Oleh: Mila Ummu Al
CemerlangMedia.Com — Dunia pendidikan Indonesia diwarnai gelombang protes mahasiswa imbas kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) di sejumlah PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Polemik kenaikan UKT untuk golongan tertentu sempat ramai di beberapa kampus, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatera Utara (USU), dan masih banyak lagi.
Dilansir dari Kompas.com (12-5-2024), berdasarkan keputusan rektor, biaya UKT tertinggi di UI sebesar Rp20 juta untuk Prodi Pendidikan Dokter, Kedokteran Gigi, Ilmu Keperawatan, dan Farmasi. Selain itu, uang pangkal (IPI/Iuran Pengembangan Institusi) terbesar di UI mencapai Rp161 juta untuk mahasiswa sarjana dan vokasi jalur seleksi mandiri Pendidikan Kedokteran, padahal pada ajaran 2023/2024, angka IPI terbesar mencapai Rp40 juta pada Fakultas Ilmu Komputer.
Menanggapi fakta di atas, publik mulai menyoroti kenaikan biaya operasional kuliah di UI yang dinilai makin membebani mahasiswa. Kenaikan biaya kuliah di pendidikan tinggi negeri dinilai bertentangan dengan konstitusi Indonesia, yakni salah satu amanatnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bukankah untuk mewujudkan amanat negara yang tertuang dalam UUD tersebut harus melalui program pendidikan berkualitas yang berbiaya murah? Bukan malah sebaliknya, generasi bangsa dibebani dengan aneka biaya UKT, menarik biaya uang pangkal masuk, uang bangunan, dan semacamnya yang jelas-jelas akan memberatkan masyarakat.
PTN yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru dinilai membebani rakyat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius menjalankan amanat konstitusi, yakni memberikan akses pendidikan kepada seluruh masyarakat.
Realitasnya, pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang sanggup untuk membayar mahalnya biaya pendidikan saja, padahal dampak dari kenaikan UKT begitu sangat memberatkan masyarakat. Bahkan, banyak anak-anak yang terpaksa tidak bisa melanjutkan kuliah/pendidikan akibat kemiskinan.
Parahnya lagi, biaya UKT yang mahal ternyata tidak menjamin kualitas pendidikan yang bermutu. Banyak sekali ditemukan fasilitas pendidikan di PTN yang jauh dari kata layak, misalnya ruang kelas yang sudah tua, fasilitas laboratorium yang tidak memadai, bahkan ada yang tidak mempunyai ruang kelas untuk belajar.
Bukan Hal Baru
Kenaikan biaya UKT bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Polemik ini sudah terjadi kesekian kalinya di berbagai kampus penjuru negeri akibat adanya kapitalisasi pendidikan.
Berdasarkan survei terhadap 722 mahasiswa angkatan 2023, sebanyak 70,7% merasa terbebani dengan UKT yang mahal, dan 52,1% mengajukan peninjauan kembali UKT. Bahkan, agar tetap kuliah, 93 mahasiswa berusaha mencari beasiswa, 65 mahasiswa mencari pinjaman, dan 34 mahasiswa terpaksa menggadaikan atau menjual barang berharganya (Tempo, 2-5-2024).
Inilah salah satu imbas dari sistem sekuler demokrasi yang diterapkan hari ini. Melalui sistem kapitalistik ini, fungsi negara mandul sebagai pelayan rakyat. Negara yang seharusnya berperan mengelola SDA, justru menyerahkannya pada swasta dan kapitalis asing.
Pada saat yang sama, negara hanya menjadi mesin pembuat regulasi untuk memuluskan kepentingan para kapitalis. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pendidikan masyarakat, justru berlepas tangan dengan menjadikannya komoditas ekonomi yang dikomersialkan.
Sejak pemerintah mengeluarkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, maka semua perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah ditetapkan sebagai PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum). Perubahan status ini ternyata melahirkan konsekuensi baru, yakni PTN tidak lagi mendapatkan biaya pendidikan secara penuh dari pemerintah, tetapi harus mencari pembiayaan secara mandiri untuk operasional kampus.
Sejak saat itu, pihak korporasi masuk untuk melakukan investasi di PTN. PTN yang bekerja sama dengan korporasi biasanya mempunyai usaha, seperti mal, restoran, penyewaan gedung, SPBU, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, agar biaya kuliah tercukupi, pihak PTN akan menaikkan biaya operasional kuliah bagi mahasiswa. Ini seolah menunjukkan bahwa kenaikan biaya UKT merupakan konsekuensi dari perubahan status PTN-BH.
Pendidikan dalam Islam
Sejatinya, masalah mahalnya biaya pendidikan bersifat sistemis, yakni akibat diterapkannya sistem politik, ekonomi, dan pendidikan yang sekuler kapitalistik. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini diperlukan solusi yang mengakar dan menyeluruh.
Harus ada upaya dari sekelompok umat untuk bersama-sama bangkit dan menghapus akar masalahnya, yakni mencampakkan sistem kufur ini. Lalu menghadirkan sistem alternatif sebagai sistem pengganti, yakni sistem Islam yang diturunkan Allah Swt. untuk mengatur segala urusan manusia di dunia.
Dengan menerapkan syariat Islam secara kafah, maka peran negara sebagai pelayan rakyat dapat terealisasi, termasuk pemenuhan kebutuhan pokok umat, seperti pendidikan dan kesehatan akan ditanggung oleh negara. Hal ini dapat terwujud melalui penerapan sistem ekonomi Islam.
Salah satu keunggulan sistem ekonomi Islam adalah terbebas dari inflasi karena menggunakan mata uang emas dan perak. Pemasukan negaranya berasal dari berbagai sektor, seperti fai, ganimah, jizya, kharaj, dan hasil pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara. Tidak seperti sistem kapitalisme yang bersumber dari utang ribawi dan pajak.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan mendapatkan pemasukan besar dan tidak perlu menarik biaya pendidikan dari rakyat. Negara Islam juga melarang korporasi mengambil alih peran negara dalam dunia pendidikan. Sebab, negara memang bertugas sebagai pelayan rakyat sehingga wajib mengoptimalkan pembiayaan agar kegiatan pendidikan dapat berjalan dan dinikmati oleh seluruh rakyat. Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]