Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Ketika perhatian masyarakat tercurah pada pemilu dan segala dramanya, kini penyakit menular tengah menjadi perbincangan hangat di kancah internasional. Penyakit tersebut adalah tuberkulosis (TBC), setiap tahun jumlah penderita terus meningkat di negara ini.
Walaupun bukan kasus baru, tetapi penyakit ini harus menjadi perhatian serius dari berbagai kalangan. Sebab, penyakit yang disebabkan bakteri mycobacterium tuberculosis ini terus mengganas dan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat karena menyebabkan kematian.
Sekitar 385 pasien TBC di Indonesia meninggal dunia setiap harinya. Hal ini disampaikan oleh Profesor Erlina Burhan, seorang Guru Besar tetap di Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Angka ini diperoleh dari Global TB Report 2023 yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (Kompas.com, 21-02-2024).
Mirisnya lagi, Indonesia menduduki peringkat kedua penderita TBC terbanyak di dunia. Jelas ini bukan sebuah prestasi, melainkan kenyataan pahit yang disandang Indonesia di kancah dunia. Dari tahun ke tahun Indonesia selalu menduduki peringkat teratas. Lebih jauh, eks Direktur WHO Asia Tenggara Profesor Tjandra Yoga Adimata mengatakan Indonesia menyumbangkan 68% kasus TBC di dunia (Cnn.indonesia, 29-11-2024).
Beginilah kondisi negara ini. Belum sepenuhnya lepas dari serangan covid-19, kini TBC pun sedang merebak. Seolah tidak ada habisnya persoalan penyakit menular yang mematikan, tentu menjadi PR besar untuk mengendalikan penyebarannya.
Kegagalan Kapitalisme
Meningginya kasus TBC tidak lepas dari kapitalisme yang diemban negara ini. Kapitalisme yang berorientasi pada materi menyebabkan kapitalisasi di bidang kesehatan. Akibatnya, akses kesehatan sulit terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.
Selain itu, lingkungan yang sehat hanya bisa dinikmati oleh kaum berduit. Dalam sistem kapitalisme, harga tanah, rumah, dan properti mahal sehingga satu rumah dihuni oleh beberapa kepala keluarga. Ini pemandangan yang biasa, terutama di kota-kota besar, pemukiman padat penduduk dengan sanitasi yang buruk. Inilah yang menyebabkan penyebaran TBC makin masif.
Rendahnya kesadaran masyarakat akan kesehatan turut menjadi faktor penyebab kasus TBC merangkak naik. Kapitalisme mendorong manusia untuk lebih mementingkan materi daripada kesehatannya. Gejala ringan sering dianggap enteng sehingga tetap beraktivitas seperti biasa, bahkan tanpa pengaman seperti masker dan lain sebagainya. Akibatnya, penularan TBC tidak dapat dihindarkan. Udara sebagai media penyebaran bakteri akan mudah terhirup di lingkungan tersebut. Ironisnya lagi, penanganan sering kali dilakukan ketika sudah di titik gejala akut.
Demikianlah kapitalisme, hanya menjadikan cuan sebagai sumber kebahagiaan. Hal ini wajar terjadi karena segala sesuatu membutuhkan uang sehingga masyarakat terus berburu uang tanpa memperhatikan kondisi kesehatan. Inilah gagalnya kapitalisme dalam melindungi rakyat dari kualitas pelayanan terbaik.
Kapitalisme juga menjadikan negara berlepas diri dari kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat termasuk kesehatan. Masih segar dalam ingatan, ketika kasus covid-19 merebak, pemerintah tidak lantas menerapkan lock down untuk memutus mata rantai virus tersebut. Alasannya agar roda ekonomi negara tetap bergerak. Sungguh, dalam sistem kapitalisme, nyawa manusia tidak lebih berharga daripada uang.
Begitu pun ketika kasus TBC mulai menjadi sorotan dunia, tenaga kesehatan kencang merancang teori dalam menyusun upaya menanggulangi lonjakan TBC. Namun, seolah tidak berpihak, penguasa saat ini tidak berdaya dalam menstabilkan harga kebutuhan pokok, seperti beras, telur, listrik, dan lainnya. Sementara untuk menanggulangi TBC, kebutuhan gizi warga haruslah tercukupi agar daya imun tubuh menjadi kuat.
Upaya yang kontras, ketika para tenaga medis berupaya untuk meminimalkan kasus TBC, negara seolah tidak menjadi partner terbaik. Sejatinya, negara menjadi pelindung terdepan dalam menanggulangi kasus penyakit yang tengah menjadi perhatian masyarakat dunia. Penguasa justru disibukkan dengan pemilu demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan dengan segala drama yang tidak ada habisnya. Alhasil, kesehatan masyarakat terabaikan.
Maka dari itu, upaya untuk meminimalkan kasus TBC ini perlu dilakukan secara mendasar, tidak sekadar teori rancangan dan penanganan ala-ala kapitalis yang cuma butuh biaya besar tanpa adanya penuntasan masalah TBC. Upaya mendasar tersebut adalah dengan mengganti sistem hidup kapitalisme dengan sistem Islam. Sebab, sudah jelas, kapitalisme gagal menuntaskan permasalahan negeri ini, termasuk menuntaskan TBC.
Islam Mengeliminasi TBC
Sistem Islam sebagai sistem yang sempurna dan paripurna selalu mampu mengatasi segala permasalahan umat, termasuk masalah kesehatan. Konsep rahmatal lil alamin akan terlaksana dengan baik sebab segala peraturan bersumber pada Al-Qur’an dan as-Sunah.
Dalam Islam, kebutuhan pokok adalah sebuah jaminan untuk dipenuhi oleh negara. Negara akan memastikan kesejahteraan masyarakat perorangan. Kebutuhan makanan, ketersediaan tempat tinggal yang nyaman, pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab negara dan tidak boleh diwakilkan kepada siapa pun.
Penguasa menjalankan tugasnya dengan mengurus kebutuhan rakyat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt.. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. “Imam adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Begitu pula dengan upaya mengeliminasi TBC, negara Islam akan melakukan berbagai cara untuk mengatasinya. Di bidang kesehatan, Islam akan memberikan pelayanan kesehatan yang murah, bahkan gratis kepada semua lapisan masyarakat agar mereka mudah mengakses layanan kesehatan.
Negara mendorong sektor kesehatan dengan menyediakan tenaga medis yang mumpuni serta alat-alat canggih. Upaya tersebut didukung dengan pendanaan dari pemerintah Islam. Hal ini diperkuat dengan keyakinan bahwa semua penyakit akan ada obatnya, seperti sabda Rasulullah saw. “Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari).
Begitu pun dalam tata ruang. Pembangunan berada dalam kendali negara Islam. Aturan untuk mengelola tata ruang berdasarkan syariat sehingga tidak akan merugikan rakyat. Tidak akan ditemui penataan tata ruang yang buruk sehingga menyebabkan sirkulasi udara tidak lancar.
Di bidang sosial, negara akan mengedukasi rakyat tentang TBC dan cara bersikap terkait penyakit ini dengan pendekatan keimanan dan ketakwaan. Dengan pemahaman yang benar, baik rakyat, tenaga medis, maupun negara akan bersinergi dengan baik untuk menangani dan mengeliminasi TBC.
Khatimah
Demikianlah Islam mengeliminasi suatu penyakit mematikan. Ketika penyakit sudah mewabah, negara akan segera menanganinya dengan sigap, tidak menunda-nunda dengan alasan apa pun, sekalipun alasan ekonomi.
Dalam Islam, manusia dipandang secara utuh, bukan dari sisi ekonomi yang hanya dijadikan sebagai roda penggerak perekonomian negara. Oleh karena itu, kembali kepada aturan Islam secara kafah sejatinya merupakan upaya untuk mengatasi segala permasalahan hidup, termasuk masalah kesehatan. Wallahu a’lam. [CM/NA]