Oleh: Neni Nurlaelasari
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Suasana ramai menyambut pemilihan umum (Pemilu) 2024 sudah mulai terasa. Tak hanya calon presiden, tetapi para bakal calon legislatif (bacaleg) pun sibuk melakukan berbagai persiapan jelang pemilu. Mulai dari menyiapkan koalisi, mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), konsolidasi tim pemenangan, hingga kampanye untuk menarik hati rakyat. Semua dilakukan demi lolos untuk menduduki jabatan yang diinginkan.
Mengingat jumlah kursi jabatan yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah peserta calon anggota legislatif, maka sudah tentu akan banyak yang gagal dalam Pemilu 2024. Pun di Bekasi, jumlah peserta calon anggota DPRD sangat banyak dibandingkan dengan kuota jabatan yang ada. Kursi DPRD Kabupaten Bekasi yang hanya 55 kursi akan diperebutkan oleh 560 caleg laki-laki dan 296 caleg perempuan. Ini artinya ada 801 caleg yang akan gagal dalam Pemilu 2024 mendatang (CnnIndonesia.com, 30-10-2023).
Untuk mengantisipasi kemungkinan depresi yang dialami bacaleg gagal setelah Pemilu 2024, maka Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi menyediakan layanan konsultasi gangguan jiwa. Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi Supriadinata menyatakan bahwa seluruh Puskesmas di Kabupaten Bekasi sudah siap memberikan pelayanan konsultasi, meski tidak ada ruangan khusus bagi caleg yang gagal. Apabila tak mampu ditangani Puskesmas, maka akan dirujuk ke RSUD Kabupaten Bekasi yang telah menyiagakan dua orang dokter spesialis kejiwaan. Sementara untuk caleg yang memerlukan rawat inap, maka akan kembali dirujuk ke rumah sakit di wilayah Bogor atau Grogol yang sudah memiliki ruangan khusus pasien gangguan kejiwaan (CNNIndonesia.com, 30-10-2023).
Begitu pula dengan RSUD Chasbulah Abdul Majid Kota Bekasi yang turut mempersiapkan pelayanan kesehatan yang optimal dalam bidang kesehatan jiwa. Mereka menyediakan ruangan anyelir di lantai tujuh gedung A, untuk rawat inap pasien kejiwaan dengan kondisi ringan bagi caleg gagal yang mengalami stres dan depresi. Selain itu, empat dokter spesialis kejiwaan pun disiapkan pihak rumah sakit (madu.tv, 26-10-2023). Fenomena bacaleg stres bahkan terganggu kejiwaannya pasca gagal melenggang ke kursi dewan menimbulkan tanda tanya besar, sebenarnya apa tujuan mereka berebut kuasa?
Ambisi Jabatan Sebabkan Depresi
Jika kita mengamati fenomena bacaleg depresi pasca kekalahan saat pemilu, maka ditemukan beberapa faktor yang memengaruhi kondisi tersebut. Seperti niat yang keliru dari bacaleg, mahalnya biaya politik yang dikeluarkan, dan sistem politik yang diterapkan. Niat yang keliru dari bacaleg menandakan adanya kesalahan dalam memandang kekuasaan. Jabatan yang merupakan amanah besar untuk melayani rakyat, bergeser menjadi sebuah kehormatan yang dapat mendatangkan keuntungan materi di masa depan.
Pandangan ini merupakan hal yang biasa terjadi pada sistem politik demokrasi. Slogan membela kepentingan rakyat nyatanya hanya sebatas pemanis semata. Sebab, jika niat awal hanya ingin mengabdi pada rakyat, seharusnya menang atau kalah dalam pemilu akan ditanggapi dengan santai. Lain halnya ketika niat berkuasa untuk mengejar keuntungan materi. Maka jelas akan menimbulkan depresi saat ambisi berkuasa tak tercapai.
Sementara itu, banyaknya materi yang harus dikeluarkan oleh bacaleg menunjukkan mahalnya ongkos politik untuk menduduki kursi dewan. Gelontoran dana yang besar disiapkan untuk memenangkan suara rakyat. Bahkan ada yang sampai menggadaikan aset pribadi hingga rela berhutang untuk memuluskan langkah menuju kursi dewan. Maka tak heran, jika kegagalan menjadi anggota dewan menimbulkan stres bahkan depresi mengingat pengorbanan mereka begitu besar untuk menduduki jabatan tersebut.
Salah satu contoh kasus depresi pada Pemilu 2019 adalah yang dialami A, ia gagal menduduki kursi anggota DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tiga hari pasca pencoblosan, A akhirnya berada di panti rehabilitasi jiwa dan narkoba di Kabupaten Purbalingga karena mengalami stres usai gagal menuju parlemen. A mengaku kebingungan mengembalikan uang yang ia pinjam untuk maju sebagai caleg. Padahal ia sudah menguras uang Rp250 juta miliknya, ditambah meminjam Rp300 juta dari orang tuanya, hingga menerima Rp500 juta dari bank dengan menggadaikan sertifikat usahanya (BBCindonesia.com, 28-05-2019). Kasus depresi yang dialami A hanyalah satu dari sekian banyak kasus depresi yang terjadi pasca pemilu. Ini menandakan bahwa sistem politik yang diterapkan memengaruhi kondisi kejiwaan bacaleg. Sebab, pemilihan pemimpin termasuk anggota legislatif dalam sistem demokrasi memakan biaya yang tak sedikit.
Selain itu, kekuasaan yang diperebutkan dalam sistem demokrasi nyatanya demi kepentingan pribadi dan golongan semata. Oleh karenanya, tak sedikit dari bacaleg yang meminta dukungan materi dari para pengusaha untuk memuluskan tujuannya. Tentu tak ada yang gratis saat mendapatkan dukungan dari para pengusaha. Sebagai balas jasa, maka kebijakan yang diambil kelak akan menguntungkan para pengusaha yang ikut membiayai. Ini terlihat dari berbagai UU yang disahkan para wakil rakyat, yang menguntungkan para pengusaha. Seperti UU Cipta Kerja yang ditolak kaum buruh, tetapi tetap disahkan. Maka tak heran, saat mengalami kegagalan dalam pemilu, bacaleg rentan mengalami stres bahkan depresi termasuk tak mampu memenuhi janjinya pada pengusaha yang mendukungnya. Inilah bobroknya sistem demokrasi yang rentan memicu stres dan depresi pada calon anggota dewan.
Di sisi lain, pengadaan pelayanan kesehatan mental bagi calon yang gagal adalah solusi yang pragmatis dan tidak menyentuh akar permasalahan. Sebab, selama sistem demokrasi masih diemban, maka akan selalu dijumpai kasus depresi dari bacaleg yang gagal. Melihat kondisi ini, lalu sistem politik seperti apakah yang efektif mencegah kasus depresi para wakil rakyat?
Sistem Politik Islam Mencegah Kasus Depresi
Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan, tentu mengatur pula dalam hal berpolitik. Dalam Islam, pemimpin atau pejabat pemerintahan merupakan tugas yang berat dan amanah yang besar. Maka semua kebijakan yang diambil harus benar-benar dalam rangka melayani rakyat. Selain itu, terdapat ancaman bagi pemimpin yang tidak amanah. Seperti dalam hadis Rasulullah saw.,
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).
Hadis di atas jelas bisa meluruskan niat individu yang ingin menduduki jabatan apa pun. Sebab dalam sistem Islam, pemimpin dan pejabat negara bertujuan untuk melaksanakan hukum syariat yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah saw. sehingga tak ada celah untuk mengotak-atik hukum yang telah diatur dalam Al-Qur’an. Hal ini bisa mencegah adanya kepentingan individu maupun kelompok saat berkuasa. Maka tujuan demi materi semata tak mungkin bisa dicapai di dalam sistem Islam.
Sementara itu, tahapan pemilihan pemimpin dalam Islam tidak berbelit dan memakan biaya yang besar. Contohnya saat Rasulullah saw. meninggal dunia. Kaum muslim mampu memilih khalifah hanya dalam waktu tiga hari hingga terpilihnya Abu Bakar As-Siddiq sebagai pemimpin. Meskipun luas wilayah Madinah tak sebesar Indonesia, tetapi bukankah teknologi saat ini sudah sangat canggih? Sehingga proses pemilihan pemimpin dan pejabat lainnya di masa kini, bisa lebih efektif dalam memangkas waktu dan biaya. Maka tak heran, jika peran negara dalam sistem Islam, salah satunya mendorong kemajuan dan pemanfaatan teknologi untuk mempermudah dalam menjalankan aktivitas manusia, termasuk dalam hal pemilihan pemimpin. Oleh karenanya, kasus depresi akibat mahalnya biaya politik tak akan pernah dijumpai dalam sistem Islam.
Dengan demikian, sudah saatnya kembali menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kafah). Kemudian meninggalkan sistem demokrasi yang terbukti memicu stres hingga depresi para calon wakil rakyat. Hanya dengan sistem Islam kasus bacaleg rentan depresi tidak terulang kembali. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]