Oleh: Titin Kartini
(Marketing & Advertising CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Papua memanas kembali. Konflik yang tidak kunjung usai ini pun telah memakan korban yang tidak sedikit, baik rakyat sipil maupun aparat keamanan TNI Polri. Semua bergulir bak bola salju, meluncur tanpa henti dan kian tidak terkendali. Rakyat dibuat cemas dengan Kelompok Kriminal Bersenjata Organisasi Papua Merdeka (KKB OPM) yang secara brutal membantai rakyat juga aparat.
Salah satu korban terbaru dari aparat, Letda Oktavianus Sokolray. Ia gugur ditembak OPM saat melintasi Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah. Kapuspen TNI Mayjen Nugraha Gumilar mengatakan apa yang dilakukan OPM adalah pelanggaran HAM berat. TNI pun mengecam keras aksi OPM tersebut. Nugraha menambahkan bahwa aksi ini merusak upaya perdamaian yang tengah dibangun di Papua (www.detik.com, 12-4-2024).
Di sisi lain, kritikan terhadap tindakan TNI yang menganiaya warga Papua datang dari BEM UI. Hal ini dipicu dari beredarnya sebuah video yang memperlihatkan warga Papua yang dianiaya, tetapi akhirnya dilepaskan karena tidak terbukti bagian dari gerakan separatis. Atas kritikan tersebut, TNI pun menantang para mahasiswa UI untuk melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di wilayah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia atau BEM UI Verrel Uziel mengatakan pada akun Instagramnya bahwa BEM UI hanya ingin mengutarakan apa yang perlu diutarakan. Menurutnya, tanah Papua adalah bagian dari Indonesia yang setiap suaranya perlu digaungkan. Lebih lanjut, baginya pelanggaran HAM dalam bentuk apa pun layak mendapatkan justifikasi.
Kekerasan tersebut menurut BEM UI bertentangan dengan kewajiban negara dalam menegakkan HAM berdasarkan UUD 1945 pasal 281 ayat (4). BEM juga mengeklaim, kasus ini bukanlah yang pertama. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa anggota TNI Batalyon Infanteri Mekanis 521 Dadaha Yodha diduga menyiksa tujuh anak Distrik Sinak, Kabupaten Puncak, Papua (www.mpr.go.id, 7-4-2024).
Kondisi ini makin memperkeruh suasana yang sudah memanas dan tentunya makin membuat masyarakat ketakutan. Konflik berkepanjangan tanpa berkesudahan. Jangankan kesejahteraan, jaminan keamanan pun tidak didapatkan rakyat dengan baik. Hidup damai di Papua bagai “pungguk merindukan bulan”. Mengapa bisa seperti ini?
Akar Permasalahan Papua
Adanya KKB yang memberontak di Papua pada dasarnya bentuk kecemburuan sosial yang menimpa rakyat Papua. Mereka merasa dikucilkan dan tidak diperhatikan oleh negara. Jarak yang jauh dari ibu kota negara membuat Papua rawan terkontaminasi pemikiran asing. Kondisi ini pula memengaruhi masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI.
Sungguh, hal ini butuh ketegasan Negara, apalagi telah banyak nyawa masyarakat sipil maupun aparat melayang akibat keganasan KKB. Mereka membunuh secara keji dan brutal. Wajar apabila aparat pada akhirnya membalas semua tindakan keji mereka sehingga opsi waspada level tinggi harus mereka lakukan, termasuk mencurigai warga yang menurut mereka terkontaminasi gerakan separatisme.
Namun, tidak dibenarkan juga jika harus menganiaya mereka. Ini ibarat buah simalakama bagi aparat untuk bertindak, yang sebetulnya tidak tahu persis keadaan yang sesungguhnya di lapangan. Ini tentunya membutuhkan campur tangan negara untuk memberikan solusi agar sesama anak bangsa tidak saling berkonflik.
Butuh Sistem
Masalah ini erat kaitannya dengan sistem yang diterapkan dan dijalankan negeri tercinta ini. Sebagaimana diketahui, sistem yang bercokol adalah kapitalisme. Sistem ini yang telah membiarkan kelompok-kelompok bersenjata tumbuh subur.
Mereka dengan leluasa melakukan ter*r kepada masyarakat, baik secara fisik maupun verbal. Sistem kapitalisme hanya akan melakukan tindakan ketika ada keuntungan yang didapatkan dari hal tersebut. Sistem ini juga telah memporak-porandakan keamanan dalam negeri. Berdalih atas nama hak asasi manusia, ketegasan tidak diindahkan meski rakyat menjadi korban.
Terkait KKB, jelas termasuk dalam ter*risme. Sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ter*risme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan, terutama tujuan politik. Pelakunya disebut ter*ris, yaitu orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Balau Pustaka, Jakarta, cet.IV, 1995, 1048).
Dapat disimpulkan bahwa ter*risme secara definisi menjadi dua poin. Pertama, tindakan kekerasan yang melanggar hak orang lain, yang menyebabkan hilangnya harta, nyawa, dan kehormatan. Kedua, kekacauan, instabilitas, dan keamanan.
Dengan melihat perkembangan KKB dari waktu ke waktu dan sepak terjang mereka, serta tujuannya untuk memisahkan diri dari negeri ini, sudah sepantasnya mereka mendapatkan label ter*ris. Namun, pada kenyataannya, hal itu tidak juga dilakukan. Mereka hanya disebut para pemberontak, yakni Kelompok Kriminal Bersenjata. Ini sama saja mencederai kedaulatan dalam negeri jika tidak ada tindakan tegas dari negara.
Islam Menjadi Solusinya
Islam sebagai ideologi yang sempurna dan paripurna memberikan solusi yang jelas dan tegas terhadap kelompok yang termasuk dalam dua poin di atas. Tindakan ter*r, baik secara verbal maupun fisik sama-sama diharamkan oleh Islam.
Rasulullah saw. bersabda,
“Siapa saja yang meneror orang Islam demi mendapatkan rida pengusaha, maka dia akan diseret pada hari kiamat bersamanya.” (Lihat as-Suyuthi, Jami’ al-masanid wa al-marasil, VII/44).
“Siapa saja yang menghunuskan pedang terhadap seorang muslim, maka benar-benar telah menumpahkan darahnya.” (Lihat asy-Syaibani, Syarah as-Sair al-Kabir, 1/6).
Islam memberikan sanksi tegas terhadap setiap pelanggaran sesuai dengan bentuk dan kadarnya. Ada dua pendapat ulama yang yang menjelaskan ter*r yang menyebabkan hilangnya nyawa banyak manusia.
Menurut Mazhab Hanafi, orang tersebut harus dibunuh, tidak perlu membayar diyat. Akan tetapi, menurut Imam as-Syafii, itu belum cukup. Selain dibunuh, dia wajib membayar diyat kepada seluruh keluarga korban karena telah merenggut lebih dari satu korban. Jika qisas, nyawanya hanya untuk satu korban, sementara korban yang lainnya belum mendapat bagian. Oleh karena itu, dia wajib membayar diyat agar definisi qisas bisa ditutupi (as-Sarakhsi, al-Mabsurt, III/99).
Namun, jika ter*r ini tidak sampai menghilangkan nyawa, hanya menyebabkan hilangnya anggota badan, maka Islam menetapkan diyat untuk masing-masing dengan ketentuan. Pertama, jika anggota badan tersebut hanya mempunyai satu organ dan organ tersebut terluka, wajib dibayar dengan 100 unta. Kedua, Jika terdiri dari dua organ dan yang terluka hanya salah satu, seperti telinga sebelah kiri, wajib membayar 50 unta. Ketiga, jika terdiri dari sepuluh bagian, seperti jari, setiap jari dibayar 10 unta. Diyat berlaku jika organ-organ tersebut hilang, tetapi jika hanya terluka dan luka tersebut tidak dalam, maka diyat yang dibayar adalah sepertiganya (al-Malik, Nizam al-uqubat).
Kesimpulan
KKB melakukan aksi ter*r bukan saja menghilangkan nyawa, harta, dan kehormatan, mereka juga mengganggu keamanan dan menciptakan kengerian di tengah masyarakat. Ini adalah bughat (pemberontak).
Islam mempunyai sanksi yang jelas dan tegas terhadap aksi ter*r, seperti aksi perusakan, pembakaran, sabotase, dan pendudukan pos-pos vital di dalam negeri disertai dengan serangan terhadap kepemilikan individu dan negara. Jika mereka tidak mengangkat senjata, cukup dihentikan oleh pihak kepolisian.
Jika kepolisian tidak mampu, meminta bantuan kepada tentara. Jika mereka mengangkat senjata dan melancarkan perang, tindakan yang diambil adalah diperangi. Kepolisian yang mempunyai tugas ini sebagai pihak keamanan dalam negeri.
Jika tidak bisa diatasi oleh kepolisian, tentara harus dilibatkan. Sebelum diperangi, para pemberontak harus diminta untuk kembali meletakkan senjata dan taat kepada negara. Jika tidak mau, jalan terakhir adalah diperangi.
Dengan cara seperti itu, negara mampu menyelesaikan masalah terorisme hingga ke akarnya. Solusi yang dibangun berdasarkan syariat Islam, bukan sekadar dugaan juga rekayasa demi kepentingan penguasa komprador dan majikannya.
Wallahu a’lam. [CM/NA]