Oleh: Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Hujan dengan intensitas tinggi yang mengguyur Jabodetabek tidak hanya membebaskannya dari kemarau panjang, tetapi juga mengundang kembali bencana banjir, tak terkecuali Bekasi. Apalagi Bekasi yang akrab dengan bencana banjir, walaupun pertama kali hujan mengguyur, beberapa titik sudah mengalami banjir.
Hal ini seperti yang diberitakan di laman media Tempo.co pada (05-11-2023) bahwa banjir merendam pemukiman penduduk dengan ketinggian sedengkul orang dewasa di Bekasi Timur. Hal ini selain disebabkan oleh intensitas hujan di wilayah tersebut, juga disebabkan oleh air kiriman dari hulu sungai di Bogor (Tempo.co, 15-11-2023).
Demikian pula di wilayah Bekasi Utara, Ponduk Ungu Permai menjadi langganan banjir apabila terjadi hujan deras. Genangan setinggi 30 sentimeter itu membuat kendaraan motor mogok. Namun, ada pula yang nekat menerobos genangan tersebut (Detik.news, 04-11-2023).
Banjir merupakan musibah yang sering terjadi di Indonesia, khususnya Bekasi. Penyebabnya tidaklah bersifat tunggal, melainkan sistemik dan saling berkaitan. Demikian pula penanganannya, tidak bisa dilakukan hanya dengan tambal sulam semata, tetapi haruslah menyeluruh sampai ke akar permasalahan agar banjir tidak terulang kembali.
Akibat Pembangunan Kapitalistik
Sering kali curah hujan akibat perubahan iklim dituding sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Padahal sejatinya hal itu hanya menjadi salah satu pemicunya saja. Hal tak kalah penting yang menjadi penyebab banjir adalah adanya pembangunan kapitalistik.
Misalnya alih fungsi lahan seiring dengan masifnya pembangunan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Akibatnya, debit air tidak tertampung secara normal, sampah-sampah yang menumpuk turut memperburuk kondisi lingkungan. Keserakahan manusia dalam sistem kapitalis ini menggeser kestabilan alam. Hal ini diperparah oleh kebijakan kapitalistik yang berorientasi pada materi. Apa pun dilakukan untuk meraup keuntungan, sekalipun merusak lingkungan.
Tak dapat dipungkiri, saat ini banyak sekali dijumpai alih fungsi daerah resapan menjadi perumahan, adanya reklamasi pantai dan tempat-tempat wisata. Tentu menjamurnya alih fungsi lahan tersebut karena restu dari penguasa yang dirasuki para pemodal (kaum kapital) sehingga tata kota yang dibangun berdasarkan keinginan kaum pemilik modal, bukan atas dasar kemaslahatan masyarakat.
Hunian ramah lingkungan yang digadang-gadang sebagai hunian yang nyaman nyatanya hanya mampu diakses oleh kaum elite, sedangkan masyarakat lemah terpinggirkan, bahkan menjadi korban dengan bermukim di kawasan rawan banjir atau terdampak banjir. Sistem kapitalisme telah nyata menjadikan masyarakat ekonomi lemah sebagai kaum marjinal.
Belum lagi setumpuk persoalan pasca banjir, misalnya tanah berlubang karena tergerus air yang menyebabkan aktivitas masyarakat tersendat. Seringkali, perbaikan jalan pasca banjir dilakukan seadanya sehingga ketika banjir kembali datang dalam waktu berdekatan, kondisi jalanan makin memburuk.
Ironisnya, pemerintah justru membangun infrastruktur tol, jalan layang, proyek kereta cepat yang peruntukannya bukan untuk masyarakat umum. Sedangkan jalan umum yang sering dilalui oleh masyarakat terabaikan. Padahal sejatinya, masyarakat sangat membutuhkan perhatian pemerintah apalagi pasca banjir karena pasti menimbulkan banyak kerugian.
Demikian buruknya pembangunan kapitalistik yang kerap kali menimbulkan ironi. Sedangkan negara tidak berfungsi dalam urusan melayani umat, hanya menjadi pelayan kaum bermodal. Lantas, bagaimana mungkin pembangunan kapitalistik bisa diharapkan untuk membangun peradaban maju?
Pembangunan dalam Islam
Dalam sistem Islam, pembangunan adalah bentuk pelayanan terhadap umat. Negara akan memprioritaskan pembangunan yang dibutuhkan umat yang apabila pembangunannya ditunda akan mengakibatkan dharar (bahaya) bagi umat.
Di sisi lain, pembangunan dilakukan dengan tetap menjaga kestabilan alam. Negara tidak akan sembarangan melakukan alih fungsi lahan apalagi hanya untuk kepentingan segelintir orang demi meraih materi belaka. Negara sangat mempertimbangkan prinsip pengelolaan lahan agar musibah yang disebabkan salah kelola lahan terhindari.
Al Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang dampak buruk salah kelola alam akibat ulah manusia. Hal ini seperti firman Allah Swt. dalam surah Ar-Rum ayat 41,
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41).
Bukti pembangunan ramah lingkungan pada masa sistem Islam, yaitu adanya bendungan dengan berbagai bentuk misalnya yang terdapat di Turki dan Iran yang berfungsi untuk menampung air hujan dari aliran sungai dengan debit air yang besar. Selain untuk mencegah banjir, bendungan ini juga berfungsi sebagai sumber irigasi. Secara berkala, negara juga melakukan pengerukan terhadap sungai-sungai dan aliran air untuk mencegah adanya pendangkalan.
Adanya pembangunan dalam sistem Islam terbukti membawa dampak baik terhadap umat dan lingkungan. Tidak hanya kestabilan alam yang dirasakan, tetapi juga keberkahan hidup karena berada dalam naungan sistem yang sahih sesuai Al-Qur’an dan as-Sunah.
Maka, keberadaan sistem Islam adalah solusi yang komprehensif dalam menanggulangi banjir yang sering terjadi agar tidak kembali terulang. Mitigasi secanggih apa pun apabila dilakukan di sistem kapitalis ini tidak akan efektif dalam menanggulangi bencana banjir, sebab sistem ini terbukti gagal merumuskan akar permasalahan terjadinya banjir sehingga akan selalu gagal pula dalam penanganannya. So, tunggu apalagi. Segeralah memperjuangkan keberadaan sistem Islam kembali!. Wallahu a’lam. [CM/NA]