Penulis: Umi Hafizha
Kesejahteraan keluarga tidak akan tercapai tanpa sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, menyediakan lapangan kerja, dan menjaga harga kebutuhan pokok agar terjangkau oleh seluruh masyarakat.
CemerlangMedia.Com — Pada pekan terakhir Agustus 2025, kata kunci “cerai” mencapai puncak tertinggi sepanjang tahun. Google Trends mencatat popularitas kata kunci tersebut tidak surut hingga meningkat lagi di pecan ketiga Oktober (kompas.id, 7-11-2025).
Pemicu Perceraian
Fenomena tersebut menggambarkan bahwa perceraian kini kian akrab dalam kehidupan sosial masyarakat. Tren perceraian terjadi di berbagai kalangan, baik pada pasangan muda maupun mereka yang sudah lama menikah, bahkan di usia senja (grey divorce).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah perceraian di Indonesia mencapai hampir 4000 kasus sepanjang 2024, meningkat 13,1 persen dibandingkan satu dekade sebelumnya. Pada 2024, enam dari sepuluh kasus perceraian disebabkan oleh pertengkaran yang terus-menerus. Tidak jarang, pertengkaran berujung kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) (bphn.go.id, 16-10-2025).
Sekitar seperempat kasus dipicu oleh masalah keuangan, 8% oleh penelantaran pasangan dan sebagian kecil akibat perselingkuhan, perjudian, serta penyalahgunaan alkohol atau narkoba. Sementara itu, data kementerian agama Republik Indonesia mencatat bahwa gugatan cerai diajukan oleh pihak perempuan.
Fakta ini menandakan adanya perubahan sosial yang cukup signifikan. Kemandirian finansial makin yang dimiliki perempuan diduga menjadi salah satu faktor pendorong keberanian mereka untuk mengakhiri pernikahan yang sudah tidak harmonis.
Tingginya angka perceraian di Indonesia bukan sekadar persoalan rumah tangga, melainkan cerminan rapuhnya bangunan sosial yang berdiri di atas fondasi yang salah. Beragam faktor yang memicu perceraian, mulai dari pertengkaran, tekanan ekonomi, KDRT, hingga perselingkuhan, dan judi online sesungguhnya berpangkal dari satu hal, yaitu lemahnya pemahaman masyarakat tentang hakikat pernikahan.
Dampak Kapitalisme
Dalam pandangan Islam, pernikahan adalah perjanjian yang kuat, bukan sekadar kontrak sosial atau hubungan emosional semata. Pernikahan dibangun atas dasar ketakwaan dengan tujuan menjaga kehormatan, melanjutkan keturunan, dan mewujudkan ketenteraman hidup dalam rida Allah Swt.. Namun, ketika masyarakat memandang pernikahan hanya sebagai urusan pribadi atau sebagai sarana memenuhi hasrat dan kenyamanan semata, maka tidak heran jika terjadi masalah akan berujung pada perceraian.
Sistem kapitalisme sekuler telah menjadikan kebebasan individu dan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Dalam sistem ini, hubungan antar individu diukur berdasarkan manfaat dan kepuasan yang didapatkan, bukan lagi sebagai kewajiban dari Allah untuk membangun keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah.
Masalah ekonomi yang menjadi pemicu perceraian menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang diterapkan, negara telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Sistem kapitalisme meniscayakan kekayaan hanya berputar pada segelintir elite dan penguasa. Sementara rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan, seperti pajak, komersialisasi layanan publik, hingga mahalnya berbagai kebutuhan hidup.
Selain itu, sekularisme telah menjauhkan nilai agama dari kehidupan. Agama dipisahkan dari pendidikan, media, dan kebijakan negara sehingga generasi tumbuh dengan cara pandang liberal, bebas mencintai, menikah, dan bebas berpisah.
Kapitalisme telah mendorong perempuan keluar dari peran utamanya sebagai pendidik generasi dengan dalih kemandirian, padahal sistem kapitalisme hanya menjadikan perempuan sebagai tenaga murah demi kepentingan pasar. Tekanan ekonomi dan peran ganda membuat perempuan akhirnya memilih perceraian sebagai bentuk kebebasan.
Pandangan Islam
Berbeda dalam sistem Islam, Islam memandang bahwa persoalan perceraian tidak bisa diselesaikan melalui bimbingan konseling atau nasihat moral semata. Akan tetapi, harus dengan perubahan sistemik yang menyentuh akar permasalahannya. Dalam Islam, ketahanan keluarga dibangun di atas tiga pilar utama, yakni kepribadian Islam yang kukuh pada individu, masyarakat islami, dan adanya perlindungan oleh negara melalui sistem politik dan ekonomi Islam.
Sistem pendidikan Islam memiliki peran utama dalam membentuk kepribadian islami. Sejak dini, individu dibina dengan akidah Islam agar memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Pendidikan tidak hanya sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan keimanan, ketakwaan, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah.
Dengan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, laki-laki disiapkan menjadi pemimpin dan penanggung jawab keluarga, sementara perempuan disiapkan untuk menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Keduanya memahami bahwa pernikahan bukan hanya sekadar mengejar kenikmatan dunia, tetapi beribadah untuk mewujudkan ketenangan dan ketaatan kepada Allah Swt..
Kesejahteraan keluarga tidak akan tercapai tanpa sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara. Negara wajib menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, menyediakan lapangan kerja, dan menjaga harga kebutuhan pokok agar terjangkau oleh seluruh masyarakat.
Dengan demikian, suami tidak terbebani oleh tekanan ekonomi, istri pun tidak harus menjalani peran ganda dan anak akan tumbuh dalam lingkungan yang stabil. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, ketahanan keluarga bisa ditegakkan dan perceraian dapat diminimalkan. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/Na]
Views: 4






















