Oleh. Trisna Abdillah
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Masih ingat kontes jin dalam iklan rokok Djarum 76 beberapa tahun lalu. Kira-kira begini, “Kasus korupsi, hilang!” Ungkap jin dari Indonesia bertingkah slengean sambil menunjuk tumpukan berkas yang tiba-tiba raib dari penglihatan. Seketika penonton yang didominasi memakai baju safari layaknya pejabat bersorak riang sambil mengangkat tangan ke udara.
Dalam iklan tersebut seakan memiliki kemampuan menghilangkan jejak korupsi adalah suatu yang membanggakan bagi penonton berdasi. Benarkah sekadar iklan? Atau memang sudah menjadi tradisi kasus korupsi “bisa diatur” di negeri ini?
Seperti yang baru-baru ini terjadi. Sidang kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) BTS (Base Transceiver Station) 4G BAKTI Kemenkominfo 2020-2022 masih bergulir di pengadilan, tetapi sejumlah nama terdakwa disinyalir hilang. Hal ini membuat pegiat antikorupsi mempertanyakan konsistensi Kejaksaan Agung (Kejakgung) dalam pengungkapan dugaan korupsi tersebut (Republika.com, 10-7-2023).
Surga Ideal bagi para Koruptor?
Indonesia negeri khatulistiwa, tak hanya dikenal dengan keindahan dan kekayaan alam yang melimpah ruah layaknya surga dunia. Namun, juga dikenal sebagai lahan subur bagi para koruptor, mulai dari kelas teri sampai kelas kakap. Bedanya, koruptor kelas teri mudah diproses dan ditangkap. Sedangkan koruptor kelas kakap yang berkaitan dengan penguasa dan konglomerat jika pun diproses, terkesan formalitas, hanya sekadar memenuhi tuntunan rakyat.
Lihat saja, bagaimana proses hukum koruptor kelas kakap yang selama ini berjalan. Ada yang kasusnya berhenti di tengah jalan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP). Ada juga yang sengaja prosesnya tarik ulur disertai alasan tak rasional sampai pada akhirnya rakyat melupakan. Atau ada yang dengan mudah kabur ke luar negeri dan untuk menyenangkan hati rakyat diberilah label DPO (Daftar Pencarian Orang).
Menjamurnya kasus korupsi membuat miris berbagai pihak. Belasan tahun lalu Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zahro menilai Indonesia layak disebut sebagai surganya koruptor. Di mana kasus korupsi di Indonesia sudah sangat klimaks terlebih di jantung kekuasaan. Bukan lagi dalam hitungan hari, bahkan setiap detik bisa saja terjadi korupsi (Okezone.com, 3-8-2012).
Meski kursi pemerintahan silih berganti, tetapi kasus korupsi tak kunjung membaik, malah sebaliknya. Sinyal makin muramnya penanganan kasus korupsi di negeri ini dilontarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi RI Luhut B. Panjaitan. Ia bahkan tak sungkan menyebut jika menginginkan bersih dari korupsi di surga tempatnya.
Pernyataan Luhut seolah menunjukkan bahwa persoalan korupsi bukanlah hal yang tabu dalam negeri demokrasi sehingga menjadi “normal” karena negeri ini bukanlah surga yang penghuninya orang-orang bersih. Namun, benarkah demikian? Hanya di surga korupsi itu akan hilang?
Ritual Pengundang Korupsi
Tanggapan Luhut terkait penanganan korupsi menjadi buah bibir masyarakat. Padahal jika dicermati tidak salah sepenuhnya terlebih dalam kungkungan sistem kufur buatan manusia. Ia melontarkan pernyataan tersebut lantaran menurutnya setiap manusia memiliki sisi buruk yang akan mendominasi jika ada celah, seperti halnya peluang mencuri/ korupsi.
Dalam sistem demokrasi, peluang “mencuri” terbilang sangatlah lebar. Biaya dalam ritual demokrasi di samping sangat mahal juga mengalami kenaikan drastis tiap tahunnya. Presiden Joko Widodo menyampaikan perkiraan anggaran pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2024 sebesar Rp110,4 triliun. Anggaran ini naik 25 kali lipat dari 2004 (databoks.katadata.co.id, 13-4-2022).
Belum lagi dana pribadi yang dikeluarkan oleh para calon legislatif (caleg) juga tidak kalah tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Direktur Prajna Research Indonesia Sofyan Herbowo menyebut anggaran minimal yang harus disiapkan caleg antara lain, calon anggota DPR sebesar Rp1—2 miliar. Calon anggota DPRD Provinsi sebesar Rp500 juta—1 milar. Calon anggota DPRD Kabupaten/ kota sebesar Rp250—300 juta. Angka tersebut bisa saja mencapai miliaran bahkan untuk presiden mencapai triliunan rupiah.
Ritual demokrasi yang menelan biaya fantastis berkorelasi dengan tingginya angka korupsi. Korupsi menjadi keniscayaan mengingat tekanan kebutuhan menutupi besarnya biaya kampanye. Menurut data Kementerian Dalam Negeri tercatat sebanyak 86,22% kepala daerah hasil pemilihan demokratis tersangkut skandal korupsi.
Korupsi Hilang Hanya dengan Islam
Agenda pemberantasan korupsi setiap tahun menjadi high light tersendiri. Namun, jika dicermati sampai sekarang belum ada solusi tuntas untuk menghilangkan eksistensi tikus berdasi ini.
Mayoritas masyarakat sampai pejabat tentu sangat membenci perbuatan korupsi, tetapi hal yang dibenci tersebut justru banyak diminati dan sulit untuk dikebiri. Apakah ini menjadi bukti bahwa sistem yang selama ini diterapkan tidak akan pernah mampu untuk menuntaskan korupsi?
Andai saja umat mau menengok bagaimana Islam dengan kesempurnaannya mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan. Dari bangun tidur sampai bangun negara, Islam memiliki pengaturan. Termasuk di dalamnya berkaitan dengan korupsi.
Sesuai pembahasan di atas bahwasanya salah satu penyebab korupsi eksis yakni mahalnya ritual demokrasi. Padahal dalam Islam, pengadaan pemilu dilaksanakan dengan biaya yang sangat murah sehingga para bakal calon tidak akan melakukan segala cara untuk mendapatkan modal demi duduk di kursi kepemimpinan.
Sebagai contoh, mekanisme pengangkatan kepala daerah/wilayah adalah ditunjuk langsung oleh khalifah dengan syarat-syarat sama halnya syarat pemimpin, yakni laki-laki, merdeka, muslim, berakal, dan memiliki kemampuan. Berkaca kepada Nabi saw., beliau mengangkat pejabat daerah yang memiliki keluasan ilmu agama. Tentu dalam hal ketakwaan tidak diragukan lagi.
Dengan landasan takwa, para penguasa muslim menyadari beratnya amanah yang diemban seorang pemimpin. Atas dasar ketakwaan inilah mereka senantiasa berlaku jujur, amanah, sesuai hukum syarak termasuk di dalamnya menghindari harta ghulul. Yakni harta pegawai negara yang diperoleh baik dari harta milik negara maupun harta milik rakyat dengan cara yang tidak syar’i.
Menurut Syaikh Abdul Qadim Zallum (2004) ada beberapa sumber harta ghulul, yaitu harta suap, hadiah atau hibah, harta yang berasal dari harta negara atau rakyat yang diperoleh dengan jalan pemaksaan dan kesewenang-wenangan, harta yang didapat dari hasil makelar atau komisi, dan yang terakhir harta korupsi.
Apabila terdapat penguasa atau pejabat negara diketahui mengambil harta haram tersebut, maka wajib dikembalikan ke pemiliknya jika diketahui atau disita dan diserahkan ke baitulmal.
Dengan mekanisme Islam seperti ini, segala bentuk korupsi akan mudah dikurangi bahkan dihilangkan. Benarlah kata Luhut, manusia memiliki sisi buruk, jika ada kesempatan akan mengambil yang bukan haknya. Namun, dengan adanya aturan Islam, sisi buruk manusia akan diikat dengan aturan Tuhannya. Wallahu a’alam CM/NA]