#30HMBCM
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
CemerlangMedia.Media — Bencana banjir dan tanah longsor di Pulau Sumatra tidak kunjung dinyatakan sebagai darurat nasional. Bahkan dengan bangga, Presiden Prabowo menyebutkan bencana itu ditanggulangi sendiri oleh pemerintah. Mendagri pun mengamini dan menyebutkan jika kedatangan para pejabat sekaligus orang nomor satu di Indonesia sudah cukup menegaskan bantuan oleh negara sudah hadir.
Hingga muncul berita Bupati Aceh Selatan Mirwan MS melakukan ibadah umroh ke Tanah Suci saat Aceh Selatan diporak-porandakan oleh bencana banjir dan longsor. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun memerintahkan Mirwan MS agar segera pulang.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benni Irwan menyatakan, tim Kemendagri sudah berangkat menuju Aceh. Pihaknya berharap bisa melakukan pemeriksaan terhadap Mirwan MS atas kepergiannya ke Tanah Suci. Benni menjelaskan, sebelum meninggalkan Aceh Selatan, Mirwan sempat mengajukan izin kepada Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dan tidak mendapat persetujuan. Artinya, surat izin Mirwan tidak bisa dilanjutkan ke Kementerian Dalam Negeri. Dengan kata lain, sebagai kepala daerah, Mirwan melaksanakan umrah tanpa izin resmi dari negara.
Jelas hal ini memunculkan kekecewaan di tengah masyarakat, mengapa kepentingan pribadi lebih utama dari amanah kekuasaan yang ada di tangannya? Padahal jika ia bukan penguasa, bisa jadi perjalanan umrahnya tidak semudah itu (cnnindonesia.com, 6-12-2025).
Mirisnya, Mirwan MS sudah menerbitkan surat ketidaksanggupan dalam penanganan tanggap darurat banjir dan longsor pada 27 November, bernomor 360/1315/2025. Lima hari sebelum ia bersama keluarganya berangkat umrah, sementara warga di kawasan Trumon mengungsi di tenda pengungsian.
Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Aceh Selatan, Denny Saputra membenarkan Bupati Aceh Selatan berangkat umrah. Pihaknya beralasan, Mirwan berangkat setelah melihat kondisi Aceh Selatan yang sudah membaik dari bencana banjir. Kejadian demi kejadian makin menunjukkan bahwa bencana ini bukan lagi urusan kemanusiaan, melainkan kepentingan penguasa yang sekaligus pengusaha.
Lisan para pejabat sekaligus perilaku mereka menunjukkan hati yang sudah mati. Urusan rakyat tidak lebih hanya beritung untung dan rugi. Hal yang menjadi fokus bukan nyawa rakyat yang meregang, harta benda rakyat yang hancur, para pengungsi yang minim bala bantuan akibat lambatnya pengurusan dan putusnya berbagai akses.
Ketika Fokus Kepada yang Lebih Utama
Sangat berbanding terbalik dengan perilaku para salafus ahalih terdahulu yang sangat masyhur. Dalam kitab An-Nawadri karya Syekh Syihabuddin Ahmad ibn Salamah al-Qulyubi menceritakan kisah seorang ulama besar, ahli fikih dan hadis, Abdullah bin Mubarak.
Ia lahir di Marwa pada 118 H dan wafat pada 181 H saat kembali dari medan perang. Semasa hidupnya, ia adalah ulama terkemuka pada masanya. Ia masyhur karena membatalkan berangkat ibadah haji dikarenakan menolong seorang perempuan yang terpaksa mengonsumsi bangkai itik. Perempuan itu mengajak juga anak-anaknya memakan bangkai itik sebagai santapan keluarga.
Ternyata perempuan dan beberapa anaknya sudah tiga hari tidak mendapat makanan. Untuk mempertahankan hidup, satu keluarga miskin tersebut menelan apa saja yang bisa dimakan, termasuk kondisi daging Itik yang diharamkan karena sudah menjadi bangkai. Perempuan itu menjelaskan karena terpaksa.
Dengan penuh haru, Abdullah menyedekahkan keledai tunggangannya, makanan, dan pakaian bekal dia melaksanakan ibadah haji kepada perempuan dan anak-anaknya yang kelaparan. Tahun itu ia gagal menunaikan ibadah haji. Ketika kembali ke kampung halamannya, banyak kesaksian dari jemaah lain yang melihat Abdullah menunaikan seluruh rangkaian haji di Tanah Suci.
Di sela rasa heran dan malu, Abdullah mendapatkan jawaban lewat mimpi, sebuah suara yang mengatakan, “Hai Abdullah, Allah telah menerima amal sedekahmu dan mengutus malaikat menyerupai sosokmu, menggantikanmu menunaikan ibadah haji.”
Banyak kisah para sahabat dan tabiin tabiut lainnya yang menunjukkan kepada kita betapa akhlak dan adab mereka mendahului ego pribadi. Bagaimana Rasul mencegah seorang sahabat untuk pergi berjihad dan memerintahkannya menjaga ibunya yang sudah tua atau memerintahkan menemani ibunya berhaji dan lainnya.
Kepekaan mereka terasah karena akidah yang menancap kuat hingga mereka sadar betul setiap amal akan dimintai pertanggungjawaban dan setiap prioritas adalah bagian dari mana yang lebih maslahat atau bahkan darurat. Pemahaman ini tak muncul begitu saja, melainkan melalui pendidikan yang sekaligus pembinaan. Menghasilkan pribadi tangguh, tetapi lembut hati. Namun hari ini, sangatlah mustahil akan lahir dari sistem sekuler kapitalisme.
Islam Wujudkan Pemimpin Berkarakter Periayah
Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang mengurus umatku lalu menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa saja yang mengurus umatku lalu menyayangi mereka, maka sayangilah dia.” (HR Muslim).
Sebab, menjadi muslim terutama penguasa bukan sembarangan. Melainkan harus waspada dan jeli melihat penderitaan rakyatnya. Maka, harus menjadi kesadaran bagi setiap muslim yang mukmin, hanya dengan penerapan syariah kafah dengan bingkai Khil4f4h akan muncul pemimpin yang dimaksud. Lantas, masihkah kita mempertahankan sistem yang buruk ini? Wallahua’lam bissawab.
(*Naskah ini tidak disunting oleh editor CemerlangMedia) [CM/Na]
Views: 1






















