Oleh. Diyani Aqorib
(Aktivis Muslimah Bekasi)
CemerlangMedia.Com — Bekasi sebagai kota metropolitan, kini menjadi satu-satunya kota admistrasi di Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) Pesantren. Perda Nomor 5 Tahun 2022 yang telah disahkan pada Kamis (16/3) tersebut mengatur fasilitas penyelenggaraan pesantren. Menurut anggota DPRD Kota Bekasi, Ahmad Ustuchri bahwa melalui perda ini nantinya pesantren-pesantren yang ada di Kota Bekasi akan mendapatkan kucuran dana dari APBD Perubahan 2023. Terutama bagi pesantren yang sudah terdaftar di Kementrian Agama (Kemenag). (detik.com, 22/3/2023)
Perda ini sendiri merupakan turunan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 yang mengatur fungsi pemberdayaan ekonomi pesantren. Sehingga dapat mendorong pesantren sebagai agent of development dan memajukan UMKM masyarakat di sekitarnya. Diharapkan nantinya keberadaan pesantren akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar. (republika.co.id, 25/3/2023)
Dengan adanya Perda Pesantren ini dikhawatirkan terjadi pergeseran fungsi pesantren itu sendiri. Mengingat pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang selama ini difungsikan sebagai wadah untuk mencetak generasi muda yang paham agama dan memiliki kepribadian Islam. Terutama untuk menghasilkan orang-orang yang berakidah kuat dan ulama-ulama yang taat syariat. Tapi, ketika Perda ini menitikberatkan fungsi pesantren sebagai wadah untuk menyejahterakan masyarakat secara ekonomi, maka sejatinya terjadi pergeseran dari yang bertujuan Islami menuju materi.
Padahal potensi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa seharusnya diarahkan untuk membangkitkan umat dari keterpurukan dalam segala bidang. Merekalah yang diharapkan dapat membawa masyarakat ke jalan yang diridai Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu taat kepada syariat-Nya. Dengan kata lain, Perda Pesantren ini sejatinya dapat melemahkan pesantren dalam mencetak generasi Rabbani, dan melalaikan umat untuk kembali kepada syariat Islam.
Kesejahteraan Rakyat Tanggung Jawab Negara
Negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan rakyatnya. Terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata lain, pesantren tidak memiliki kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat sekitar khususnya secara ekonomi. Apabila hal tersebut dilakukan, maka artinya terjadi pengambilalihan tanggung jawab dari negara ke pesantren. Jelas ini adalah kelalaian yang fatal.
Sebagaimana diketahui, pemerintahan dalam kapitalisme selalu mengedepankan unsur materi. Segala sesuatu dilihat dari segi untung rugi, termasuk dalam bidang pendidikan. Apalagi di saat sekarang ketika kondisi pergaulan remaja yang semakin mengkhawatirkan, maka pesantren menjadi pilihan primadona para orang tua untuk membentengi anak-anaknya dari hal tersebut. Kaum kapitalis melihat ini sebagai peluang untuk meraup keuntungan dengan menjalankan bisnis di pesantren-pesantren. Atas nama kesejahteraan masyarakat, mereka memutarbalikkan kurikulum yang berkaitan dengan Islam menjadi ekonomi yang dominan. Akhirnya fungsi pesantren yang semula sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pencetak ulama, bergeser menjadi lembaga pendidikan yang profit oriented, dan tentunya disesuaikan dengan kebijakan yang berlaku saat ini.
Artinya Perda Pesantren ini harus dikoreksi total. Sehingga tidak mengaburkan antara fungsi pesantren dan kewajiban negara. Tidak hanya itu, kelalaian negara dalam mengurusi urusan rakyatnya, terutama bidang ekonomi harus diselesaikan akar permasalahannya. Karena jika kapitalisme masih menjadi landasan bernegara, maka kesejahteraan rakyat hanyalah ilusi belaka. Sehingga harus ada sistem yang menggantikannya, yaitu sistem Islam kafah.
Pandangan Islam
Dalam Islam tidak ada dikotomi antara pendidikan berbasis agama dengan pendidikan umum. Karena dalam sistem pendidikan Islam dilandaskan pada akidah Islam. Dengan begitu, generasi muda yang dihasilkan dapat menguasai ilmu pengetahuan sekaligus ahli agama dalam waktu yang bersamaan. Hal ini jauh berbeda dengan kapitalisme yang dilandasi akidah sekularisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga terjadi pemisahan antara sekolah umum dengan sekolah agama.
Sejarah membuktikan ketika aturan Islam diterapkan di segala bidang, termasuk dalam sistem pendidikan, banyak lahir ilmuwan-ilmuwan yang mumpuni di bidangnya, sekaligus ahli di bidang agama. Seperti Ibnu Sina, kitab kedokteran yang pernah beliau tulis sampai hari ini dipakai di universitas-universitas di Eropa. Tak ketinggalan Al-Khawarizmi, sang ahli matematika yang masyhur. Kondisi ini bukanlah hal yang mustahil terjadi, jika diterapkannya sistem Islam kafah. Sebab fungsi lembaga pendidikan, memang benar-benar difokuskan untuk mencetak para ilmuwan yang berakhlak mulia dan paham agama. Jadi lembaga tersebut tidak disibukkan dengan hal-hal yang menjadi tanggung jawab negara.
Untuk masalah kesejahteraan rakyat, maka seorang pemimpin dalam sistem Islam yaitu khalifah bertanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya. Khalifah wajib memudahkan rakyatnya dalam mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Juga memperhatikan kebutuhan pokok mereka, seperti sandang, pangan, dan papan. Jadi tidak ada pengalihan tanggung jawab dari khalifah kepada lembaga tertentu. Karena hal itu merupakan kezaliman, dan kemaksiatan di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw. yang mengatakan, “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).
Inilah pandangan Islam dalam menyikapi masalah pendidikan dan kesejahteraan rakyat. Semua diatur sesuai syariat Islam yang agung, dan penuh dengan keadilan. Hal ini berlaku untuk semua warga negara negara, baik muslim mau pun nonmuslim. Di mana hal tersebut hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam kafah, yaitu sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwah. Wallahu’alam. [CM/NA]