Oleh: Nur Sila
(Pegiat Literasi)
CemerlagMedia.Com — Tanggung jawab pemerintah dalam menangani persoalan yang menyangkut kebutuhan pokok rakyat, salah satunya persoalan krisis air patut dipertanyakan. Pasalnya, ketika rakyat menghadapi musim kemarau hingga mengalami krisis air bersih, pemerintah justru menambah beban dengan mewajibkan adanya izin, jika ingin menggunakan air tanah. Padahal air bagian dari kebutuhan utama rakyat.
Dilansir dari Viva.co.id (13-11-2023), Kementerian ESDM telah mengatur perizinan penggunaan air tanah untuk menjamin ketersediaan cadangan air tanah yang berkelanjutan dan mencegah terjadinya dampak lingkungan, seperti penurunan muka tanah (land subsidence). Plt Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Muhammad Wafid menjelaskan kebijakan itu ditujukan bagi penggunaan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari di atas pemakaian 100 meter kubik per keluarga per bulan, baik oleh perorangan maupun kelompok.
Negara Lepas Tanggung Jawab
Pengamat planologi dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga pun mempertanyakan kesiapan pemerintah atas regulasi tersebut. Ia mempertanyakan bagaimana kementerian ESDM melakukan pengawasan penggunaan air tanah. Juga solusi pemerintah, jika masyarakat beralih dari air tanah ke PAM dalam hal jaminan kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air PAM.
Terlepas dari siap atau tidaknya pemerintah dalam menerapkan kebijakan tersebut yang terkesan “asal jadi”. Lantas, bagaimana pula dengan kesiapan rakyat?
Kekeringan yang melanda beberapa daerah di tanah air mengakibatkan rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk air. Dalam kondisi ini, rakyat memerlukan perhatian pemerintah yang memiliki tanggung jawab meringankan beban mereka dengan memberi kemudahan untuk mendapatkan sumber air bersih. Idealnya, ketika menghadapi kemarau panjang, negara menyiapkan antisipasi sejak jauh hari. Misalnya mengoptimalkan penggunaan air tanah, air sungai, termasuk menjaga lingkungan agar tidak mematikan tanah.
Lagi pula, kerusakan lingkungan bukan semata karena penggunaan air tanah secara besar-besaran. Namun, sejak awal, telah ada eksploitasi SDA yang tidak memperhatikan dampak lingkungan sehingga turut merusak tanah. Pembangunan masif yang membebani tanah, gedung-gedung besar, termasuk para pengusaha yang memanfaatkan air secara besar-besaran sebagai bisnis, kemudian dijual kepada rakyat dengan harga mahal. Tata kelola sumber air yang berantakan mengakibatkan rakyat krisis air bersih.
Persoalan bertambah rumit dengan sistem perizinan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk mendapatkan air bersih. Meski hanya berlaku kepada masyarakat yang kebutuhan airnya 100 ribu liter, tetap saja menyulitkan rakyat. Sebab negara bertanggung jawab atas seluruh rakyatnya, bukan hanya pengguna air bersih dalam jumlah sedikit. Belum lagi perizinan kepada kementerian yang dirumitkan dengan sederet persyaratan administrasi. Alhasil, tidak ada solusi solutif untuk masalah air dan lingkungan.
Bukan tanpa alasan, berawal dari liberalisasi sumber daya air dalam sistem hari ini, meniscayakan penyaluran air bukan pada tempatnya. Di tengah kondisi rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan air, swasta justru diberi akses yang memudahkan untuk mendapatkan air bersih. Sangat mudah memberi izin kepada perusahaan-perusahaan besar, industri, perhotelan, dan sebagainya, semua itu karena modal besar yang mereka miliki.
Sementara rakyat, harus serba menghemat dalam memanfaatkan air yang seadanya. Padahal rakyat membutuhkan air untuk banyak hal, seperti kebutuhan minum, memasak, dan sanitasi. Sayangnya, rakyat tidak dapat berharap banyak dari pemerintah. Dengan dalih kerusakan lingkungan yang sejatinya merupakan ulah mereka sendiri dan kemudian mempersulit hidup rakyat.
Solusi Menyeluruh Krisis Air
Air merupakan kebutuhan pokok segenap rakyat sehingga sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin ketersediaannya sebagai bentuk tanggung jawabnya dalam mengurusi rakyat. Di sisi lain, air merupakan bagian dari harta milik umum. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang artinya, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api, dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).
Berdasarkan hadis di atas, maka semua orang berhak menggunakan air dengan syarat pemakaiannya tidak menghalangi orang lain dalam memakainya pula. Dalam hal ini, negara hanya memfasilitasi rakyat dan membantu memudahkan rakyat mendapatkan air, bukan dijadikan bisnis untuk mendapatkan keuntungan dari rakyat.
Ketika rakyat menghadapi masalah terkait berkurangnya ketersediaan air, maka pemerintah harusnya fokus menyelesaikan akar masalah krisis air tersebut. Pengundulan hutan dan alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan industri telah mengakibatkan banyak sumber air bermasalah, maka semestinya hal ini yang segera mendapat perhatian sehingga suplai air dapat mencukupi kebutuhan seluruh rakyat, baik pada musim hujan maupun musim kemarau.
Dalam konsep Islam, air diposisikan sebagai kebutuhan publik sehingga menjadi milik umum. Konsekuensinya, tidak boleh ada pihak swasta yang menguasai sumber air sampai pada tingkat menyulitkan rakyat untuk mendapatkan air bersih. Untuk itu tidak diperbolehkan individu menggunakan teknologi pengeboran yang mencemari lingkungan.
Negara akan mengelola air sehingga bisa menyediakan air bersih dan air minum yang berkualitas bagi rakyat secara gratis. Negara juga akan membuat bendungan, mengoptimalkan pemanfaatan sumber air, seperti sungai atau sumur yang telah dibuat. Tata kelola lingkungan yang baik akan dilakukan negara untuk menjaga ekosistem lingkungan termasuk hutan dengan harapan tidak mencemari atau mengganggu sumber air.
Namun, pengelolaan yang terarah tersebut akan terwujud jika dilakukan dalam naungan sistem Islam oleh seorang pemimpin yang menerapkan sistem Islam pula. Sebab, pemimpin Islam akan mengupayakan cara efektif demi menyediakan air yang layak pakai bagi rakyat. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam mengurusi rakyatnya. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]