Oleh: Cut Dida Farida, S.Si.
(Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Presiden Joko Widodo mengungkapkan, tidak mudah bagi pemerintah untuk menjaga kestabilan harga beras. Jika harga beras tinggi, masyarakat terbebani meskipun petani untung. Namun, jika pemerintah menekan harga lewat impor beras, petani limbung. “Jadi, sering kali pemerintah berada di posisi tidak mudah, menjaga agar masyarakat senang, petani juga senang,” ucap Presiden Jokowi di acara serah terima bansos beras di Kompleks Pergudangan Laende, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (kompas.com, 13-05-2024).
Harga beras memang cenderung tidak stabil. Setelah mengalami kenaikan di awal 2024 hingga menyentuh harga tertinggi, yakni Rp18.000 per kilogram pada bulan Maret yang lalu, kini harga beras mengalami penurunan. Menurut data dari panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga eceran rata-rata nasional beras premium adalah sebesar Rp15.540 per kilogram dan harga eceran rata-rata nasional beras medium berada di kisaran Rp13.510 (keluarga.badanpangan.go.id, 15-05-2024).
Penyebab Ketidakstabilan Harga Beras Menurut Pemerintah
Hal yang sering dijadikan alasan oleh pemerintah sebagai pemicu ketidakstabilan harga beras, antara lain dikarenakan adanya perubahan iklim ekstrem, produksi beras dalam negeri yang menurun, serta rendahnya produktivitas petani yang dipengaruhi tingginya harga pupuk, hingga adanya konversi lahan pertanian. Produksi beras dalam negeri dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan beras bulanan secara nasional sehingga menyebabkan melambungnya harga beras.
Oleh karena itu, langkah antisipatif yang diambil pemerintah guna menekan harga beras dan mengamankan stok kebutuhan beras nasional adalah dengan membuka keran impor beras, menggelar operasi pasar, serta pemberian bansos beras. Pertanyaannya, apakah yang demikian akan berpengaruh signifikan terhadap stabilitas harga beras?
Kesalahan Sudut Pandang
Sesungguhnya keliru jika kita memandang permasalahan stabilitas harga beras hanya sekadar tidak tercukupinya produksi dalam negeri, kemudian diberlakukan importasi beras sebagai solusi. Pandangan yang demikian selain terkesan menyederhanakan masalah, juga merupakan sudut pandang kapitalisme neoliberal.
Kapitalisme neoliberal memandang, pangan (dalam hal ini beras) hanya merupakan komoditas ekonomi yang pengadaannya diukur berdasarkan penawaran (supply) dan permintaan (demand). Jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sementara permintaannya sedikit, harga akan turun. Sebaliknya jika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar, harga akan naik.
Oleh karena itu, ketika terjadi kekurangan stok beras dalam negeri, maka negara akan mengambil tindakan impor beras, padahal impor beras tidak serta merta akan menstabilkan harga beras. Pasalnya, yang sesungguhnya terjadi adalah adanya permainan kartel beras, yakni sejumlah perusahaan besar beromset triliunan yang bermain di sektor hulu (produksi) maupun hilir (distribusi). Kartel ini mampu memonopoli pembelian gabah sehingga mematikan penggilingan beromset kecil, mampu menguasai pasar dengan mempermainkan harga, dan menimbun pasokan beras. Dengan adanya mafia beras ini, jelas menimbulkan kerugian di pihak petani sekaligus konsumen.
Di lain sisi, dibukanya keran impor beras justru akan berdampak signifikan terhadap penurunan harga GKP (gabah kering panen) di tingkat petani. Alih-alih untung, petani justru merugi. Risiko harga GKP anjlok akan makin besar saat panen raya mendatang sehingga yang jelas diuntungkan dalam hal ini adalah para mafia pangan yang bermain di sektor importir. Dengan demikian, upaya menstabilkan harga beras hanyalah ilusi.
Demikianlah jika negara menganut asas kapitalisme sekularisme neoliberal. Keberadaan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator semata. Sementara penguasaan pangan negara justru diserahkan kepada para kapitalis yang menciptakan gurita korporasi di sektor pertanian dan pangan.
Islam Menjamin Stabilitas Harga Pangan Melalui Politik Pangan Islam
Penting bagi kita untuk menjadikan Islam sebagai asas sekaligus pandangan hidup bernegara. Ini karena Islam adalah din yang memuat seperangkat sistem tata aturan kehidupan. Aturan Islam ini hanya akan mampu dilaksanakan oleh negara yang dipimpin oleh seorang khalifah. Khalifah dalam negara Islam (Daulah Kh1l4f4h) akan senantiasa menjadikan keimanan, ketakwaan, serta ketaatan kepada Allah sebagai fondasi menjalankan roda pemerintahan.
Dalam Islam, pemimpin negara adalah pengurus hajat hidup rakyat. Sabda Rasulullah saw.,
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Pengelolaan pangan dan pertanian dalam Islam ditujukan untuk mewujudkan tiga tujuan, yakni menjamin pemenuhan pangan seluruh rakyat (termasuk cadangan pangan negara), menjaga kestabilan harga, dan memberikan kesejahteraan terhadap petani.
Adanya jaminan stabilitas harga di dalam Islam disebabkan politik ekonomi Islam memang ditujukan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok seluruh rakyat per individu. Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan dalam negeri sepenuhnya berada di tangan khalifah dan haram hukumnya menyerahkan kepada korporasi.
Politik pangan Islam dalam menstabilkan harga pangan termasuk beras, terlihat dari hadirnya negara di tiap sektor, yakni produksi, distribusi, dan konsumsi.
Di sektor produksi, Kh1l4f4h menjamin tersedianya pasokan pangan (dalam hal ini beras) dengan menggenjot produktivitas dalam negeri guna memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan menyimpan cadangan pangan negara. Hal tersebut dijalankan melalui dua strategi pertanian, yakni intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Negara akan menerapkan hukum pertanahan yang akan menjamin seluruh lahan pertanian akan berproduksi secara optimal, sekaligus kemudahan akses kepemilikan tanah.
Di sektor distribusi, negara hadir mengawasi pihak penjual dan pembeli guna mendukung sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar. Praktik penimbunan, riba, tengkulak, kartel, dan sebagainya akan dilarang. Penegakan hukum akan dilakukan secara tegas sesuai sanksi Islam. Pengawasan pun dilakukan dengan mengangkat sejumlah kadi hisbah untuk pelaksanaannya.
Sistem ekonomi Islam akan diberlakukan, yakni dengan mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem pengembangan harta secara syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak, dan sebagainya. Adapun buah dari penerapan sistem ekonomi ini, hilangnya akumulasi harta pada segelintir orang dan perekonomian akan tumbuh karena modal benar-benar diberdayakan pada sektor riil, termasuk pertanian.
Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena Kh1l4f4h hadir/berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam. Semua praktik distorsi harga akan tereliminasi karena pengawasan negara berjalan baik sehingga harga bahan tidak mudah bergejolak. Kondisi perekonomian para petani juga akan terangkat karena kehadiran negara mengakomodir seluruh kebutuhan dan keperluan mereka. Alhasil, stabilitas harga pangan akan tercipta.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]