Penulis: Mila Ummu Muthiah
Dalam Islam, pengawasan publik adalah ibadah. Masyarakat diperintahkan untuk menasihati penguasa dan melaporkan penyimpangan. Artinya, dalam kasus biskuit stunting, publik tidak akan diam. Mereka akan menuntut transparansi dan menegur pejabat karena itu bagian dari perintah agama.
CemerlangMedia.Com — Program yang dirancang untuk menolong anak-anak dari stunting ternyata disalahgunakan demi kepentingan segelintir pihak. Balita dan ibu hamil hanya mendapat biskuit dengan kualitas rendah, sementara keuntungan justru mengalir ke kantong para koruptor.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini memeriksa dugaan korupsi dalam program Pengadaan Makanan Tambahan (PMT) bagi balita dan ibu hamil di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada periode 2016—2020. Sejak 17 Juli 2025, tim penyidik menemukan indikasi bahwa biskuit pencegah stunting yang semestinya bernutrisi, justru diproduksi dengan kualitas rendah, lebih banyak berisi gula dan tepung dibanding vitamin dan mineral yang dibutuhkan.
Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu menyebut, praktik itu bukan hanya membuat program gagal menekan stunting. Akan tetapi, juga menimbulkan kerugian negara dari selisih harga yang direkayasa sehingga kasus ini segera naik ke tahap penyidikan (Porosjakarta.com, 27-8-2025).
Wajah Asli Kapitalisme Demokrasi
Dalam sistem kapitalisme, politik bukan amanah untuk melayani rakyat, tetapi investasi untuk memperoleh akses pada anggaran dan proyek negara. Jadi wajar jika program publik, termasuk urusan gizi balita dipandang sebagai ladang bisnis, bukan layanan sosial. Kapitalisme menempatkan segala hal sebagai komoditas, termasuk pendidikan, kesehatan, bahkan pangan balita. Oleh karenanya, program gizi pun dikalkulasi untuk mendatangkan laba, meskipun kualitasnya dikorbankan.
Hal ini karena hukum agama dianggap urusan pribadi, pejabat, dan pengusaha tidak dibimbing oleh nilai halal-haram. Ukurannya hanya “untung atau rugi”. Inilah yang membuat praktik curang, mark up, atau pengurangan kualitas bisa dijalankan tanpa rasa bersalah. Oleh karena orientasi sama-sama mencari keuntungan, maka birokrat, legislator, dan pengusaha punya kepentingan untuk bekerja sama dalam “membagi kue” proyek. Inilah sebabnya tender sering dimenangkan pihak yang sama, meski kualitasnya buruk.
Hukuman bagi koruptor dalam kapitalisme cenderung ringan, bisa dinegosiasikan, bahkan masih memberi celah remisi. Akibatnya, tidak ada efek jera. Mereka tahu, risikonya kecil dibanding keuntungan besar dari korupsi. Oleh karena itu, selama sekuler kapitalisme yang menjadi asas negara ini, maka korupsi bukan sekadar “oknum”, tetapi konsekuensi logis dari sistemnya. Bahkan, ketika satu kasus terungkap, kasus lain akan lahir dengan wajah baru karena akar masalahnya adalah sistem yang menjadikan kekuasaan dan harta sebagai tujuan.
Islam Mewujudkan Program Gizi Bebas Korupsi
Sejak awal, Islam menegaskan bahwa kepala rumah tangga (laki-laki) wajib menafkahi keluarganya. Oleh karena itu, wajib atas imam (khalifah) untuk menyediakan pekerjaan bagi setiap orang yang tidak mempunyai harta dan tidak ada pekerjaan tetap baginya sehingga ia dapat menafkahi diri dan keluarganya. Artinya, apabila ada laki-laki dewasa yang sehat, tetapi tidak punya pekerjaan, negara wajib mencarikan pekerjaan sesuai kemampuan dan keterampilannya.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra., khalifah mengangkat pejabat khusus untuk mengurus kebutuhan masyarakat, termasuk yang menganggur. Negara memberikan modal usaha dari baitulmal atau mempekerjakan mereka di sektor pertanian, perdagangan, atau industri.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, distribusi zakat, tanah, dan dukungan ekonomi begitu merata sehingga hampir tidak ada orang miskin yang mau menerima zakat. Ini menunjukkan bahwa negara menggerakkan ekonomi sehingga semua orang bisa bekerja dan menafkahi keluarganya. Alhasil, masalah stunting akibat kemiskinan lebih mudah diminimalkan.
Dalam Islam, kepemimpinan dipandang sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah saw. bersabda,
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari, Muslim).
Oleh sebab itu, pejabat yang yakin akan dimintai hisab di akhirat tidak berani main-main dengan dana publik, apalagi program vital seperti gizi balita. Islam juga menetapkan bahwa pejabat diberi gaji layak sesuai kebutuhannya agar tidak mencari tambahan dengan cara haram.
Namun, apabila ia mengambil lebih dari haknya, itu disebut ghulul (pengkhianatan). Hadis Nabi melarang keras suap dan hadiah untuk pejabat. Artinya, apabila kebutuhan mereka dijamin, sementara aturan suap—hadiah diharamkan, maka pintu korupsi akan makin sempit.
Selain itu, dalam Islam, pengawasan publik adalah ibadah. Masyarakat diperintahkan untuk menasihati penguasa dan melaporkan penyimpangan. Artinya, dalam kasus biskuit stunting, publik tidak akan diam. Mereka akan menuntut transparansi dan menegur pejabat karena itu bagian dari perintah agama.
Khatimah
Hukum dalam kapitalisme sering tebang pilih, bahkan bisa dinegosiasi lewat suap atau lobi politik. Sebaliknya, dalam negara yang menerapkan aturan Islam (Daulah Khil4f4h), hukum ditegakkan tanpa kompromi berdasarkan syariat dengan mekanisme pembuktian terbalik untuk pejabat. Jika ada harta tidak wajar, otomatis disita negara. Alhasil, melalui ancaman sanksi yang keras dan kepastian hukum yang tegak lurus, pejabat berpikir seribu kali sebelum berani korupsi. Wallahu a’lam bishawwab. [CM/Na]