Oleh. Annisa Eres
(Pemerhati Sosial)
CemerlangMedia.Com — Berulangnya pembakaran Al-Qur’an merupakan suatu tanda bahwa umat Islam ini sedang lemah sehingga penodaan itu kembali terjadi. Tidak adanya sanksi dan hukuman yang tegas kepada para pelaku, membuat orang-orang yang membenci Islam tidak memiliki rasa takut kepada Islam.
Akan tetapi, di sisi lain, peristiwa ini bisa menjadi pemicu untuk bersatunya umat Islam dan memiliki institusi politik Islam serta memiliki pemimpin yang satu agar mampu melindungi muruah Al-Qur’an dan seluruh umat Islam.
Tidak Jera
Di saat umat Islam seluruh dunia sedang berbahagia dengan Hari Raya Iduladha pada Rabu, 28 Juni 2023, di saat itu pula Al-Qur’an dilecehkan dengan dibakar di depan Masjid Stockholm, Swedia oleh Salwan Momika dan dijaga oleh aparat. Dilansir dari bbc.com, pembakaran Al-Qur’an ini konon sudah mendapatkan izin dari pengadilan setempat yang berarti bahwa negara melegalkan dan membolehkan pembakaran Al-Qur’an dengan alasan kebebasan berpendapat.
Sebelumnya, kasus pembakaran Al-Qur’an juga terjadi di Swedia yang dilakukan oleh seorang politisi sayap kanan, Rasmus Paludan pada akhir Januari 2023 dan sudah mendapat izin juga dari kepolisian setempat. Bahkan sudah berkali-kali ia melakukan penodaan tersebut. Rasmus Paludan melakukan pembakaran Al-Qur’an lantaran dibayar oleh wartawan Swedia, Chang Frick yang berafiliasi dengan saluran berita Kremlin Russia Today (RT) (CNBCIndonesia.com, 28-01-2023).
Mengapa Al-Qur’an terus-menerus dinodai dan dibakar? Padahal Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, agama dengan penganut 1,8 miliar jiwa di dunia sebagaimana dilansir dari viva.co.id.
Tidak adanya rasa takut kepada umat Islam dan tidak adanya sanksi yang tegas bagi para pelaku membuat penodaan terus terjadi. Ucapan kutukan, sumpah serapah, kecaman, atau aksi protes yang dilayangkan seolah dianggap angin lalu. Bahkan pemimpin negeri dengan penganut umat Islam terbanyak pun tak mampu berbuat apa-apa.
Seandainya diberikan hukuman dan sanksi internasional, tentu hal semacam ini tidak akan terjadi lagi. Misalnya menghentikan ekspor dan mencabut duta untuk negara Swedia. Tentu hal ini akan membuat negara tersebut berpikir ulang untuk membiarkan warganya menghina atau menodai agama lain ataupun membakar kitab suci.
Meski Banyak, tetapi Umat Islam Lemah
Tidak dimungkiri bahwa saat ini posisi umat Islam memang lemah di mata dunia. Terutama dalam hal kekuatan dan politik. Tidak ada satu pemimpin pun yang mampu melindungi agama, bahkan ketika Al-Qur’an dibakar, Nabi saw. dilecehkan, atau ketika umat Islam di belahan dunia lain diintimidasi, dibantai, bahkan dibunuh tanpa alasan yang jelas, seperti yang terjadi di Uighur (Cina), India, Myanmar, dan lain-lain, melainkan hanya sekadar ucapan kecaman dan mengutuk aksi tersebut.
Padahal itu tidak cukup untuk menyelamatkan jiwa dan nyawa umat Islam dan tidak bisa menjaga muruah Islam. Namun, itulah yang terjadi. Meski jumlah umat Islam sangat banyak di dunia, tetapi tidak memiliki kekuatan. Bagaikan buih di lautan. Hal ini tentu karena umat memang tidak punya institusi politik dan pemimpin yang satu.
Ketika Umat Punya Satu Pemimpin
Dalam Islam, ketika umat punya satu pemimpin dan punya institusi politik yang satu, umat tentu bersatu dan memiliki kekuatan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid, Khalifah Kesultanan Turki Utsmaniyah. Hanya dengan mengancam akan melancarkan jihad kepada Inggris dan Prancis lantaran akan membuat pertunjukan teater yang menghina Nabi saw., akhirnya teater itu dihentikan.
Inggris dan Prancis tahu persis kekuatan jihad kaum muslim dan itu bukan sekadar retorika atau kecaman semata. Itulah kekuatan efektif yang dimiliki oleh umat Islam ketika memiliki institusi politik yakni Khil4fah dan saat ini institusi itu tidak ada
Sudah saatnya umat Islam ini bangkit, bersatu, dan memiliki institusi dan pemimpin yang satu di bawah naungan syariat-Nya dengan sistem Khil4f4h. [] [CM/NA]