Oleh. Tari Handrianingsih
(Aktivis Muslimah Kota Yogyakarta)
CemerlangMedia.Com — Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menggelar Ijtima Ulama pada November 2021 menghasilkan salah satu keputusan yang menetapkan fatwa aktivitas pinjaman online haram karena ada unsur riba, mengandung ancaman, dan membuka aib orang yang berutang kepada teman-teman orang tersebut jika gagal bayar.
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 275, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Tren Data Meningkat
Namun demikian, pertumbuhan pembiayaan melalui fintech P2P (peer to peer) lending pada Mei 2023 sebesar Rp51,46 triliun adalah 28,11 persen year-on-year (YoY). Dan sebanyak 38,39 persen penyaluran kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Pelaku usaha perseorangan sebesar Rp15,63 triliun dan badan usaha senilai Rp4,13 triliun.
Harapan Tidak Sesuai Kenyataan
Pertumbuhan pembiayaan pinjaman online menunjukkan tingginya kebutuhan masyarakat dan pelaku UMKM akan akses keuangan yang mudah dan cepat dibandingkan melalui lembaga keuangan lainnya. Masalahnya, apakah akses keuangan tersebut benar-benar digunakan untuk hal yang bersifat urgen dan kebutuhan mendasar bagi masyarakat, atau perputaran modal usaha bagi pelaku UMKM?
Meskipun OJK juga telah memberikan edukasi secara terus-menerus kepada masyarakat melalui berbagai instrumen komunikasi untuk memanfaatkan pinjaman online ini secara bijak seperti untuk kebutuhan yang produktif dan bukan untuk kepentingan konsumtif (kabarbisnis.com, 10-07-2023).
Porsi Peminjam
Dari data yang dilansir dari salah satu sumber, menampakkan bahwa pulau Jawa memiliki porsi peminjam terbesar dibandingkan pulau-pulau lain. Pulau Jawa di mana terdapat lebih banyak kota besar dibandingkan luar Jawa, lebih padat jumlah penduduk dan tentunya akses informasi juga lebih dulu dan cepat masuk yang mengakibatkan gaya hidup hedonis dan konsumtif pada masyarakat tak dapat dielakkan sebagai rangkaian dampak sistem ekonomi kapitalis yang berlangsung. Oleh karenanya, masyarakat terbentuk menjadi masyarakat dengan budaya berutang demi memenuhi keinginan bukan kebutuhan. Makin tinggi kepadatan penduduk maka makin tinggi kebutuhan keuangan karena setiap individu memiliki kebutuhan masing-masing.
Pernyataan Kontradiktif dengan Realita
Menilik beberapa pendapat terkait pinjol memiliki dampak positif dan justru akan dipermudah pemberian izinnya. Jika pinjol hanya semata dipandang secara manfaat karena cepat menyelesaikan masalah keuangan, itu suatu pandangan yang sangat pragmatis, tanpa berpikir jauh dampak sesudahnya bagi masyarakat luas.
Dampak Buruk Pinjol
Setelah masyarakat dengan literasi keuangan rendah mendapat pencairan dana utang dengan sistem ribawi (bunga) tinggi tanpa aturan syariat yang mengendalikan (melarang), maka dapat dipastikan mulai timbul masalah pembayaran. Pihak pemberi utang (pinjol) tidak mau tahu dengan kondisi apa pun peminjamnya. Mengakibatkan penagihan pembayaran dilakukan pihak pinjol dengan berbagai cara yang tidak mempertimbangkan unsur kemanusiaan.
Mengutip situs web resmi LBH Jakarta, Rabu (7-11-2018), kasus pinjol sudah meluas sejak Juni 2018. Di antaranya adalah cara pinjaman online melakukan penagihan kepada nasabah yang dilakukan secara tidak pantas. Dari sumber LBH, sekitar 283 korban pinjol telah mengadukan berbagai bentuk pelanggaran hukum.
Berbagai bentuk cara penagihan yang dilakukan oleh perusahaan penyelenggara pinjaman online antara lain berupa penagihan dengan memaki, mempermalukan, memfitnah, bahkan pelecehan seksual, penagihan kepada seluruh nomor kontak di ponsel peminjam, pemberlakuan bunga yang sangat tinggi dan tak terbatas, penagihan sebelum waktu jatuh tempo dan tak kenal waktu dan lain-lain. Yang semuanya jelas menjadi tekanan berat bagi masyarakat yang menjadi konsumen pinjol ini.
Meskipun sudah dibuat surat keputusan, perjanjian bahkan kesepakatan bersama antara Kapolri, Kementerian Kominfo, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Koperasi dan UKM, tetapi tetap saja ada potensi praktik-praktik pinjaman online dengan cara-cara penagihan yang tak ada aturan. Dan tentunya merugikan masyarakat secara morel selain materiel.
Kembali kepada prinsip -selama regulasi keuangan di negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-, keberadaan lembaga penyelenggara pinjaman online tetap akan tumbuh subur. Oleh karena itu, praktik-praktik penagihan yang merugikan tersebut hanya bisa dihilangkan dengan melarang pendirian lembaga penyelenggara pinjaman online tersebut, bahkan ditegakkannya sanksi jika ada pelanggaran tetap ada yang beroperasi, bukan sekadar mengatur perizinannya semata.
Penyebab Makin Marak
Menjamurnya pinjol baik legal ataupun ilegal disebabkan karena faktor-faktor sebagai berikut, sistem regulasi fintech yang lemah, masyarakat kesulitan dalam mengakses keuangan dari lembaga formal seperti bank atau lembaga keuangan resmi lain untuk memenuhi kebutuhan riil, dan rendahnya literasi keuangan menyebabkan individu maupun rumah tangga mengambil pinjaman meskipun berbiaya lebih tinggi. Akibatnya pinjol menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan utang rumah tangga di Indonesia. Sebagaimana data CEIC utang rumah tangga Indonesia sekitar Rp1,6 juta (US$113.3) pada Agustus 2021 dari yang terendah pada awal 2020 sebesar US$5,7.
Sebenarnya jika sektor rumah tangga, dalam hal ini seluruh anggota keluarga maupun sektor usaha seperti UMKM dapat dipahamkan mengenai bahaya riba di dalam aplikasi pinjaman online, tentu mereka tidak akan berani mengambilnya. Perlu adanya kerjasama antar institusi dalam negara, baik kominfo yang berwenang memblokir aplikasi yang berpotensi membahayakan masyarakat, ataupun edukasi dari institusi keuangan tentang perhitungan bunga yang tidak masuk akal dari pinjol yang pada titik tertentu tetap tidak akan bisa membayar.
Khatimah
Dengan demikian perlu peran negara mengantisipasi timbulnya institusi pinjaman online, diantaranya:
Pertama, mengamankan/memblokir akses aplikasi pinjaman online yang dapat menyebabkan masyarakat terjerat.
Kedua, memberikan edukasi (pendidikan keuangan) terkait utang riba kepada masyarakat agar jangan sekalipun mencoba karena secara hitungan matematis manusia pun sangat merugikan.
Ketiga, memberikan pendidikan akidah kepada seluruh lapisan masyarakat dengan berbagai profesi (baik IRT atau pelaku usaha/umkm) terkait pedihnya siksa neraka jika ada keinginan mencoba mengambil utang riba. Penanaman kepada tiap individu konsekuensinya jika melanggar syariat Allah.
Keempat, menutup semua lembaga pinjaman online, menggalakkan sosialisasi tentang bisnis berbasis syirkah.
Negara dengan sistem penegakan syariat Allah sebagai landasan menjalankan kekuasaan tentu tidak akan menjadi wasilah penderitaan rakyatnya dengan membiarkan institusi pinjol bebas beroperasi. Wallaahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]