CemerlangMedia.Com — Berita tentang temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengenai 15 mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai bacaleg dalam Pemilu 2024 di Indonesia memunculkan serangkaian masalah serius yang perlu segera diatasi. Ini adalah tanda kelemahan dalam sistem politik dan tata kelola pemerintahan Indonesia.
Dikutip dari situs VOA pada (26-8-2023), peneliti ICW Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Ketidaktransparan dan kepentingan pribadi dalam mengumumkan status terpidana korupsi dalam DCS menciptakan ruang bagi potensialnya kepentingan pribadi dan korupsi yang lebih lanjut dalam politik.
Ini adalah hal yang sangat merugikan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ditambah kekhawatiran bahwa partai politik memberi peluang kepada mantan terpidana korupsi mengindikasikan kurangnya komitmen terhadap integritas dan pemberantasan korupsi dalam politik. Padahal partai politik seharusnya menjadi wadah bagi individu yang bersih dan berintegritas yang bertujuan untuk melayani rakyat, bukan yang terlibat dalam praktik korupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menemukan bahwa mantan terpidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai calon legislatif dalam Pemilu 2024 sesuai dengan aturan yang ada. Pendapat ini dibagikan oleh Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky yang mengeklaim bahwa aturan ini memungkinkan mantan koruptor untuk mencalonkan diri kembali. Dia berpendapat bahwa para politisi yang membuat aturan tersebut cenderung memiliki kepentingan pribadi dan mungkin terlibat dalam praktik korupsi sehingga mereka cenderung membuat aturan yang menguntungkan bagi mereka sendiri.
Praktik korupsi tidak terbatas pada calon legislatif, tetapi juga melibatkan semua pilar demokrasi, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika dirincikan kembali, banyak pejabat dan politisi tingkat tinggi juga pernah terlibat dalam kasus korupsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa praktik ini meluas di seluruh struktur pemerintahan, sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia tampaknya bersikap apa adanya terhadap permasalahan yang terjedai.
Padahal dari peluang tersebut terdapat bahaya jika mantan koruptor dapat kembali berpartisipasi dalam praktik korupsi eksekutif maupun legislatif karena para mantan koruptor akan menjadi lebih berpengalaman dalam praktik korupsi dan mungkin akan lebih mahir dalam menghindari penangkapan. Lebih lanjut, mereka dapat mengubah atau menciptakan aturan yang lebih menguntungkan mereka sendiri.
Maka hal yang perlu dilakukan dalam permasalahan pemerintahan Indonesia adalah memperbaiki sistem politik dan hukum secara keseluruhan dan memilih orang-orang yang baik dan amanah untuk mengisi posisi dalam sistem yang lebih baik karena sistem politik demokrasi yang ada, cenderung tidak efisien. Maka pemerintah dan masyarakat butuh kesadaran bahwa sistem demokrasi yang diemban memang sudah cacat dari awal dan perlu menerapkan sistem politik berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam.
Dalam sejarahnya, penerapan aturan Islam sudah terbukti gemilang, bahkan dalam pemilihan pemimpin, pun dalam Islam melalui proses pemilihan yang diawali dengan pemilihan Majelis Umat (ahlul halli wal aqdi) sehingga para kandidat pemimpin diseleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan berdasarkan aturan Islam hingga menyisakan satu orang saja.
Tentunya kandidat diseleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan secara syar’i dan tidak asal pilih. Berbeda halnya saat ini, para mantan korupsi bahkan memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri tanpa melihat harga dirinya sudah rusak dengan berlindung pada hukum HAM (Hak Asasi Manusia) yang notabenenya hukum yang penuh dengan kerusakan.
Sonia Rahayu, S.Pd.
Bandung [CM/NA]