Oleh: Dini Azra
CemerlangMedia.Com — Miris sekali kondisi negeri ini. Di tengah gegap gempita pesta demokrasi dan selebrasi kemenangan yang sudah diperlihatkan oleh pemenang kontestasi, rakyat harus menanggung beban kenaikan harga beras yang cukup tinggi. Kenaikan beras saat ini merupakan kenaikan tertinggi sepanjang sejarah Indonesia, khususnya di bawah pemerintahan Jokowi.
Berdasarkan peraturan Badan Pangan Nasional No 7 Tahun 2023, HET beras berlaku sejak Maret 2023 adalah Rp10.900 per kg untuk medium, sedangkan beras premium Rp13.900 per kg untuk daerah Jawa, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi. Sementara di daerah lainnya, HET beras medium dipatok Rp11.500 per kg, premium Rp15.000 per kg. Adapun berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategi Nasional (PIHPS) harga beras kualitas medium per Jumat (23-2-2024) dipatok Rp15.500 per kg, sedangkan premium di kisaran 16.500—17.000 per kg. Namun, harga di pasaran harga bisa tembus Rp18.000 per kg.
Adakah Kaitannya dengan Bansos?
Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonésia (IKAPPI) menyinggung soal kelangkaan beras saat ini ada kaitannya dengan keberadaan bansos beras 10 kg yang digulirkan jelang Pilpres 2024. Menurutnya, pembagian bansos tersebut menimbulkan tarik-menarik dengan stok beras di pasar. Fakta harga beras tinggi bukti pemerintah tidak serius menangani masalah ini. Oleh karena itu, tata niaga pangan di negeri ini harus diperbaiki dan dilakukan perubahan agar tidak terjadi hal yang sama secara terus-menerus (CNNIndonesia.com, 13-2-2024).
Banyak pihak yang menduga bahwa kelangkaan beras saat ini memang dipengaruhi oleh pengguliran bansos beras 10 kg jelang pilpres secara besar-besaran. Namun, pemerintah menampik tudingan tersebut dan menyampaikan bahwasanya pemberian bansos beras justru bertujuan untuk membantu masyarakat dan menekan kenaikan harga beras.
Saat membagikan bantuan pangan kepada keluarga penerima bantuan (KPM) di Gudang Bulog Batangase, Kabupatèn Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (22-2-2024), Presiden Jokowi menjelaskan, naiknya harga beras di Indonesia disebabkan perubahan iklim yang ekstrem telah menyebabkan gagal panen sehingga produksi berkurang. Jokowi juga menyebut bahwa kenaikan harga beras tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga semua negara di dunia. Hanya di Indonesia yang rakyatnya diberikan bantuan 10 kg beras setiap bulan. Namun, begitu, dia tidak berjanji bantuan akan tetap diberikan setelah Juni. Jika APBN mencukupi, akan dilanjutkan (CNBCIndonesia, 22-2-2024).
Bansos Bukan Solusi Menekan Kenaikan Harga Beras
Pembagian bansos berupa beras 10 kilogram memang dirasakan manfaatnya bagi rakyat yang menerima. Namun, sejatinya, hal itu menjadi indikasi kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Pasalnya, tidak semua rakyat yang terkategori miskin mendapatkan bantuan tersebut. Oleh karenanya, dapat disaksikan, meskipun bantuan pangan digelontorkan hingga memakan biaya hampir 500 triliun, tetapi di beberapa daerah, kita lihat antrian panjang masyarakat yang ingin membeli beras murah dalam operasi pasar yang diadakan pemerintah. Bahkan, warga rela antri berjam-jam dan berdesak-desakan sampai ada yang pingsan.
Pemandangan ini makin memperlihatkan tingginya angka kemiskinan dan ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan solusi pangan bagi rakyatnya. Terbukti bahwa pemberian bansos tidak mampu menekan harga atau meningkatkan daya beli masyarakat.
Dengan tingginya harga beras, kantong rakyat jelas akan terkuras, biaya untuk kebutuhan hidup yang lain pasti akan terpangkas. Sebab, naiknya harga tidak diimbangi dengan naiknya pendapatan. Masyarakat harus menyiasati agar gaji yang didapat bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang pendapatannya tidak pasti? Kuli bangunan, pekerja serabutan, pedagang kecil, dan lain sebagainya. Masyarakat tentu akan makin menderita.
Sistem Ekonomi Kapitalisme Liberal Biang Keladinya
Pemerintah seharusnya tidak hanya menyalahkan faktor alam untuk menutupi kegagalannya dalam menjaga kestabilan harga beras. Salah satu penyebab kenaikan harga beras adalah karena rantai distribusi beras yang tidak berada di tangan pemerintah.
Dalam sistem ekonomi liberal, perusahaan besar yang beromset triliunan bisa memonopoli gabah dengan cara membeli gabah dari petani dengan harga lebih tinggi. Hal ini menyebabkan penggilingan-penggilingan kecil gulung tikar karena tidak mendapatkan pasokan gabah dari petani.
Selain itu, perusahaan besar juga unggul dalam kecanggihan alat produksi sehingga menghasilkan beras premium berkualitas tinggi, sedangkan penggilingan kecil hanya mampu menghasilkan beras medium. Dengan demikian, perusahaan besar dapat menguasai pasar, mampu mempermainkan harga pasar, dan menahan pasokan beras di pasaran.
Kelangkaan beras yang seharusnya bisa diantisipasi oleh negara, justru berada di bawah monopoli para pengusaha besar. Bisa dilihat dan dirasakan ketika harga beras sedang meningkat, persediaan di ritel-ritel seketika menghilang, sedang di pasar-pasar harga sudah meningkat tajam. Nanti, ketika pemerintah sudah menetapkan kenaikan harga secara resmi, keberadaan beras di ritel-ritel dalam sekejap akan terpenuhi kembali.
Dalam sistem kapitalisme sudah menjadi kewajaran jika pemilik modal besar adalah pemenang pasar. Negara hanya sebagai regulator bagi pengusaha dan masyarakat yang menjadi konsumen. Kekayaan masyarakat disedot melalui bisnis di lembaga keuangan ribawi (bank dan non-bank) dan pasar sekunder (saham obligasi, dll.).
Solusi Hakiki Hanya dengan Menerapkan Sistem Ekonomi Islam
Solusi sesungguhnya hanya ada dalam sistem ekonomi Islam. Negara Islam akan menjamin ketersediaan bahan pokok, seperti beras yang merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat. Negaralah yang harus mengelola beras dari hulu ke hilir. Mulai dari produksi, distribusi sampai ke tangan rakyat. Tidak akan dibiarkan adanya penimbunan beras, monopoli pasar, dan berbagai praktik yang merusak rantai distribusi, sebab negara takkan berlepas tangan dari mengurus urusan rakyat.
Para petani akan dibantu sepenuhnya mulai dari benih, pupuk, peralatan, dan lahan pertanian. Negara juga menyediakan lumbung pangan sebagai antisipasi saat terjadi paceklik.
Negara Islam akan fokus mengurus kepentingan umat dalam berbagai bidang karena posisi pemerintah adalah sebagai pelayan, bukan fokus mengejar dan mempertahankan kekuasaan demi kepentingan pribadi maupun golongan. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]