Penulis: Meta Nisfia Falah, S.Ak.
Kini saatnya umat menyadari bahwa sekadar kritik tidak cukup, solusi sejati harus ditegakkan melalui sistem yang benar. Islam telah membuktikan dalam sejarahnya, bagaimana amanah kekuasaan dijalankan dengan penuh tanggung jawab sehingga rakyat merasakan keadilan dan kesejahteraan sekaligus. Apabila umat sungguh-sungguh mendambakan perubahan, maka kembali kepada aturan Allah adalah satu-satunya jalan.
CemerlangMedia.Com — Berita mengenai tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR sangat melukai hati rakyat. Di tengah masyarakat yang sedang menghadapi gelombang PHK massal, kenaikan harga kebutuhan pokok, hingga lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), para wakil rakyat justru menikmati fasilitas yang terkesan mewah.
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menegaskan bahwa pendapatan fantastis anggota DPR, termasuk tunjangan rumah Rp50 juta, jelas menyakiti perasaan masyarakat. Menurutnya, kondisi ini menunjukkan adanya ketimpangan, seolah rakyat dikorbankan demi menopang gaya hidup elite politik (bekasisatu.com, 20-08-2025).
Wajah Asli Demokrasi
Ironi ini memperlihatkan wajah asli sistem politik yang dijalani. Demokrasi kapitalisme pada akhirnya menjadikan jabatan sebagai alat untuk memperbesar keuntungan pribadi. Dalam sistem ini, materi menjadi tujuan utama. Politik transaksional dianggap hal biasa karena kursi kekuasaan dipandang sebagai investasi yang harus mendatangkan imbal hasil. Oleh karenanya, tidak aneh jika anggota DPR merasa wajar mendapatkan tunjangan besar, meski rakyat yang mereka wakili harus berhemat demi bertahan hidup.
Kontras tersebut akan tampak makin jelas apabila dibandingkan dengan kondisi riil masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa rata-rata pendapatan bersih pekerja Indonesia pada Februari 2025 hanya sekitar Rp2,84 juta per bulan. Itu artinya, penghasilan anggota DPR yang menembus lebih dari Rp100 juta per bulan setara dengan 35 kali lebih besar dibanding rata-rata pendapatan pekerja (finance.detik.com, 19-07-2025).
Fakta ini makin menambah jurang kesenjangan antara elite dan rakyat. Ketika pemerintah gencar menggaungkan efisiensi anggaran, dampaknya justru menimpa rakyat dalam bentuk kenaikan pajak atau berkurangnya bantuan. Sementara itu, wakil rakyat justru menikmati kelonggaran dengan dalih tunjangan. Rakyat merasa dikorbankan, sementara elite makin dimanjakan.
Jabatan sebagai Amanah, Bukan Hak Istimewa
Jika kembali kepada pandangan Islam, sesungguhnya jabatan bukanlah hak istimewa yang bisa digunakan untuk memperkaya diri. Jabatan adalah amanah besar yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt..
Rasulullah saw. menegaskan,
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari-Muslim).
Allah Swt. pun mengingatkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS An-Nisa: 58).
Ayat ini menegaskan bahwa amanah kepemimpinan harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan keadilan. Seorang pemimpin tidak seharusnya menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Namun, hal inilah yang sulit diwujudkan dalam sistem demokrasi kapitalisme karena asasnya adalah sekularisme yang memisahkan agama dari politik dan hukum. Tanpa ikatan pada syariat, kekuasaan mudah tergelincir menjadi alat pemuas nafsu.
Kepemimpinan yang Adil dan Amanah
Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah ritual, tetapi juga sistem hidup yang menyeluruh, termasuk dalam hal kepemimpinan dan pengelolaan harta publik. Jika fenomena tunjangan DPR yang fantastis terasa menyakitkan hati rakyat, itu karena jabatan tidak lagi dipandang sebagai amanah, melainkan hak istimewa. Islam justru hadir untuk meluruskan pandangan ini.
Pertama, Islam menegaskan bahwa jabatan adalah amanah yang berat. Bukan sebuah privilege untuk menikmati fasilitas, tetapi beban yang harus dipikul dengan penuh tanggung jawab. Setiap rupiah dari harta rakyat yang digunakan pejabat akan dipersoalkan di hadapan Allah. Kesadaran inilah yang membuat pemimpin Islam pada masa lalu begitu berhati-hati, bahkan dalam perkara kecil seperti penggunaan lampu minyak negara.
Kedua, harta negara dikelola sesuai dengan hukum syariat. Negara tidak boleh menghambur-hamburkan anggaran untuk fasilitas pejabat. Dalam sejarah kekhalifahan, anggaran negara dialokasikan untuk kepentingan rakyat, seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan, pembangunan infrastruktur, hingga jaminan kebutuhan pokok.
Ketiga, Islam menanamkan kontrol masyarakat melalui mekanisme amar makruf nahi mungkar. Rakyat wajib mengingatkan pemimpin ketika salah, bahkan mengoreksi jika ada kebijakan yang bertentangan dengan syariat. Ini bukan sekadar kritik politik seperti dalam demokrasi modern, tetapi ibadah yang bernilai pahala. Mekanisme ini menjaga agar pemimpin tidak tergelincir pada penyalahgunaan wewenang.
Keempat, Islam memastikan pemimpin memiliki benteng moral berupa keimanan. Kesadaran bahwa setiap tindakan akan dihisab membuat pejabat tidak berani main-main dengan harta rakyat. Allah Swt. berfirman,
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil….” (QS Al-Baqarah: 188).
Ayat ini jelas melarang praktik memperkaya diri dengan memanfaatkan jabatan. Dengan iman sebagai pengikat, seorang pemimpin akan menjadikan setiap keputusan sebagai ibadah, bukan sarana memperbesar kekayaan. Itulah mengapa Umar bin Khattab ra. tidak mau menikmati kemewahan, sementara Umar bin Abdul Aziz mengembalikan aset negara yang sebelumnya disalahgunakan.
Kelima, sistem Islam tidak menumbuhkan kesenjangan, justru yang terjadi adalah pemerataan kesejahteraan. Ada catatan sejarah yang sangat menginspirasi pada masa Umar bin Abdul Aziz, yakni hampir tidak ada lagi rakyat yang mau menerima zakat karena mereka semua telah sejahtera. Bayangkan, dalam waktu singkat, sebuah kepemimpinan yang adil dan amanah mampu menghapus kemiskinan. Ini mustahil terjadi jika jabatan dipandang sebagai sarana memperkaya diri.
Kini saatnya umat menyadari bahwa sekadar kritik tidak cukup, solusi sejati harus ditegakkan melalui sistem yang benar. Islam telah membuktikan dalam sejarahnya, bagaimana amanah kekuasaan dijalankan dengan penuh tanggung jawab sehingga rakyat merasakan keadilan dan kesejahteraan sekaligus. Apabila umat sungguh-sungguh mendambakan perubahan, maka kembali kepada aturan Allah adalah satu-satunya jalan.
Wallaahu a’lam bisshawab. [CM/Na]
Views: 0






















