia bagian barat dan timur. Sementara El Nino sendiri yaitu fenomena naiknya suhu permukaan air laut di wilayah Samudra Pasifik bagian tengah. Efek samping El Nino dapat mengakibatkan curah hujan di wilayah Indonesia dan sekitarnya menurun secara signifikan. Kombinasi keduanya menyebabkan musim kemarau lebih kering dari biasanya.
Kondisi kemarau disertai kekeringan ini acapkali menyebabkan menyusutnya sumber mata air yang biasa dipakai penduduk untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Keadaan sungai yang mengering serta berkurangnya jumlah mata air yang dapat dimanfaatkan warga menyebabkan terjadinya krisis air bersih. Beberapa daerah di Indonesia yang kerap menanggung dampak kekeringan ini di antaranya NTT, NTB, beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, Bali, serta bagian selatan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Di daerah yang mengalami krisis air bersih mulai mengalami berbagai masalah. Wilayah Kota Banjar di Jawa Barat misalnya, warganya sudah puluhan tahun sulit mendapatkan air bersih untuk minum karena sumur-sumur mereka terasa asin (tvOnenews.com, 7-8-2023). Demikian juga dilansir dari republika.id, sebagian warga di Kabupaten Bogor yang terserang diare karena air sungai yang mereka manfaatkan untuk kehidupan sehari-hari tercemar oleh sampah.
Begitupun dengan beberapa wilayah di NTT yang mengalami siaga kekeringan hingga kekeringan ekstrem. Tak ketinggalan daerah-daerah lainnya di negeri ini yang membutuhkan akses air layak konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Sementara itu pemenuhan air bersih tidak bisa dipenuhi oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di berbagai daerah, karena akses yang belum merata akibat infrastruktur perpipaan belum memadai. Akibatnya wilayah-wilayah yang mengalami krisis air kerap kali mengandalkan bantuan dari BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) berupa tangki-tangki air yang datang ke wilayah mereka. Itu pun sering terkendala dengan sulitnya akses jalan menuju lokasi.
Cara lain yang dilakukan masyarakat yaitu dengan membeli air dan ini memaksa mereka untuk merogoh kocek lebih dalam hanya untuk memenuhi kebutuhan air minum. Kedua cara ini tidak akan dapat memenuhi kebutuhan rakyat akan air bersih karena faktanya, air yang mereka dapatkan juga dijatah, bukan dialirkan langsung ke rumah-rumah penduduk.
Indonesia Negeri Kaya Sumber Daya Air
Padahal negeri ini sejatinya dianugerahi dengan kekayaan alam dan sumber air yang melimpah. Pulau-pulau yang ada seluruhnya dikelilingi lautan, sungai, danau, dan sumber-sumber mata air dari berbagai pegunungan yang tak kalah banyaknya. Namun, miris, rakyatnya seringkali mengalami kekurangan air bersih, bahkan di tempat-tempat terpencil mereka harus berjalan berkilo-kilo meter jauhnya sekadar untuk mendapatkan beberapa jerigen air yang mereka butuhkan.
Sementara itu, kita dapati di perkotaan, berbagai macam merek air minum kemasan melimpah dan dijual bebas di warung-warung, toko, dan mini/supermarket. Tentu saja air minum ini tidaklah gratis, tetapi harus ditebus dengan harga tertentu. Demikian juga penjual air jerigen yang berkeliling komplek perumahan untuk menawarkan air layak masak.
Kalau kita bertanya, mengapa air bisa dijadikan salah satu komoditas? Bukankah seharusnya masyarakat bebas mengakses dan memanfaatkan air sebagai salah satu anugerah yang diberikan Allah Swt. kepada negeri ini dengan melimpah ruah?
Persoalan Sistemik
Itu dikarenakan negeri ini adalah salah satu dari banyak negara di dunia yang menganut paradigma kapitalisme neoliberal. Sistem ini meniscayakan liberalisasi dan kapitalisasi sumber-sumber daya alam. Atau dengan kata lain para kapitalis (orang-orang bermodal besar) bebas memperjualbelikan SDA dengan melakukan eksplorasi besar-besaran terhadap sumber daya yang semestinya digunakan untuk hajat hidup rakyat.
Krisis air akibat kekeringan yang kerap terjadi ini disebabkan oleh berbagai hal, di antaranya deforestasi besar-besaran untuk pembukaan lahan perkebunan dan menguasai sumber mata air oleh swasta/asing. Hal ini karena penguasa membuka peluang privatisasi dengan dalih investasi. Padahal sejatinya pihak swasta/asing tentu hanya ingin mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Faktanya di negeri ini, industrialisasi air minum dalam kemasan (AMDK) makin menggurita. Muncul berbagai perusahaan baik lokal maupun asing yang diberi akses oleh penguasa untuk menguasai mata air-mata air terbaik negeri kita. Dengan demikian, otomatis rakyat tidak dapat mengakses sumber mata air yang melimpah karena telah dimiliki para korporat tersebut. Jadilah masyarakat harus membeli dengan harga mahal demi memenuhi kebutuhan air minum mereka.
Penguasa terlihat tak ambil pusing dengan keadaan ini. Mereka menganggap selama masyarakat membutuhkan sudah pasti akan membeli air yang dibutuhkan. Sementara itu, pemerintah tak segan-segan memberikan izin kepada pengelola industri dan perhotelan untuk memanfaatkan air tanah sebanyak-banyaknya. Di sisi lain, perusahaan air ‘plat merah’ seolah tak mampu mengelola sumber-sumber air negeri ini seperti sungai dan laut untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Padahal teknologi sudah makin canggih dan sumber daya manusia yang mampu mengelolanya juga sangat memadai.
Namun, inilah watak asli penguasa yang abai akan urusan rakyatnya. Hubungan pemerintah dengan rakyat pada akhirnya dibangun layaknya pedagang dan pembeli. Orientasi mereka adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya, sama sekali tak peduli dengan penderitaan rakyat. Alih-alih memihak rakyat, para penguasa ini lebih memilih menjadi regulator yang memuluskan jalan bagi korporasi untuk menguasai sumber daya alam negeri ini. Sangat jauh dari pemahaman bahwa tanggung jawab pengurusan umat ada di tangan mereka dan akan dipertanggungjawabkan kelak kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Padahal Rasulullah saw. telah bersabda, “Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari)
Islam Mengatasi Kekeringan
Kondisi kekeringan berkepanjangan serta krisis air tidak akan terjadi bila penguasa dan umat mau diatur dengan aturan Islam. Islam membagi harta menjadi 3 kepemilikan, yaitu individu, negara, dan publik. Adapun sumber daya alam yang jumlahnya melimpah seperti air (danau, sungai, laut, terusan, dll.) adalah milik umum. Seluruh rakyat boleh memanfaatkan harta milik umum termasuk sumber daya air. Sementara tugas penguasa adalah mengelola dan mengawasi pendistribusiannya. Dilarang memberikan hak khusus (konsesi) kepada siapa pun yang ingin memonopoli sumber air.
Berikutnya, penguasa akan membangun sistem perpipaan ke seluruh negeri sehingga air bersih akan mengalir ke setiap rumah penduduk tanpa terkecuali secara gratis. Di samping itu, hutan sebagai penyangga utama dalam ekosistem air akan dijaga dan tidak akan memberikan izin kepada siapa pun yang akan mengeksploitasinya.
Untuk mengantisipasi fenomena alam yang sulit dicegah seperti El Nino dan IOD, pemerintah akan mengerahkan para ahli ekologi dan hidrologi guna menyusun strategi terbaik. Oleh karenanya, dapat mencegah kekeringan sedari awal bilamana fenomena tersebut terjadi. Dalam hal ini pemerintahan Islam akan memerintahkan BMKG untuk menganalisis setiap bentuk perubahan iklim yang dapat memengaruhi kehidupan manusia.
Demikianlah sempurnanya Islam mengatur kelestarian alam dan pengelolaan sumber daya air sehingga membawa kemaslahatan bagi umat manusia sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]