Oleh: Yuli Juharini
CemerlangMedia.Com — Jumlah penduduk Cina merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah India. Oleh karena itu, Cina melakukan ekspansi secara ekonomi, sosial, budaya, politik ke berbagai negara termasuk Indonesia. Sejak 2013, Cina melibatkan diri dalam pembangunan infrastruktur dan investasi di 152 negara dengan nama Belt and Road Initiative (BRI).
Begitu masifnya ekspansi Cina terhadap negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tidak sedikit proyek infrastruktur di Indonesia yang bekerja sama dengan pemerintah Cina. Demi memuaskan ambisinya, Cina tidak segan-segan menggelontorkan uang yang banyak. Pemerintah pun dengan senang hati menerimanya, tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi di kemudian hari terhadap rakyat sendiri.
Pemerintah Indonesia banyak bekerja sama dengan investor asing yang datangnya dari negara Cina untuk pembangunan di segala sektor. Hal itu berdampak, yakni adanya konflik perampasan lahan/tanah milik rakyat untuk digunakan sebagai sarana dalam pembangunan itu. Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan sebuah data yang menyebutkan ada 2.710 kasus konflik agraria di Indonesia selama Joko Widodo menjadi pemimpin negara. Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika menyatakan bahwa ribuan kasus konflik agraria itu berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan jumlah korban mencapai 1,7 juta keluarga (cnnindonesia.com, 24-09-2023).
Rempang hanyalah salah satu contoh dari banyaknya perampasan tanah oleh negara. Dengan dalih adanya Proyek Strategi Nasional (PSN), negara seakan-akan merasa berhak mengambil tanah rakyatnya, walaupun itu dilakukan secara paksa. Tidak ada lagi belas kasihan terhadap rakyat. Bila ada rakyat yang melawan untuk mempertahankan haknya, maka akan berujung diintimidasi dan dikriminalisasi.
Mengapa Negara Semena-mena terhadap Rakyatnya?
Kembali pada sistem. Saat ini, sistem yang dipakai adalah demokrasi kapitalisme sekuler. Tanpa disadari, negara sudah menjalankan korporatokrasi, yaitu pemerintahan yang bersifat perusahaan. Kewenangan negara telah didominasi atau beralih pada perusahaan-perusahaan besar yang bekerja sama dengan para investor asing.
Negara sama sekali tidak berdaya ketika para investor itu menginginkan tanah untuk mengembangkan usahanya. Oleh karenanya, negara mengusir paksa rakyat sendiri yang notabene sudah tinggal lama di daerah itu tanpa hati nurani. Ketika rakyat melawan demi mempertahankan haknya, maka dibalas dengan semburan gas air mata dan water canon.
Ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi kapitalisme sekuler sesungguhnya tidak berpihak kepada rakyat, tetapi berpihak pada korporasi oligarki. Hanya mementingkan bagaimana meraup untung sebanyak-banyaknya, tidak peduli pada kesejahteraan rakyatnya. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya pada saat pesta demokrasi, setelah pesta usai, maka rakyat pun ditinggalkan. Sungguh ironis.
Pandangan Islam Terkait Konflik Agraria
Islam merupakan agama sempurna yang Allah Swt. turunkan pada manusia. Islam tidak hanya mengatur ibadah mahdah saja, melainkan mengatur segala aspek kehidupan di dunia, termasuk masalah pertanahan. Harus diingat bahwa semua yang ada di dunia ini hakikatnya adalah milik Allah Swt., “Dan kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah lah tempat kembali seluruh makhluk.” (Al-Qur’an surah An-Nur ayat 42). Kita tidak boleh mengambil hukum kepada selain hukum Allah karena Allah lah pemilik tanah yang sesungguhnya.
Di dalam Islam, tanah terbagi menjadi dua yaitu tanah usyriyah dan tanah kharajiyah. Usyriyah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, seperti di Indonesia. Ketika Islam menyebar, sesungguhnya atas jasa para wali yang 9 dan masih berkaitan dengan Kekhilafahan Turki Utsmani. Sedangkan tanah kharajiyah adalah diperoleh karena penaklukkan oleh negara Islam melalui peperangan, maka hak milik dari tanah itu jatuh pada negara Islam.
Di dalam buku, “Sistem Ekonomi Islam” Syeikh Taqiyudin an-Nabhani menulis bahwa orang dapat memiliki tanah dengan 6 cara, yaitu jual beli, warisan, hibah, menghidupkan tanah mati, tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha (pemberian negara kepada rakyatnya).
Dan Islam pun menjelaskan secara rinci mengenai tanah. Jika tanah ditelantarkan oleh pemiliknya selama 3 tahun dan tidak ada yang memanfaatkannya, maka tanah tersebut boleh dimiliki oleh siapa pun dengan cara bercocok tanam, membuat rumah/ bangunan, dan lain-lain. Boleh dimiliki selamanya, orang lain atau negara sekali pun tidak boleh melakukan penyerobotan, mengusir paksa pengelola tanah.
Ketika ada tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama 3 tahun, maka negara berhak mengambilnya dan memberikannya kepada siapa pun yang mampu untuk mengolahnya. Negara pun berhak mencabut hak kepemilikan tanahnya. Negara juga boleh mengambil tanah untuk kemaslahatan umat, tentunya dengan keridaan pemilik tanah, itupun diganti dengan yang sepadan. Jika pemilik tanah tidak rida, maka negara tidak akan melakukan pemaksaan, tidak akan mengusir paksa pemilik tanah, apalagi melakukan kekerasan.
Demikianlah cara Islam mengatur kehidupan manusia terkait dengan masalah pertanahan. Dengan menggunakan mekanisme kepemilikan dan pengelolaan tanah yang bersumber pada hukum Islam, maka konflik agraria tidak akan terjadi. Dengan kata lain, konflik agraria akan terus terjadi jika bukan Islam yang mengurusi. Wallahu a’lam