Oleh. Rizki Ika Sahana
(Aktivis Muslimah)
CemerlangMedia.Com — Isu perselingkuhan dan perceraian yang mewarnai perbincangan publik baru-baru ini perlu mendapat perhatian serius. Sebab sudah mengarah kepada pembentukan mindset keliru tentang pernikahan di tengah kita serta solusi yang tidak mengantarkan kepada penyelesaian tuntas, bahkan malah mengundang munculnya persoalan baru.
Anggapan bahwa ikatan pernikahan itu mengekang, ibarat penjara seumur hidup bagi perempuan seperti mendapat angin segar. Persepsi bahwa menikah menjerumuskan perempuan menjadi budak seks semata dan pembantu, juga seakan menemui realitanya. Oleh karenanya, pandangan bahwa perempuan harus mandiri secara finansial agar punya value dan tidak mudah dihempas oleh keadaan pasca perceraian seolah menjadi opini yang masuk akal. Benarkah demikian?
Bahwa pernikahan itu mengekang, menjadikan perempuan budak seks semata dan pembantu, hal tersebut sama sekali tidak ditemukan faktanya dalam kehidupan Islam. Perempuan muslimah justru bahagia dan di-‘ratu’-kan dalam pernikahannya. Sebab hukum-hukum syariat Islam mengatur pernikahan sedemikian rupa sehingga membawa keberkahan bagi pasangan suami/istri juga anak-anak.
Solusi pemberdayaan ekonomi perempuan yang dipropagandakan kaum feminis bukan saja tak relevan, justru melahirkan problem disharmoni dalam keluarga. Istri bekerja yang mungkin menghasilkan rupiah jauh lebih besar dari suami pada kenyataannya melemahkan kepemimpinan suami dalam rumah tangga, memunculkan friksi dan kerenggangan hubungan suami-istri. Anak-anak sebagai generasi penerus tumbuh menjadi pribadi rapuh karena kehilangan kasih sayang, tauladan, juga pendidikan terbaik dari orang tuanya terutama ibu. Ditambah, kehidupan yang serba bebas, interaksi laki-laki dan perempuan yang tanpa batas di ruang publik, masyarakat yang cenderung permisif, media yang semakin terbuka lagi liberal, hukum yang diskriminatif dan tidak memberi efek jera membuat kasus perselingkuhan dan perceraian kian masif tak terbendung.
Maka, untuk mengcover problem perselingkuhan dan perceraian, kita tidak bisa sekadar menitikberatkan pada upaya perbaikan individu, yakni fokus kepada pasutrinya saja. Tapi harus mengcover berbagai variabel yang melingkupinya, yakni menghentikan arus liberalisasi yang semakin santer, serta mewujudkan peran negara sebagai penjaga ketahanan keluarga. Realitanya, pada kasus pelalaian nafkah, KDRT, hingga perselingkuhan oleh suami misalnya, sistem hukum hari ini tak kuasa menyeret para suami yang bermaksiat tersebut untuk menghentikan perilakunya apalagi memberi sanksi yang setimpal. Alih-alih memberi efek jera dan mencegah laki-laki lain berperilaku sama, publik dan negara justru menyodorkan konsep pemberdayaan perempuan secara ekonomi. Alasannya, perempuan akan punya bargaining position dalam rumah tangga dan bisa mandiri meski telah bercerai dari suaminya jika memiliki penghasilan sendiri. Sungguh naif.
Maka, sakinah atau ketenteraman, kebahagiaan, dan keutuhan mahligai rumah tangga sesungguhnya akan dapat diraih dengan 3 pilar.
Pertama, komitmen pasangan suami/istri untuk senantiasa menguatkan pondasi rumah tangga, memahami visi-misi pernikahan sesuai tuntunan Islam, memahami fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga serta berupaya optimal menjalankannya sesuai syariat, menjalin persahabatan yang erat, berkomunikasi dengan baik, serta bergaul dengan cara yang ma’ruf.
Kedua, masyarakat harus dibebaskan dari liberalisasi yang jelas-jelas membawa bencana tak berkesudahan di berbagai belahan dunia bahkan di Barat sekalipun.
Ketiga, negara wajib menerapkan aturan yang efektif dan tegas dalam rangka mewujudkan ketahanan keluarga, utamanya dalam aspek pendidikan, media dan infokom, pergaulan, sanksi dan hukuman, juga ekonomi, untuk mensupport terbentuknya keluarga yang kuat dan tangguh.
Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan menegakkan syariat Islam secara kafah. Sebagaimana yang pernah ada di masa lalu dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni sekitar 13 abad lamanya, yang kejayaannya tidak pernah dilampaui oleh peradaban manapun. Masyaallah! Tidakkah kita merindukannya? Wallahu a’lam. [CM/NA]