Ketika Ukhuah Digantikan oleh Nasionalisme

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

#30HMBCM

Oleh: Vivi Nurwida

CemerlangMedia.Com — Ada luka lain yang sering kali luput kita rasakan, luka yang tidak terlihat, tetapi jauh lebih mematikan dibandingkan serangan bom. Luka itu bernama nasionalisme, sebuah ide yang dipromosikan sebagai bentuk cinta tanah air. Namun dalam praktiknya, merupakan sekat-sekat yang menghalangi umat Islam untuk bersatu sebagai satu tubuh.

Gaza adalah salah satu saksinya. Ketika muslim Palestina dijajah, negeri-negeri muslim di sekelilingnya justru sibuk menjaga batas negara masing-masing. Tentara ditempatkan bukan untuk membela saudara seiman yang dibantai, melainkan menjaga garis batas agar “kedaulatan nasional” tetap utuh. Perbatasan dijaga lebih ketat daripada keberpihakan pada umat yang disiksa. Inilah tragedi zaman modern: ukhuah islamiah digantikan oleh nasionalisme dan sejak itu, kekuatan umat hancur berkeping-keping.

Nasionalisme: Pisau yang Membunuh “Ibu” Kita

Dalam kitab Daulah Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, tsaqafah Barat, termasuk nasionalisme di dalamnya, digambarkan dengan metafora yang sangat kuat dan mengguncang. Di dalamnya digisahkan, “Bagaimana generasi muda, yang tumbuh dalam hegemoni Barat, melihat pembunuh Daulah Islam yang masih berlumuran darah ‘ibu’ mereka?

Mereka justru mendengar pembunuh itu berkata, ‘Aku membunuh ibumu karena ia lemah dan merawatmu dengan buruk. Aku akan memberimu kehidupan yang lebih baik.’ Lalu mereka menjabat tangan sang pembunuh, padahal senjatanya masih meneteskan darah ibu mereka.”

Siapa “ibu” yang dimaksud? Ia adalah Khil4f4h, sebuah sistem yang dahulu mempersatukan umat Islam dengan kekuasaan 2/3 dunia. Khil4f4h dipenggal oleh kekuatan kolonial. Khil4f4h yang setelah wafat —anak-anaknya dipaksa menerima pemikiran penjajah sebagai sesuatu yang luhur.

Oleh karen itu, lahirlah negara-negara kecil dengan batas buatan, seperti Indonesia, Mesir, Pakistan, Suriah, Turki, Yaman, Sudan, dan sebagainya. Setiap batas lahir dari pena penjajah, bukan dari akidah. Paling tragis adalah kita diajari bahwa batas-batas itu adalah hal suci yang harus dibela mati-matian.

Nasionalisme Memecah Belah, Bukan Menyatukan

Dalam kitab Nizham Islam, karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa nasionalisme adalah ikatan yang rusak karena tiga sebab pokok. Pertama, mutunya rendah, tidak mampu menyatukan manusia menuju kebangkitan dan kemajuan. Kedua, bersifat emosional, mudah berubah dan tidak bisa menjadi ikatan yang langgeng. Ketiga, bersifat temporal, hanya muncul saat ada ancaman dan hilang saat keadaan stabil.

Ikatan yang seperti ini tidak akan pernah melahirkan persatuan sejati. Sebaliknya, ia selalu menuntut perbedaan, batas, dan pemecahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dunia Islam hari ini tercerai-berai seperti puzzle yang sulit disatukan.

Kita menyaksikan Gaza dibantai, tetapi Mesir menutup perbatasan. Rohingya dibakar hidup-hidup, tetapi negara-negara muslim hanya mengirim pernyataan. Sudan luluh lantak, tetapi dunia Islam tidak pernah bersatu untuk menghentikan penderitaan mereka.

Mengapa? Karena masing-masing pemimpin negeri muslim lebih loyal kepada negara-bangsa daripada kepada umat. Seorang anak tidak mungkin membela saudara kandungnya jika ia diajari bahwa “kita tidak satu keluarga”. Dan dalam konteks umat Islam hari ini, nasionalisme adalah ide yang menghapus “keluarga besar” itu.

Ukhuah Terganti Nasionalisme

Sebelum nasionalisme ditanamkan, umat Islam adalah satu tubuh. Apabila satu bagian sakit, seluruhnya merasakan perih. Rasulullah saw. bersabda,
“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh; bila satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Namun, setelah ide nasionalisme disuntikkan oleh kolonial Barat, umat Islam berubah menjadi bangsa-bangsa yang berdiri sendiri, tidak saling memedulikan nasib saudaranya.

Kita tidak lagi melihat seorang muslim di Gaza sebagai saudara, tetapi sebagai “warga negara lain”.

Kita tidak melihat Rohingya sebagai bagian dari tubuh kita, tetapi hanya sebagai “pengungsi asing”.

Kita tidak melihat Sudan sebagai rumah sendiri, tetapi sebagai “perang di negara jauh”.

Padahal tubuh itu satu. Hanya saja kita buta karena ide yang diinjeksikan musuh ke dalam pikiran kita.

Senjata yang Lebih Berbahaya dari Bom

Kolonialisme fisik memang menyakitkan, tetapi kolonialisme pemikiran jauh lebih mematikan. Sebab, bom hanya merusak bangunan, tetapi ide —merusak cara berpikir, cara merasa, dan cara bersikap.

Inilah senjata yang digunakan penjajah setelah mereka menggulingkan Khil4f4h: pecah-belah dan racuni. Pertama-tama, pecah belah umat menjadi negara-negara kecil. Kemudian racuni dengan sekularisme agar Islam tidak lagi menjadi dasar politik. Terakhir, tanamkan kapitalisme agar umat sibuk mengejar kepentingan materi, bukan kejayaan.

Kita butuh Ukhuah yang Hakiki

Hari ini, ketika Gaza terus dihancurkan, ketika Rohingya terlunta-lunta, ketika Sudan tidak menemukan akhir dari tragedinya, kita harus bertanya, apa yang bisa menyatukan kita kembali? Jawabannya bukan nasionalisme, bukan pula sekularisme, bukan diplomasi internasional.

Yang bisa menyatukan umat hanyalah akidah Islam, ikatan yang lebih kuat dari tanah, lebih kokoh dari darah, dan lebih langgeng dari garis perbatasan. Ikatan itu hanya akan tegak di bawah satu kepemimpinan, yaitu Khila4f4h yang menyatukan negeri-negeri muslim sebagaimana dahulu dilakukan Rasulullah saw., para sahabat, dan para khalifah setelahnya.

Saatnya Kembali Pada Persatuan Umat

Nasionalisme telah membuktikan bahwa ia hanyalah pisau yang memisahkan kita dari saudara-saudara kita sendiri.

Gaza membayar mahal akibatnya.
Rohingya membayar mahal akibatnya.
Sudan membayar mahal akibatnya.

Kini pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus memelihara pisau itu? Atau kita akan mengembalikannya, membuang racunnya, dan kembali menjadi satu tubuh yang kuat di bawah naungan Islam?

Umat ini tidak kekurangan jumlah, tidak kekurangan kekayaan, tidak kekurangan tanah. Yang kurang hanya satu, yaitu persatuan dalam satu kepemimpinan. Kebangkitan itu hanya mungkin jika kita berani melepaskan nasionalisme, lalu kembali kepada ukhuah islamiah yang hakiki.

Wallahu a‘lam bisshawab.

(*Naskah ini tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]

Views: 12

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *