Oleh. Suyatminingsih, S.Sos.I.
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Setiap tahun, pada 23 Juli diperingati Hari Anak Nasional sebagai refleksi untuk menghargai hak setiap anak. Apakah benar demikian?
Jika kita bicara tentang hak, maka kita pasti akan bicara tentang suatu peran, yakni peran orang tua, peran masyarakat bahkan peran negara. Maka akan tampak apakah hak anak telah terpenuhi, terabaikan, atau bahkan tidak terpenuhi dengan baik dan benar. Sekiranya kita telusuri jejak digital, banyak hak anak Indonesia belum bahkan tidak terpenuhi secara baik dan benar.
Banyaknya tindak kekerasan fisik (penganiayaan, tawuran), kekerasan seksual, mental (bullying), masalah stunting hingga pemenuhan hak terkait mendapatkan pendidikan serta kesehatan yang layak masih menjadi masalah yang belum atau bahkan belum bisa ditangani oleh negara secara signifikan. Lalu, apakah refleksi yang demikian layak diperingati setiap tahun sebagai hari besar dengan selebrasi yang beragam? Bahkan beberapa kota (daerah) di Indonesia mendapat penghargaan sebagai kota layak anak, meskipun notabenenya setiap daerah di Indonesia menggendong masalah yang serius terhadap perkembangan hingga pertumbuhan anak sebagai generasi bangsa.
Tahun ini, Kementrian Pemberdayaan Anak dan Perempuan (KPPA) terkait Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) mengangkat tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, maknanya adalah mengingatkan semua orang agar hak anak dapat terpenuhi dengan baik, sebab sejak dalam kandungan mereka telah menghadapi berbagai ancaman stunting misalnya, dan jika sudah lahir mereka pun masih menghadapi berbagai ancaman kehidupan seperti kekerasan, perkawinan anak, anak berhadapan hukum, dan lain sebagainya (www.antarafoto.com, 23-7-2023).
Menteri Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa terdapat sejumlah penghargaan Kota Layak Anak (2023) yang meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya komitmen pemimpin daerah dan pemangku kepentingan lain untuk memastikan terwujudnya pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak yakni dengan menciptakan wilayah aman anak. Beberapa kota tersebut antara lain Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Denpasar, Probolinggo, Semarang, Madiun, dengan beberapa kabupaten dan provinsi di Indonesia (www.antaranews.com, 23-7-2023).
Dari sekian deretan acara atau selebrasi yang telah dilaksanakan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sekilas seperti mengukir harapan untuk rakyat Indonesia terkait kelayakan hidup atau kesejahteraan hidup anak Indonesia. Akan tetapi, apakah benar hal semacam itu patut ditorehkan? Harapan-harapan yang rakyat sendiri tidak tahu akankah terealisasi atau hanya sekadar menu utopisme.
Realitas Anak di Indonesia
Anak adalah generasi penerus peradaban kehidupan manusia. Oleh karena itu, hak anak harus benar-benar terpenuhi secara baik agar mampu menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik. Mereka juga sudah semestinya mendapat perlindungan serta penjagaan yang cukup agar mampu tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang cemerlang.
Menurut UU Nomor 35 tahun 2004 pasal 1 ayat 1 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (ombudsmanRI.go.id, 13-2-2023). Selain itu, Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan sistem kapitalis dan merupakan negara padat penduduk dengan hasil proyeksi interim 2020—2023 menunjukkan bahwa jumlah anak (usia 0—17 tahun) di Indonesia pada 2021 sebanyak 79.486.424 jiwa atau sekitar 29,15% dari jumlah penduduk total (www.kemenppa.go.id/2022).
Akan tetapi, berdasarkan data yang dipaparkan oleh Nahar (Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA) bahwa pada 2019 jumlah kasus kekerasan terhadap anak tercatat 11.057 kasus, pada 2020 meningkat 221 kasus menjadi 14.517 kasus, kenaikan signifikan terjadi pada 2022 mencapai 16.106 kasus (www.republika.com, 28-1-2023). Ini masih dari segi jumlah kasus yang terlapor, belum pada kasus yang tidak terlapor karena faktor SDM kerap merasa malu menganggap suatu kasus kekerasan yang menimpa anak adalah ‘aib’ atau jika melapor maka mereka akan tersandung dengan birokrasi negara yang mengaitkan pembiayaan dalam penanganan kasus tindak kekerasan.
Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) bahwa pada 2019 sebanyak 12.285 anak menjadi korban kekerasan. Angka ini mengalami peningkatan pada 2020 menjadi 12.425 anak, dan pada 2022 meningkat secara signifikan menjadi 15.972 anak (ombudsmanRI.go.id, 13-2-2023). Pada 2023 fokus pada peningkatan kekerasan yang terjadi pada anak untuk bisa diturunkan atau diputus rantai kekerasan terhadap anak. Akan tetapi, faktanya pada 2023 pun masih muncul tindak kekerasan terhadap anak. Menurut KemenPPPA terdapat 9.645 kasus kekerasan hingga tindak kriminalitas terhadap anak yang terjadi sepanjang bulan Januari sampai 28 Mei 2023 (www.metrotvnews.com, 4-6-2023).
Dari sekian paparan fakta di atas, timbul pertanyaan terkait makna memperingati Hari Anak Nasional sebagai refleksi pemenuhan hak anak Indonesia. Pemenuhan hak sejenis apa yang telah diberikan oleh negara kepada anak sedangkan tindak kekerasan baik fisik maupun mental hingga pembunuhan dialami oleh anak-anak Indonesia yang notabenenya sebagai subyek harapan negara demi mewujudkan cita-cita bangsa.
Selain tindak kekerasan pada anak terdapat masalah lain seperti tingginya angka stunting, di mana 18 provinsi masih di atas angka nasional 21,6%, enam provinsi di antaranya di atas 30%. Belum lagi masalah terkait pendidikan yang karut marut dan layanan kesehatan anak yang belum ter-cover dengan baik, ditambahi tersajinya berbagai konten negatif di dunia maya yang bisa memengaruhi kualitas generasi bangsa (muslimahnews.com, 24-7-2023).
Hal ini merupakan bukti jelas bahwa adanya peningkatan tindak kekerasan yang terjadi dan munculnya berbagai permasalahan yang dialami oleh anak-anak Indonesia lebih disebabkan karena penanganan atau tidak maksimalnya peran negara dalam memberi pelayanan serta membuat kebijakan yang tumpang tindih.
Memenuhi Hak dan Mewujudkan Kesejahteraan Anak dengan Islam
Islam memandang anak sebagai amanah dari Allah Swt. yang dititipkan kepada setiap orang tua sehingga dia harus dijaga dan dirawat dengan baik agar mampu menjadi pribadi yang tumbuh dan berkembang, baik secara jasmani maupun rohani. Sedangkan Islam adalah agama rahmatan lil ’alamiin, yaitu agama yang mampu mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan keseimbangan hidup. Selain itu, Islam juga merupakan agama yang mengatur proses berjalannya kehidupan sesuai bagaimana Allah Swt. mengaturnya dan hal ini telah dibuktikan oleh umat Islam dalam sejarah panjang pada masa kekhilafahan.
Dalam sistem Islam, negara menjadi pihak yang bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan rakyat, mulai dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan hingga terkait pemenuhan kebutuhan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan demikian, hanya dengan menjadikan sistem Islam sebagai ideologi negara yang mampu menanggulangi segala permasalahan yang terjadi saat ini. Termasuk memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan anak. Wallahua’lam bisshawwab [CM/NA]
One thought on “Peringatan Hari Anak Nasional, Hanya Selebrasi Tanpa Signifikansi Real”
Setiap tahun diperingati dengan biaya tidak sedikit tapi hasilnya tidak ada.