Oleh: Uqie Nai
(Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Keberadaan mini market saat ini bak jamur di musim hujan. Sebut saja di antaranya Indomaret dan Alfamart. Kedua ritel ini tak hanya berdiri di perkotaan atau pedesaan, tetapi juga sudah merambah ke pelosok kampung. Bagi sebagian orang, keberadaan mini market ini tentu menguntungkan, selain barangnya cukup lengkap, tempatnya bersih, nyaman, penataan barang rapi, banyak diskon dan promo yang ditawarkan, juga menghemat biaya transportasi jika akses menuju pasar tradisional dan pusat kota lumayan jauh. Namun, untuk pedagang dan warung kecil, keberadaan mini market ini adalah ancaman yang akan mematikan usaha mereka.
Sebagaimana diketahui, Indomaret adalah milik salah seorang taipan Indonesia, Anthoni Salim. Ia disebut memiliki kekayaan hingga US$ 8,5 miliar atau setara Rp124,6 triliun (kurs dolar saat ini Rp14.660/US$). Adapun pendiri Alfamart adalah Djoko Susanto sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Forbes mencatat harta kekayaannya mencapai US$ 1,45 miliar atau Rp21,75 triliun (Detikfinance, 22-10-2022).
Kekhawatiran akibat pesatnya mini market di tengah warung kecil dirasakan pula oleh Ketua DPRD Kabupaten Bandung Sugianto. Sugianto menyebut keberadaan minimarket saat ini sudah hampir tidak terkendali. Jika tidak diatasi, akan menjadikan warung-warung kecil menjadi terdampak. Padahal Kabupaten Bandung saat ini telah memiliki perda berkaitan dengan batasan minimarket untuk melindungi warung-warung kecil. Oleh karena itu, pihaknya, selain akan melakukan monitoring kepada Dinas terkait terutama pihak yang mengeluarkan izin pendirian minimarket, juga akan meminta pemerintah desa melakukan perlindungan bagi warung-warung kecil dengan cara membuat Peraturan Desa (Perdes) mengenai batasan minimarket (Ayobandung.com, 29-8-2023).
Kapitalis Kian Rakus, Negara Butuh Fulus
Tak akan ada asap bila tak ada api. Tak akan ada mini market jika tak ada yang membackingi. Slogan ini tentu cukup familiar di alam demokrasi kapitalisme. Sekalipun masyarakat menolak tentang pendirian mini market di lingkungan mereka, tetapi tidak demikian dengan pejabat setempat seperti RT, RW, atau kepala desa. Perizinan seolah menjadi mudah bila uang sudah bicara. Undang-undang pun tak ubahnya hanya goresan di atas kertas tanpa makna. Inilah ketika wajah kapitalisme menjadi asas ekonomi. Negara membiarkan para pemodal melebarkan sayap bisnisnya tanpa batas, sementara ekonomi masyarakat kecil kian terkucil.
Negara sebagai pemilik kebijakan harusnya bisa mengimplementasikan aturan yang dibuatnya, seperti UUD 1945 Pasal 27 tentang hak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi masyarakat. Realitanya, pekerjaan dan penghidupan yang layak itu hanya milik mereka yang berkantung tebal. Mereka terus membangun sejumlah pasar modern di tengah pedagang kecil yang hidupnya sudah kembang kempis akibat beban hidup yang tak kunjung berkurang. Ternasuk kurangnya (pengurusan) negara kepada mereka dalam hal ketersediaan lapangan kerja.
Begitu pula dengan Perda No. 20/2009 Tentang Pembangunan, Penataan, dan Pengendalian pasar modern. Perda ini mestinya menguntungkan pedagang kecil seperti UMKM atau toko kelontong. Faktanya, mereka kalah saing dengan mini market yang berdiri di antara mereka. Bukan hanya dari aspek permodalan, tetapi juga dari jumlah pembeli dan pelayanan.
Pada dasarnya, ketidakefektifan pembangunan, penataan, serta pengendalian pasar modern (mini market) bukan terletak pada aturan/undang-undangnya, melainkan pada sistem yang menaunginya. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menganut sistem kapitalisme dalam ekonominya, yakni sistem ini memang didesain berpihak pada kapital. Artinya, negara yang mengadopsi paham ini diharamkan turut campur dalam aktivitas ekonomi masyarakat selain sebagai regulator dan fasilitator saja.
Selama kapitalisme ini masih diadopsi negara, pembangunan dan pembatasan berdirinya mini market sulit terwujud. Para pedagang kecil akan banyak tersingkir hingga gulung tikar karena negara lebih pro pada pengusaha dan korporasinya. Jika pun ada ‘pinjaman lunak’ dari pemerintah kepada UMKM misalnya, itu bukanlah solusi dalam bentuk bantuan murni, tetapi bantuan ekonomi berbasis ribawi yang akhirnya akan menjerat masyarakat di kemudian hari. Seandainya pun negara berpihak pada rakyat kecil dan membatasi para pengusaha, negara tentu tidak mau mengambil risiko karena menyebabkan berkurangnya pemasukan dari para kapital. Maknanya, negara akan merugi secara materi jika para pengusaha mengancam hengkang dari negeri ini atau menarik investasinya jika negara mempersulit usaha mereka.
Begitu pula negara dalam sistem ini tak akan bisa lepas dari jeratan oligarki dan korporasi. Oleh karena keduanya ikut andil dalam pemilihan pemimpin melalui dana yang digelontorkannya. Jadi akan sangat mudah menyetir pemerintah terkait hukum dan kebijakan jika tak sejalan dengan oligarki dan korporasi. Maka wajar kiranya bila pendirian mini market terus berkembang pesat tanpa bisa dicegah. Meski telah ada aturan untuk membatasinya sebagaimana di atas, para korporat tetap bisa melanjutkan usahanya bahkan sebelum izinnya turun sekalipun.
Masyarakat Butuh Solusi Utuh dari Sistem yang Bersifat Menyeluruh
Dalam Islam, terdapat etika dalam kegiatan berekonomi, yaitu harus sesuai syariat dan berlandaskan iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat melalui suatu tata aturan yang baik dan terhormat, serta selalu menjaga asas keseimbangan antara dimensi material-spiritual, individual, serta sosial.
Islam mengatur agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil. Islam melarang atas setiap bentuk muamalah yang dapat menimbulkan ketidakadilan seperti larangan bagi pedagang yang menyongsong di pinggir kota dengan maksud mendapat keuntungan dari ketidaktahuan penjual dari kampung tentang harga yang berlaku. Islam juga memiliki konsep bahwa persaingan pasar harus berjalan alami (persaingan bebas) dan tetap dalam koridor syariat. Contohnya larangan bagi negara menetapkan harga di pasar, tetapi negara harus menyerahkannya pada mekanisme pasar.
Selain itu, Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk mengembangkan hartanya sehingga menjadi kaya sekalipun, tetapi tidak merugikan pihak lain dan bukan untuk menumpuk harta. Islam tidak melarang jika ada warga masyarakat yang berbisnis waralaba atau gerai mini market. Akan tetapi, ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelum memulai bisnis tersebut, di antaranya; Pertama, bisnis dalam ekonomi Islam landasannya adalah akidah; Kedua, kegiatan ekonomi adalah salah satu jalan bagi individu/kelompok memiliki harta; Ketiga, menjadi salah satu solusi masalah manusia, yaitu terciptanya lapangan kerja; keempat, kegiatannya mendatangkan maslahat; Kelima, Pelaku bisnis memahami bagaimana kondisi dan dampak setelah membangun bisnis waralaba; Keenam, bukan untuk mematikan bisnis pedagang kecil dengan produk serupa seperti membuka cabang mini market sebanyak-banyaknya. Jika ini terjadi, maka negara akan mengambil alih pengelolaannya sehingga dirasakan keadilan dan kemerataannya.
Dengan demikian, hanya negara dalam sistem Islam yang mampu menjalankan pembangunan, penataan, serta pengendalian pasar modern seperti mini market berjalan sesuai syariat. Aturan yang lahir dari Islam mampu diimplementasikan negara dalam kehidupan masyarakat sehingga berbuah kemaslahatan. Maka kekhawatiran akan dominasi kapitalis tak akan terjadi saat syariat Islam diterapkan. Ini menjadi bukti bahwa negara dalam sistem Islam mampu menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengurus/pelayan) masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Pemimpin itu laksana penggembala. Ia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya (rakyat).” (HR Bukhari)
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]