Penulis: Nur Rahmawati, S.H.
Chief Editor CemerlangMedia.Com
Kekerasan hanyalah gejala. Akar sejatinya adalah hilangnya ruh kasih yang bersumber dari iman. Jika ingin menghentikan KDRT dan kekerasan remaja, setiap individu harus memulihkan hati, memperbaiki rumah, dan menegakkan kembali nilai-nilai yang diturunkan Allah untuk manusia.
CemerlangMedia.Com — Rumah semestinya menjadi tempat pulang yang menenangkan. Tempat di mana cinta tumbuh, luka sembuh, dan jiwa bertumbuh. Namun, kini banyak rumah kehilangan ruh itu. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih saja muncul, dari yang ringan hingga berujung maut. Ironisnya, di tengah maraknya seruan “keluarga bahagia”, justru banyak hati yang retak di balik pintu rumah.
Bukan hanya di lingkup keluarga, dunia remaja pun kian kelam. Perundungan, tawuran, bahkan kekerasan seksual kini menjadi berita harian. Generasi yang seharusnya menebar semangat, justru larut dalam amarah dan kehilangan empati.
Terbaru, kekerasan dilakukan oleh remaja SMP kepada adik kelasnya hanya gara-gara hal sepele —tidak ingin diajak nongkrong. Ironisnya, perbuatan ini dilakukan oleh tujuh pelaku di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat (Detik.com, 17-1-2025).
Fenomena ini bukan sekadar persoalan perilaku. Ia adalah tanda bahwa ada yang rusak di akar dalam cara manusia memaknai cinta, keluarga, dan kehidupan itu sendiri.
Hilangnya Ruh Kasih
Ketika rumah kehilangan arah spiritual, kasih sayang berubah menjadi kendali, perhatian menjadi kontrol, dan cinta berujung tuntutan. Banyak orang tua lupa, anak bukanlah proyek kesuksesan, melainkan amanah. Begitu pula pasangan hidup, bukan pelengkap materi, melainkan penenang hati.
Kekerasan sering berawal dari tekanan batin, ekonomi yang sempit, atau luka masa lalu yang tidak tersembuhkan. Namun yang paling berbahaya adalah hilangnya kesadaran bahwa setiap manusia memiliki nilai yang harus dijaga.
Islam mengajarkan bahwa rumah tangga dibangun di atas mawaddah wa rahmah kasih dan sayang. Allah Swt. berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar-Rum [30]: 21)
Ketika nilai ini ditinggalkan, rumah hanya tinggal bangunan, bukan lagi pelabuhan jiwa. Anak menjadi tidak terarah, hilang jati dirinya. Alhasil, sangat mudah dikendalikan sistem yang merusak.
Pendidikan yang Melupakan Hati
Banyak remaja tumbuh dengan kecerdasan akademik, tetapi miskin kedalaman hati. Mereka pintar berhitung, tetapi gagap dalam mengelola emosi. Sekolah dan rumah kerap sibuk mengejar nilai, tetapi lupa menanamkan nilai.
Ketika anak salah sedikit, dimarahi. Saat mereka gagal, dicemooh. Sejatinya yang mereka butuhkan bukan hanya nasihat, tetapi kehangatan yang menenangkan. Remaja yang tumbuh dalam ketakutan, sering belajar menyembunyikan luka dan suatu hari, luka itu bisa berubah menjadi kekerasan terhadap orang lain.
Peran Ayah dan Ibu Sebagai Teladan
Islam menempatkan ayah dan ibu bukan sekadar pemberi nafkah dan penjaga rumah, tetapi sebagai guru kehidupan. Ayah adalah qawwam, pemimpin yang melindungi, bukan menaklukkan. Ibu adalah madrasah pertama, tempat anak belajar arti cinta, sabar, dan iman.
Ketika keduanya menjalankan peran dengan iman dan ilmu, rumah akan menjadi ruang aman bagi semua penghuninya. Anak yang tumbuh di dalamnya tidak akan mencari kasih sayang dengan cara yang salah.
Peran Negara dan Lingkungan
Namun, tidak adil juga jika semua beban diserahkan kepada keluarga. Lingkungan sosial dan negara memiliki peran besar dalam membentuk atmosfer kehidupan.
Negara seharusnya hadir melalui kebijakan yang berpihak pada keutuhan keluarga, bukan sekadar kampanye tanpa arah. Pendidikan harus dikembalikan pada ruh pembentukan akhlak. Media harus lebih selektif, tidak menjual kekerasan sebagai hiburan. Sistem yang menyingkirkan nilai-nilai iman dari ruang publik hanya akan melahirkan manusia yang kehilangan arah.
Menghidupkan Kembali Cinta yang Bernilai
Solusi kekerasan tidak cukup dengan undang-undang atau kampanye moral. Ia membutuhkan revitalisasi makna cinta yang berpijak pada iman, bukan emosi. Rumah harus kembali menjadi madrasah cinta. Sekolah harus menjadi taman akhlak dan negara harus menjadi pelindung, bukan penonton.
Islam hadir bukan untuk mengekang, tetapi untuk menuntun manusia menuju ketenangan sejati. Dalam naungan aturan-Nya, kasih sayang bukan lagi kata indah di bibir, tetapi napas dalam setiap langkah.
Khatimah
Kekerasan hanyalah gejala. Akar sejatinya adalah hilangnya ruh kasih yang bersumber dari iman. Jika ingin menghentikan KDRT dan kekerasan remaja, setiap individu harus memulihkan hati, memperbaiki rumah, dan menegakkan kembali nilai-nilai yang diturunkan Allah untuk manusia.
Sebab, rumah yang berlandaskan iman akan melahirkan generasi yang menebar kedamaian, bukan kemarahan. Dari sanalah, peradaban cinta akan kembali tumbuh. Wallahu a’lam. [CM/Na
Views: 0






















