Oleh. Ummu Fahri
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com, Pegiat Media dan Literasi)
CemerlangMedia.Com — Lewat akun twitternya @kiangiekwik mengatakan bahwa dirinya merasa takut untuk mengeluarkan pendapat pribadinya walaupun bertujuan baik, disebabkan buzzer bisa balik memeranginya. Tweet tersebut ramai di medsos usai merespon pidato Presiden Joko Widodo yang meminta agar rakyat dapat menyampaikan kritik kepada pemerintah. Cuitan mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie pada 2021 lalu agaknya masih relevan dengan kondisi saat ini.
Pasalnya, menteri Komunikasi dan Informatika yang baru dilantik Budi Arie Setiadi berencana untuk membentuk tim pengawas media sosial yang bertujuan untuk memonitor konten-konten di berbagai platform sosial media. Menurutnya, wacana itu muncul dari gagasan Mahfud MD yang kala itu menjabat tim Pelaksana Tugas Menteri Komunikasi dan Informatika (detiknews.com, 24-7-2023).
Upaya pemerintah untuk mengawasi media sosial masih gencar dilakukan, terutama konten yang bermuatan negatif, seperti pornoaksi–pornografi, judi online, hate speech, hoaks, serta ideologi radikal. Langkah itu dilakukan melalui cyber drone 9 milik tim AIS Kominfo, dengan sistem yang berbasis artificial intelligence (AI). Berikutnya Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) memiliki program pengawasan terhadap konten di media sosial pada pemilu lalu (2020) dan Virtual Police lewat divisi cyber crime dari satuan Bareskrim Polri juga telah resmi beroperasi dengan penegakkan hukum di ruang digital (2021).
Aksi lapor melapor atas nama ujaran kebencian pun menjadi buntut dari kisruh di media sosial yang berujung dipolisikan. Terbukti bukan hanya masyarakat biasa, sejumlah aktivis KAMI seperti Anton Permana, Syahganda Nainggolan, dan lainnya turut menjadi korban jeratan UU ITE. Padahal banyak pihak menilai pasal-pasal dalam undang-undang tersebut multitafsir dan kerap dipakai untuk melaporkan seseorang yang berlawanan dengannya.
Urgensi Semu
Belum saja dibuat, tetapi sudah menuai pro dan kontra. Banyak pihak menganggap pengawasan terhadap media sosial makin membuat rakyat was-was untuk mengungkap kebenaran apalagi sekadar menyampaikan pendapat. Ini karena kebebasan berpendapat dibelenggu dengan berbagai pasal, kini ditambah lagi dengan pengawas media sosial.
Wahyudi Djafar Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan bahwa wacana dibentuknya tim pengawas media sosial tidaklah tepat karena banyak pertimbangan. Pertama, mengganggu privasi, apalagi dipantau setiap hari. Kedua, muncul chilling effect (ketakutan dalam menyampaikan pendapatnya). Ketiga, wewenang pemerintah terlalu absolut dalam pembatasan konten internet. Keempat, membuka peluang terjadinya mass surveillance (pengawasan massal) (detiknews.com, 24-7-2023).
Dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi memang dijamin dalam undang-undang. Namun, ternyata hal itu hanyalah sebuah isapan jempol semata. Dari berbagai kasus UU ITE, mulai dari Prita Mulyasari hingga influencer Bima dari Lampung, justru mereka mengungkap fakta yang sesungguhnya. Bukan malah membuat gaduh seantero negeri seperti yang dilakukan oleh para buzzer bayaran. Sayangnya, hukum seperti tebang pilih dan UU ITE ibarat pasal karet sehingga terkesan berat sebelah.
Sepertinya undang-undang pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) tidak mampu menjadi rujukan semua pihak. Di sisi lain, terjadi ketimpangan dengan pemberlakuan regulasi yang ada, ditambah lagi jika nanti diberlakukan pengawas media sosial. Akhirnya publik akan menilai rezim ini anti demokrasi dan anti kritik karena memberangus kebebasan berpendapat. Terlebih lagi menjelang kontestasi politik 2024 mendatang.
Seharusnya Kominfo bisa lebih mengoptimalkan perannya dalam memerangi situs-situs yang meresahkan. Pada saat degradasi moral menimpa generasi muda hari ini yang justru dipicu oleh konten-konten negatif di sosial media. Merebaknya perjudian online, aliran sesat makin gencar, konten pornografi-pornoaksi yang merajalela, dan lain-lain lebih membutuhkan prioritas utama ketimbang pembentukan satgas media sosial.
Perspektif Islam
Semua ini bermuara pada penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mementingkan oligarki dan meminggirkan rakyat. Lain halnya dalam konteks Islam, penguasa menerapkan Islam kafah secara praktis dalam setiap aspek kehidupan termasuk media. Pengawasan terhadap penguasa, berupa aktivitas muhasabah justru merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an surat Al-Imran ayat 104, dalam rangka menegakkan amar makruf nahi mungkar sesama muslim.
Kontrol terhadap penguasa dalam Islam dapat dilakukan oleh individu, kelompok, majelis umat dan mahkamah mazhalim. Sebagaimana pernah terjadi pada zaman pemerintahan Umar bin Khatab ra. pun pernah dikritik oleh seorang perempuan terkait pembatasan mahar.
Islam membuka ruang untuk rakyatnya menyampaikan pendapatnya kepada penguasa tanpa adanya tekanan, ancaman, bahkan dipolisikan. Hal ini dilakukan sebagaimana HR Tirmidzi untuk mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain karena berimplikasi dengan kebijakan terhadap urusan umat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak di akhirat. Wallahua’lam. [CM/NA]