Oleh. Bunda Emma
(Komunitas Penulis Tinta Pelopor)
CemerlangMedia.Com — Tak lama lagi era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir, tetapi hingga saat ini masih ada sekitar 58 proyek strategis nasional (PSN) yang belum di mulai pembangunannya. Padahal targetnya seluruh PSN harus sudah selesai pada 2024. Hal ini di sampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo yang mengonfirmasi apa yang menjadi temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang telah melaporkan kepada Jokowi bahwa benar terdapat 58 PSN di masa pemerintahannya belum dimulai pembangunannya. Padahal ditargetkan seluruh PSN pada 2024 harus selesai (cnbcindonesia.com, 13-7-2023).
58 PSN yang belum dibangun diantaranya adalah ruas-ruas tol yang menjadi bagian dari Tol Trans Sumatera, Kereta Api semi cepat Jakarta- Surabaya, Pelabuhan New Ambon, Tol Getaci, MRT East-West rute Cikarang-Balaraja, dan Tol Bocimi yang mau diteruskan sampai Sukabumi. Sedangkan nilai investasi infrastruktur yang belum dibangun mencapai Rp420 triliun. Namun, proyek- proyek tersebut dipastikan tidak memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat (cnbcindonesia.com, 13-7-2023).
Lemahnya Perencanaan Negara
Selain perhitungan waktu dalam proyek pembangunan strategis yang seharusnya direncanakan secara matang, mestinya juga dipertimbangkan kemanfaatan dari proyek tersebut bagi masyarakat luas.
Ukuran keberhasilan dari proyek PSN bukan sekadar rampung atau tidaknya proyek tersebut sesuai target waktu, melainkan dampak pengganda (multiplier) yang dihasilkan proyek itu dalam jangka menengah-panjang. Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Kepala LPEM FBUI Khoirunnurrofik. Lebih penting lagi ketika PSN tersebut bisa dimanfaatkan dengan optimal. Ia menambahkan bahwa hal itu menjadi pekerjaan rumah bersama, termasuk masyarakat agar setelah PSN selesai, kehadirannya sesuai dengan ekspektasi, ungkap Khoirunnurrofik (kompas.com, 9-52023).
Sehingga dari sini, kajian dari pemerintah haruslah benar-benar matang sejak awal agar pembangunan suatu PSN tidak sia-sia akibat pembangunan infrastruktur yang tidak ditopang dengan pengembangan ekosistem di wilayah terkait. Ironisnya, meski proyek-proyek tersebut dimasukkan dalam kategori Proyek Strategis Nasional dan mengeluarkan biaya yang besar, tetapi masih menyisakan kekhawatiran akan tidak dapat memberikan manfaat yang optimalnya kepada masyarakat.
Oleh karena itulah, negara seharusnya memastikan sejak perencanaan pembangunannya bahwa orientasi pembangunan tersebut tercapai yakni untuk meningkatkan kesejahteraan.
Proyek Strategis untuk Siapa?
Meski telah dilengkapi dengan komitmen kuat serta regulasi pendukung, banyaknya proyek mangkrak haruslah menjadi catatan penting bagi pemangku kebijakan. Agenda wajib yang patut segera dieksekusi adalah evaluasi. Pemerintah menyadari bahwa tidak semua PSN mampun diselesaikan tepat waktu. Hal ini disebabkan karena anggaran negara yang terbatas, sedangkan investor pun masih memantau perkembangan dinamika ekonomi terkini sebelum membenamkan modalnya. Apalagi, Indonesia akan menghadapi transisi kepemimpinan. Hal tersebut diungkapkan oleh Teuku Rieky Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira memandang utak-atik insentif tidak lantas efektif memacu investasi pada proyek strategis, mengingat ekonomi masih dihadapkan pada ketidakpastian tahun depan. Beliau menambahkan satu-satunya siasat yang bisa dilakukan adalah memberikan internal rate of return (IRR) pada kisaran 11%-15% sehingga menguatkan daya tarik investasi. Hitungan dari proyek yang ditawarkan swasta harus menarik, serta ditanya ingin investor insentif apa (datacenter.ortax.org, 15-6-2023).
Pembangunan berbasis investor sejatinya hanya akan menjauhkan dari tujuan utamanya untuk menyejahterakan rakyat. Sebaliknya justru akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya sesuai keinginan investor.
Rencana Pembangunan dalam Islam
Islam memiliki politik ekonomi yang unggul yang menjadikan pembangunan untuk kepentingan rakyat sehingga perencanaan dilakukan dengan matang dan realistis, bukan asal-asalan. Diawali dengan kejelasan orientasi pembangunan, maka pembangunan infrastruktur dibuat untuk memudahakan kegiatan masyarakat, meringankan aktivitas kerja, dan memperlancar distribusi pemenuhan kebutuhan rakyat. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah melakukan hal ini dengan cara menyediakan pos khusus untuk mendanai infrastruktur khususnya jalan dan semua hal yang berkaitan dengan sarana dan prasarana jalan.
Sistem Islam juga mengatur perencanaan hingga pembangunan infrastruktur yang akan dirancang sematang mungkin agar tidak ada infrastuktur yang mubazir, sebab mubazir atau boros adalah hal yang dibenci Allah Swt. sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 26 yang artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.”
Negara bertanggung jawab dalam pembiayaan dan memiliki sumber dana yang cukup untuk menjamin keberlangsungan pembangunan tanpa utang. Infrastruktur menjadi suatu hal yang penting dalam membangun dan meratakan ekonomi sebuah negara demi kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, negara wajib membangun infrastruktur yang layak, baik, bagus, dan merata hingga ke pelosok negeri. Hal ini berdasarkan kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib. (Suatu kewajiban yang tidak bisa terlaksana dengan baik karena sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib).”
Negara bisa membangun infrastruktur dengan dana baitulmal tanpa memungut dana sedikitpun dari masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin.
Kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara ditambah lagi kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Hal ini semua terbukti pada zaman Khulafaur Rasyidin mulai dari Umayyah, Abbasiyyah, hingga Utsmaniyyah. Sebagai contoh, proyek pembangunan rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam, hingga Istanbul.
Selama 13 abad penerapan sistem Islam telah memberikan contoh terbaik sepanjang sejarah. Mampu menorehkan kecemerlangan di semua bidang, termasuk dalam hal infrastruktur. Pada masa akhir Kekhalifahan Utsmani, dunia Islam berupaya dipersatukan dengan jalur kereta api Hijaz. Sultan Abdul Hamid II memerintahkan untuk membangun jalur kereta api Hijaz untuk memudahkan jemaah haji saat menuju Makkah. Sebelumnya, jemaah haji melakukan perjalanan dengan menunggangi unta selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Pada masa akhir Kekhalifahan Utsmani, dunia Islam berupaya dipersatukan dengan jalur kereta api Hijaz.
Demikianlah era keemasan kekhalifahan, pembangunan infrastruktur dengan perencanaan yang matang maju pesat dan kukuh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Wallahu a’lam bisshawab [CM/NA]