Oleh. Tantri K. Wardani
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Belakangan ini, istri pejabat dengan gaya hedon dan pamer harta sedang menjadi sorotan di masyarakat. Bermula dari kasus penganiayaan oleh Mario Dandy, anak dari Rafael Alun Trisambodo, Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, terhadap David Latumahina, anak dari salah satu pengurus GP Ansor, hingga koma. Harta sang ayah pun jadi sorotan dan berujung pemecatan. Karena Dandy diketahui juga sangat gemar memamerkan kehidupan mewahnya di medsos.
Fenomena ramainya istri pejabat dan keluarganya yang gemar memamerkan kekayaan, dan bergaya hidup mewah yang diunggah di medsos, dinilai pakar hukum Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Prof Dr Sunarno Edy Wibowo SH MH, sebagai tindakan yang tidak etis, dan tidak berempati pada keadaan masyarakat yang saat ini serba sulit dari segi ekonomi. (Cakrawala.co, 29/3/2023).
Fenomena ini sebetulnya bukan hal yang baru terjadi. Hanya saja, tidak muncul ke publik, karena bentuk aksi pamer barang mewah dilakukan di arisan, pertemuan darma wanita. Namun hari ini, karena kecanggihan dunia digital, memamerkan kekayaan menjadi viral. Para netizen pun mempertanyakan asal usul kekayaan tersebut, hal ini tentu saja menjadi bumerang bagi yang bersangkutan. Alhasil, ada yang dicopot dari jabatannya, dinonaktifkan, bahkan ada yang diperiksa KPK.
Menurut Psikolog Sosial asal Solo, Hening Widyastuti, ada beberapa alasan psikologis mengapa orang melakukan pamer harta atau flexing di media sosial. Salah satunya adalah untuk mendapatkan pengakuan status sosial dan dihargai oleh orang lain.
Orang yang suka pamer harta biasanya adalah orang yang justru insecure terhadap dirinya sendiri. Sebab mereka beranggapan bahwa dengan melakukan hal tersebut, mereka akan dianggap penting oleh orang lain. Lantas bagaimana pandangan Islam terkait pamer harta ini?
Flexing disebut tindakan memamerkan harta, merupakan suatu bagian dari kesombongan. Dalam Islam perilaku flexing amat terlarang, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam QS Luqman ayat 18: “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Dalam sebuah hadits Qudsi, Rasulullah bersabda bahwa Allah mengancam akan menghinakan dan menghilangkan pahala bagi para pelaku flexing. Ketika hari kiamat telah tiba, maka akan ada suara memanggil: “Di manakah orang yang suka pamer? Di manakah orang yang ikhlas? Berdirilah kalian semua! Tunjukkan amal perbuatan kalian, dan ambilah pahala-pahala kalian dari Tuhan kalian semua.”
Manusia tidak seharusnya menyombongkan diri terhadap apapun yang dia punya, dan merasa lebih dari orang lain. Dalam pandangan Allah, manusia itu sama, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Manusia memang dibekali Allah sebuah naluri. Salah satunya adalah baqa’ yaitu naluri untuk mempertahankan diri, di mana dia ingin diakui, ingin dihargai, senang dipuji. Namun semua itu harus tersalurkan dengan benar sesuai syariat.
Demikian juga dalam hal mencari nafkah. Allah Swt. memerintahkan manusia untuk mencari rezeki (harta) dengan cara yang halal, Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah: 168, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Rasulullah saw. juga bersabda: “Mencari rezeki yang halal hukumnya wajib atas setiap orang Muslim.” (HR Thabrani)
Pun, memakan harta haram atau menafkahi keluarga dari harta haram memberikan dampak negatif. Pertama, doa yang tidak pernah diijabah. Kedua, hartanya tidak akan membawa keberkahan. Ketiga, mudah melakukan kemaksiatan.
Bicara soal mencari rezeki tidak melulu bicara tentang memenuhi kebutuhan hidup saja. Akan tetapi mencari rezeki adalah bagian dari ibadah untuk ketenangan dunia akhirat. Dan di akhirat kelak akan ditanya darimana kita mendapatkan harta yang kita punya di dunia dan ke mana kita membelanjakannya. Oleh sebab itu, bagaimanapun keadaannya, carilah rezeki dengan cara yang halal, dan bukan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Jika berbicara tentang pejabat publik, maka dalam Islam, pejabat berarti orang yang mengurus urusan publik dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pejabat publik harus menjaga kehormatan dan integritas dirinya serta keluarganya, menghindari perilaku yang merusak citra dan martabat jabatannya, serta tidak terlibat dalam praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Dan seyogyanya, Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam menjadi pedoman dalam beretika bagi pejabat public dan kita semua. Wallahu’alam. [CM/NA]