Oleh: Nilma Fitri, S. Si.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS Al-Baqarah [2]: 168).
Setiap muslim wajib memperhatikan kehalalan setiap jenis makanan yang akan dikonsumsi sebagai ketaatan atas perintah dari Sang Khalik. Makanan halal, baik, dan bersih juga akan membawa dampak pada kesucian jiwa, kesehatan jasmani, dan kekhusukan beribadah dalam meraih rida Allah.
Begitu esensialnya kehalalan makanan, maka penting bagi negara memberikan jaminan halal bagi rakyat, seperti yang baru-baru ini diberitakan dalam kompas.com (2-2-2024). Kementerian Agama mewajibkan bagi pedagang makanan dan minuman termasuk pedagang kaki lima (PKL) memiliki sertifikat halal. Untuk penerapan awal, batas waktu kewajiban ini hingga (17-10-2024), seperti yang diungkap oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Muhammad Aqil Irham.
Tidak main-main, negara pun akan menegakkan sanksi bagi pedagang yang kedapatan tidak memiliki sertifikat halal. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk, sanksi yang diberikan dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan produk dari pasar. Di samping itu, negara juga memberikan kemudahan kepengurusan sertifikasi halal dengan menyediakan 1 juta kuota Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) yang dapat dimanfaatkan oleh PKL dalam memenuhi kewajiban tersebut (tirto.id, 2-2-2024).
Komersialisasi Sertifikat Halal
Namun, pada faktanya, 1 juta kuota Sehati tidak sebanding dengan jumlah pedagang yang ada. Masih banyak pedagang lain termasuk PKL yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke tidak dapat merasakan Sertifikat Halal Gratis secara merata. Pada akhirnya mereka harus mengikuti program reguler yang berbayar demi melaksanakan penerapan kewajiban ini.
Selain itu, adanya batas waktu berlakunya sertifikat halal, yakni 4 tahun sejak diterbitkan, kecuali bila terdapat perubahan komposisi bahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Pasal 42, setiap pedagang juga diwajibkan membayar perpanjangan sertifikat halal mereka secara berkala.Tentu hal ini menjadi peluang komersialisasi yang dilakukan negara dengan penerapan kewajiban sertifikat halal ini.
Di lain sisi, jaminan kehalalan produk yang seolah memihak rakyat, tetapi nyatanya malah menyusahkan rakyat juga. Padahal, bagi setiap pedagang muslim yang taat, produk yang mereka jual pun pasti sesuai syariat. Alhasil, kewajiban sertifikat halal berbayar akan menjadi tambahan beban modal yang harus dikeluarkan demi melaksanakan regulasi yang ditetapkan.
Kapitalisme Regulasi
Kesan yang kentara sekali dirasakan, di balik regulasi terdapat komersialisasi. Tidaklah heran apabila kondisi ini terjadi karena layanan negara dalam menjalankan perannya bagi rakyat telah terkontaminasi dengan tujuan komersial. Ini karena sistem yang dianut negara telah memaksa mereka menuntut banyak peluang pemasukan bagi negara. Dengan dalih demi menutupi banyaknya pengeluaran, tetapi kenyataannya peran kapitalis lebih mendominasi dalam meraih keuntungan pribadi.
Sistem kapitalisme telah menjadikan negara hanya sebagai pemegang regulasi yang memfasilitasi kapitalis dalam mengatur negara. Akibatnya, setiap kebijakan yang diterapkan mengandung nilai yang senantiasa diperhitungkan. Dengan kata lain, harus menghasilkan materi serta keuntungan. Pun dengan kebijakan sertifikasi halal ini, seolah tidak mau rugi, jaminan kehalalan konsumsi juga ikut dikomersialisasi.
Bahkan, demi kelancaran proses ini, negara telah menyediakan layanan berbasis elektronik agar prosesnya dapat lebih mudah dan cepat. Dengan target 10 juta penerbitan sertifikat halal, negara berharap dapat mewujudkan Indonesia sebagai pusat industri halal dunia di 2024 (maluku.kemenag.go.id, 19-6-2023). Amatlah elok yang akan dirasakan rakyat apabila sertifikat halal dengan layanannya yang gratis adalah murni demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Murni Melayani
Dan memang semestinya, jaminan sertifikasi halal adalah murni pelayanan negara terhadap rakyat. Tidak disertai dengan embel-embel lain, apalagi berbayar dan berjangka waktu sehingga perpanjangannya pun wajib bayar. Itulah fungsi negara yang sebenarnya, sebagai pelindung dan pelayan rakyat, apalagi jika jaminan kehalalan ini adalah bagian dari perintah agama, tanggung jawab negara juga langsung kepada Pencipta. Urusannya tidak hanya di dunia, tetapi juga di kehidupan akhirat kelak.
Negara akan memberikan edukasi kepada pelaku usaha dan masyarakat agar sadar halal sebagai perintah dan kewajiban agama. Oleh karenanya, tumbuh persepsi individu dan perilaku terhadap apa yang mereka konsumsi, baik itu makanan dan minuman ataupun produk lainnya sebagai bagian dari urgensi keimanannya, sesuai dengan perintah Allah Swt.,
فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ اِلٰى طَعَامِهٖٓۙ
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS ‘Abasa [80]: 24).
Begitulah pandangan Islam terhadap fungsi negara. Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Dalam hadis riwayat Bukhari, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
Oleh karena itu, sudah seharusnya kepengurusan rakyat wajib diemban oleh negara termasuk menjaga akidah dan agamanya. Hal ini tidaklah mungkin dilakukan dalam sistem kapitalisme saat ini. Dengan asas sekulernya, agama tidaklah menjadi aturan dalam kehidupan sehingga negara kurang serius dalam memberikan jaminan halal dan sibuk mendulang cuan dari rakyatnya. Oleh karenanya, kemudahan dan ketenangan rakyat akan jaminan produk halal hanya dapat diraih dengan tegaknya sistem Islam dalam Daulah Khil4f4h Islamiah. Wallaahu a’lam bisshawab.[] [CM/NA]
One thought on “Komersialisasi di Balik Kewajiban Sertifikasi”
Nggak heran itu terjadi di dalam sistem kapitalisme. Tidak ada makan siang gratis, Gaes!