Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
CemerlangMedia.Com — Ramadan sebentar lagi berlalu. Ada kesedihan, ada kegembiraan. Kesedihan, jangan-jangan ini adalah Ramadan terakhir dan belum optimal ibadah yang telah dijalankan. Kegembiraan, menjelang Lebaran Idulfitri, hal yang ditunggu-tunggu oleh semua orang terutama para pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta, yaitu tunjangan hari raya (THR) sudah mulai cair. Pemerintah juga telah menerbitkan surat edaran, THR wajib dibayarkan kepada pekerja secara penuh dan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya.
Menariknya, ramai bermunculan saran dan tip pemakaian bijak THR seramai potongan harga di pusat perbelanjaan, sebagaimana yang disampaikan Head of Research and Advisory Bank Commonwealth Thadly Chandra terkait tip untuk mengelola THR dengan bijak, yaitu butuh pos alokasi dan skala prioritas. Tentu saja tujuannya agar THR tidak habis sia-sia karena konsumsi berlebih atau impilsive buying. Rekomendasinya berupa alokasi THR dengan konsep zakat 10%, investasi 20%, keperluan hari raya 60%, dan dana darurat 10% (republika.co.id, 27-3-2024).
Terkadang teori tak seindah kenyataan. THR yang belum nyata cair sudah harus menghadapi skema baru potongan PPh Pasal 21 dan BPJS yang sudah ditetapkan pemerintah pada 1 Januari lalu. TER (tarif efektif rata-rata) akan dikenakan kepada wajib pajak. Pertama, tarif efektif bulanan untuk pegawai tetap dan pensiunan. Kedua, tarif efektif harian untuk pegawai tidak tetap (BBC.com, 24-3-2024).
Oleh karena itu, sudah bisa dipastikan, jumlah THR yang bakal diterima tidak akan sebesar hitungan awal, yakni satu kali gaji penuh. Sementara itu, bisa dipastikan, sebagian besar THR akan digunakan untuk kebutuhan pokok, bukan tambahan sebagaimana yang direncanakan.
Faktanya memang, kebutuhan hari ini tidak sebanding dengan pendapatan. Jelang Ramadan dan Idulfitri, kebutuhan seolah unjuk rasa menuntut untuk dipenuhi, mulai dari makanan, pakaian, pernik-pernik Ramadan dan Lebaran, hingga tiket mudik. Tidak semua bisa disubsidi pemerintah sehingga muncullah pertimbangan pinjaman online.
Kapitalisme Munculkan Gaya Hidup Baru
Semestinya Ramadan dipenuhi dengan kekhusyukan beribadah. Ramadan yang dijuluki sebagai syahrul maghfirah atau bulan ampunan, tetapi makin ke sini makin teracuni dengan kampanye kapitalisme gaya hidup “sempurna” ala mereka. Kaum muslim makin jauh dari kiblat yang sebenarnya dan membebek, seolah yang benar adalah apa kata mereka.
Apalagi jika melihat tujuan pemerintah memberi THR atau tunjangan kinerja (Tukin), tentu rakyat akan kian gelisah. Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pemberian Tukin 100% adalah upaya pemerintah guna mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 sebesar 5,2% year on year (YoY). “Sebetulnya di dalam APBN 2024, di mana kita menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2%, itu sudah termasuk di dalamnya memperhitungkan dampak dari THR dan ASN. Nantinya akan memengaruhi growth di kuartal I dan kuartal II,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (15-3-2024).
Dengan kata lain, Sri Mulyani berharap, pemberian THR dan gaji ke-13 ini bisa menjaga momentum pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional. Ramadan dan Hari Raya Idulfitri merupakan salah satu momentum untuk mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat, termasuk melalui pemberian THR bagi aparatur negara dan pensiunan (kontan.co.id, 16-3-2024).
Ingat, bukan untuk kesejahteraan. Dan memang, faktor pembentukan kesejahteraan bukan THR semata. Rakyat masih butuh kemudahan akses ke arah faktor-faktor ekonomi lainnya, yaitu produksi yang berkualitas dan distribusi yang merata. Di sisi inilah peran pemerintah alpa. Sebab, kapitalisme secara teori membatasi campur tangan negara dan memberikan peran itu kepada swasta atau korporat.
Akhirnya, ketika THR cair, yang terjadi justru rakyat boncos karena biaya hidup masih tinggi dan belum bisa ter-cover sekalipun ada THR, sebab nominalnya saja sudah dipangkas pungutan pajak. Lepas tangannya pemerintah terhadap penjaminan kesejahteraan rakyat terutama selama Ramadan dan menjelang hari raya, ditambah runyam oleh pendapat ahli yang mencoba memaparkan skema pemanfaatan THR agar lebih sejahtera yang sejatinya bak angin lalu karena tidak menyentuh akar persoalan yang menimpa masyarakat.
Jangankan untuk investasi, THR untuk saving saja bagi sebagian masyarakat hanyalah hayalan. Lebih sadis, negara justru menekan pengusaha dengan menjatuhkan sanksi jika terlambat membayarkan THR. Kekacauan pengaturan ini tidak bisa dihindarkan, sebab asas sistem kapitalisme ini sangatlah rapuh, yaitu sekuler. Aturan diambil bukan dari Sang Pembuat hukum, Allah swt., tetapi dari manusia yang tidak memiliki batasan baku tentang maslahat.
Islam Sistem Sempurna Wujudkan Sejahtera
Bak lingkaran setan. Setiap tahun berputar antara THR, tuntutan untuk dibelanjakan, tekanan pemerintah kepada pengusaha untuk memikirkan kesejahteraan karyawan, tidak pernah menyentuh kesejahteraan hakiki.
Dalam pandangan Islam, THR bukan hal yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada karyawannya, melainkan hanya opsional. Sebab, hak dan kewajiban antara pengusaha dan karyawannya hanyalah akad kerja yang sudah disepakati dan sama-sama dimaklumi terkait waktu, jenis pekerjaan, besaran upah, dan beberapa persyaratan yang disepakati kedua belah pihak.
Urusan sejahtera bukan lagi ranah pengusaha, melainkan negara. Artinya, bukan negara yang menentukan tarif UMR (upah minimum regional), tetapi negara berdiri sebagai support system, memastikan setiap kebutuhan pokok rakyatnya mudah diakses.
Baitulmal adalah sistem keuangan negara yang telah terbukti tangguh sepanjang zaman, membiayai seluruh proyek negara dalam rangka menciptakan maslahat bagi rakyatnya. Tidak ada inflasi yang terjadi menjelang hari raya, sebab negara hadir mengatur, bukan mematok harga.
Baitulmal berisi harta kepemilikan umum berupa barang tambang, energi, kekayaan laut, hutan, dan lainnya yang dikelola oleh negara. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat, baik langsung (semisal BBM, listrik, air, dan lainnya) maupun tidak langsung, seperti pembangunan sekolah, rumah sakit, jalan tol, dan lainnya. Ditambah dengan pengelolaan negara atas harta milik negara, seperti fa’i, kharaz, jizyah, tanah hima, dan lainnya, bisa diberikan oleh negara sebagai subsidi.
Selain baitulmal, masih ada pemasukan dari pos zakat yang penyalurannya khusus untuk 8 ashnaf sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an. Dengan mekanisme pembiayaan ini, maka negara tidak perlu merangsang rakyatnya dengan THR untuk meningkatkan pendapatan negara dan menstabilkan perekonomian.
Hari ini ekonomi terus-menerus bergoncang, ini karena peran negara sebatas regulator kebijakan, padahal semestinya pemimpin adalah pelayan umat, bukan pelayan korporasi, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda,
”Pemimpin itu adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketakwaan kepada Allah dan bersikap adil, pemimpin itu bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika dia memerintahkan selain itu, pemimpin tersebut merupakan musibah bagi rakyatnya.” (HR Muslim).
Untuk itulah, menjadi kepentingan kita bersama hari ini, mewujudkan pemimpin yang dimaksud Rasulullah. Tentu dengan membuang sistem kapitalisme dan menggantinya dengan syariat. Allah Swt. berfirman yang artinya,
”Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al-Maidah: 50). Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]