Oleh: Irsad Syamsul Ainun
(Creative Design CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Jika ada yang berkualitas dan gratis, kenapa harus pakai yang mahal? Pernyataan di atas mungkin pernah terdengar oleh sebagian orang atau bahkan tercetus oleh diri sendiri. Pasalnya, di tengah arus kapitalis saat ini, tidak ada satu pun fasilitas tanpa biaya yang disediakan untuk dapat dinikmati.
Sama halnya dengan fasilitas pendidikan saat ini. Hampir di seluruh negeri, termasuk +62 tidak ketinggalan, terkait persoalan pendidikan yang belum mencapai titik finis yang memuaskan. Apatah lagi di tengah gonjang-ganjing biaya pendidikan yang sangat super mahal.
Dilansir dari tempo.co (26-05-2024), Aditya Maulana Febri, seorang anak petani kelapa sawit harus undur diri dari meja pendaftaran kuliah karena terkendala biaya yang cukup fantastis.
Tidak tangung-tanggung rancangan Indonesia menuju era generasi emas. Bukan hanya harga emasnya yang makin meningkat, biaya untuk mewujudkan generasi emas juga bisa dikatakan fantastis.
Melonjaknya biaya pendidikan bukannya melahirkan generasi emas, justru banyak generasi yang bermental kerupuk, melempem, plus banyak yang gugur di medan laga. Bukan lelah menapaki jalan terjal pendidikan, tetapi kandas di persimpangan jalan karena penyedia layanan yang harusnya menggratiskan, malah unjuk gigi soal kemewahan. Apa kabar negeri wakanda?
Di sisi lain, kehadiran penguasa di bidang pendidikan juga masih menyatakan akan menindaklanjuti setiap kenaikan biaya pendidikan yang tidak wajar. Kemendikbud Ristek Nadiem Makarim mengungkapkan bahwa kenaikan ini akan dievalusi, dicek, dan diasesmen untuk dipastikan. Jika pun ada kenaikan, akan segera diberhentikan jika tidak rasional (Serambinews.com, 21-05-2024).
Sistem Pendidikan Kapitalisme
Memiliki anak yang cerdas memang tujuan semua orang tua. Ditambah lagi dengan kehadiran teknologi yang begitu mengudara, jangan heran banyak orang tua berlomba-lomba memberikan pelayanan yang mampu menunjang kesuksesan anak demi masa depan yang lebih gemilang.
Akan tetapi, di tengah hiruk-pikuk pendidikan saat ini, banyak orang tua yang lupa dengan tujuan anak untuk diberi pendidikan yang membawa kebaikan sampai akhirat. Tujuan kebanyakan orang saat ini menjalani masa pendidikan hanya fokus kepada pencapaian materi dan dunia semata, tanpa peduli bagaimana kehidupan akhirat. Oleh karenanya, tidak heran jika banyak anggota masyarakat, meskipun memiliki pendidikan dan gelar yang aduhai, akhlak dan perilaku tidak mencerminkan sebagai manusia terdidik.
Terbukti, banyak anak muda maupun orang tua yang terpapar oleh pergaulan bebas, narkoba, bahkan juga pada taraf pembunuhan. Ini menjadi tanda tanya besar. Sudahkan tujuan pendidikan sesuai dengan fitrah manusia, yakni menjadikan manusia sebagai insan yang dapat membedakan baik dan buruk? Dan yang paling penting, sudahkah manusia terdidik dengan output takwa, yakni menjalankan segala bentuk perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya?
Ibarat panggang yang jauh dari api. Banyak orang bangga dengan titel, rumah mewah, dan pencapaian-pencapaian lainnya, tetapi masih gemar bermaksiat. Terlebih lagi generasi yang saat ini diberi label generasi stroberi. Terlihat cantik, tetapi rapuh.
Inilah potret pendidikan ala kapitalisme, yang mana, pendidikan selalu didasarkan oleh materi. Tidak peduli halal/haram, digandakan pula dengan sistem sekularime, yakni menjauhkan agama dari kehidupan. Kesudahan dari semua ini adalah siapa pun yang bermodal mampu menempuh pendidikan, sedangkan yang tidak bermodal, maka dikatakan “good bye” terhadap pendidikan.
Bagaimana dengan peran agama tadi? Jangankan anak didiknya, para cukongnya pun malas tahu soal itu. Agama hanya dijadikan sebagai tumbal kebobrokan saat ini. Inilah gambaran negeri yang menjadikan hukum buatan manusia sebagai landasan berbuat. Makin maju peradaban, kepemimpinan berpikir makin kabur dan hilang.
Islam Solusi Ampuh
Negara +62 dengan julukan Zamrud Khatulistiwa, tentu saja tidak asing lagi di telinga para elite dan seluruh masyarakat. Negeri dengan julukan lain “lempar tongkat tumbuh susu” ini tidak bisa dihitung dengan jari kekayaannya. Namun anehnya, hampir seluruh elemen masyarakat tidak mampu menikmati apa yang tumbuh di dalamnya dengan gratis, yang ada malah mahal.
Kehidupan yang demikian sungguh sangat jauh berbeda dengan gambaran masyarakat yang hidup dan tumbuh di kehidupan Islam. Dalam Daulah Islam, sistem ekonomi, budaya, sampai pada persoalan sumber daya alam dikelola oleh negara dan disalurkan secara merata kepada seluruh masyarakat. Kaya, miskin, tua, muda, pria, wanita, anak-anak, sampai lansia sekalipun, ikut mendapatkan fasilitas yang gratis.
Apalagi soal biaya pendidikan. Kenapa harus gratis? Karena jelas, tugas negara sebagai pengayom dan penyedia layanan bagi seluruh rakyat yang terlibat dalam Daulah Islam. Tidak ada sistem perbedaan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kehadiran negara bukan hanya sebagai regulator yang tugasnya menjual aset negara dan merugikan rakyatnya.
Semua itu tentu saja memiliki landasan yang jelas bagi para penguasa yang memegang kendali di dalam Daulah Islam. Bukan untuk menyenangkan perut para elite serta cukong aseng dan asing. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.,
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR al-Bukhari).
Hal tersebut jelas, ketika seorang pemimpin menyalahgunakan kekuasaan sehingga dapat merugikan orang lain, maka ia perlu mempersiapkan pertanggungjawabannya. Bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi justru di hadapan Sang Khaliq.
Sejatinya, setiap warga negara yang kedaulatannya disandarkan pada naungan dan Daulah Islam, maka memperoleh pendidikan, kesehatan, juga layanan umum lainnya sudah dipastikan gratis. Sebab, ini menjadi sebuah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab individu.
Sayangnya, saat ini yang sedang eksis adalah sistem kufur buatan manusia. Jadi, apa yang menjadi hak rakyat, untuk memperolehnya butuh goceng yang menguras keringat, kantong, dan fisik. Oleh karena itu, berjuang untuk membumikan kembali hukum Allah adalah satu-satunya langkah yang patut untuk segera ditegakkan saat ini.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]