Oleh: Fakihah Farhah Faridaashri, S.E.
(Aktivis Muslimah)
CemerlangMedia.Com — Sebanyak 22.871 orang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) DKI Jakarta untuk Pemilu 2024. Dengan dalih politik, ODGJ alias ‘orang gila’ dibolehkan oleh KPU untuk turut memilih dalam pemilu mendatang agar hak suara ODGJ dapat tetap diperhitungkan.
Realitas ini cukup mengherankan, lantaran kondisi ODGJ alias orang gila, akalnya sudah tidak lagi berfungsi sempurna. Lantas, siapakah sebenarnya yang ‘gila’?
Pemilu dan ODGJ
Pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) akan dilaksanakan pada (14-2-2024) mendatang. Berdasarkan data dari KPU DKI Jakarta, tercatat Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 pemilih. Dari total keseluruhan jumlah pemilih tersebut, terdapat 61.747 orang di antaranya merupakan penyandang disabilitas, termasuk 22.871 disabilitas mental atau ODGJ (CNN Indonesia, 16-12-2023).
Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta Fahmi Zikrillah menuturkan bahwa ODGJ tetap diberikan kesempatan sebagai pemilih agar hak suaranya dapat diperhitungkan dalam ajang Pemilu 2024. Adapun pihaknya, memastikan akan ada pendampingan kepada ODGJ saat mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) pada hari pencoblosan (Antaranews.com, 12-12-2023).
Di tahun politik seperti ini, segala cara dilakukan oleh pejabat untuk mendapatkan suara rakyat, sampai-sampai suara ‘orang gila’ pun tetap dihitung. Tentu kita mempertanyakan, apakah ODGJ mampu menentukan pilihannya sendiri ataukah memang kebijakan ini hanya dibuat-buat agar segelintir orang dapat menggunakan suara ODGJ untuk kesuksesan paslon yang didukungnya.
Nahas sekali! Kondisi orang gila yang sudah ‘pincang’ fungsi akalnya, tetapi masih dikejar-kejar suaranya. Jangankan untuk memilih presiden, memilih makanan dan pakaian yang baik bagi diri mereka sendiri pun belum tentu bisa. Sebegitu berambisinya pejabat di sistem sekularisme kapitalisme, sampai-sampai mengejar suara politik ‘orang gila’ demi kekuasaan. Miris!
Di samping itu, pemerintah memiliki standar ganda dalam memandang ODGJ. Ya, jika melihat kepada kasus kriminalisasi ulama, pelaku seringkali dianggap ODGJ dan dibebaskan dari sanksi. Mulai dari kasus penusukan Syeikh Ali Jaber ra. di Lampung, penganiayaan seorang ulama di Bandung, penyerangan seorang ustaz di Sumatra saat mengisi kajian, dan masih banyak kasus kriminalisasi ulama lainnya yang pada akhirnya pelaku disebut oleh polisi sebagai ODGJ.
Sangat disayangkan, jika dalam banyak kasus kriminalisasi ulama, pejabat dan aparat berlepas tangan dengan dalih pelaku tersebut adalah ODGJ. Namun, dalam tahun politik seperti ini, suara ODGJ malah dikejar-kejar.
Pandangan Islam
Akal adalah perangkat istimewa yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia agar dapat digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang baik dan buruk menggunakan standar yang berasal dari wahyu Ilahi. Namun, ketika fungsi akal tersebut telah hilang dari pemiliknya, maka ia menjadi golongan yang diangkat penanya dari pencatat amal dan dosa sehingga dia tidak punya beban taklif.
Dari Aisyah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga mimpi basah, dan orang gila hingga berakal.” (HR Ahmad, Ad-Darimi, dan Ibnu Khuzaimah).
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Syakhsiyah Al-Islamiyyah mengatakan yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukallaf. Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi mengartikan “diangkat pena” adalah tidak adanya taklif (kewajiban melaksanakan perintah). Selanjutnya dalam syarah Imam Nasa’i menjelaskan adalah tidak dicatatnya dosa pada mereka.
Oleh karena itu, ODGJ menjadi golongan yang diangkat pena alias terbebas dari taklif karena sudah lepas fungsi akalnya sehingga tidak mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Maka, tidak sepantasnya ODGJ dibebankan amanah memilih penguasa karena mereka tidak tergolong sebagai mukallaf.
Islam memandang ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, tetapi tidak lagi mendapatkan beban amanah. Bahkan ketika masa kejayaan Islam di masa lampau, negara Islam memiliki pengaturan, yakni membantu pengobatan untuk kesembuhan mental ODGJ.
Di samping itu, Islam juga memiliki mekanisme pemilihan pejabat dan wakil umat dengan cara yang sederhana dan masuk akal. Semua dilakukan demi menegakkan aturan Allah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, bukan sekadar memenuhi syahwat kekuasaan. [CM/NA]