Dalam Islam, setiap anak harus dibimbing untuk memiliki akidah Islam yang kuat sehingga standar halal atau haram dijadikan landasan utama dalam perbuatannya. Alhasil, anak-anak usia balig (rata-rata di atas 12 tahun) akan berhati-hati dalam menggunakan teknologi seperti media sosial. Akidah yang kuat pun akan mendorong remaja untuk membuat konten yang bermanfaat, bukan sekadar hiburan semata.
CemerlangMedia.Com — Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 17/2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Alasan ditetapkannya aturan ini lantaran anak-anak Indonesia mengalami cyber bullying hingga terpapar konten dewasa. Selain itu, media sosial pun ikut memengaruhi kesehatan mental anak dan remaja karena dapat menyebabkan resiko depresi (13-12-2025).
PP Tunas membatasi anak-anak dalam menggunakan media sosial. Anak di bawah usia 13 tahun hanya diperbolehkan memiliki akun pada produk dan layanan digital berisiko rendah. Sementara itu, usia 13 hingga 15 tahun dibiarkan mengakses layanan digital dengan risiko sedang. Sedangkan usia 16 hingga 17 tahun diperbolehkan untuk mengakses media sosial dengan risiko tinggi seperti media sosial umum. Semua usia ini mensyaratkan persetujuan orang tua. Sanksi administrasi, denda, dan pemutusan akses akan diberikan kepada platform yang melanggar aturan ini (13-12-2025).
PP Tunas yang ditetapkan untuk melindungi anak-anak patut diapresiasi. Namun, aturan ini tampaknya kurang efektif dalam melindungi anak-anak Indonesia. Hal ini dikarenakan anak usia remaja masih bisa mengakses media sosial tanpa akun pribadi, seperti menggunakan akun palsu. Permasalahan yang terjadi pada anak-anak bukanlah disebabkan oleh media sosial semata.
Penyebab utama permasalahan pada anak-anak adalah akibat penerapan sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, individu termasuk anak-anak memiliki iman yang lemah sehingga perbuatannya tidak disandarkan pada standar halal atau haram dalam agama. Alhasil, mereka bebas mengakses media sosial tanpa peduli terhadap norma agama.
Di sisi lain, sistem kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan utama membuat negara adidaya memiliki pengaruh besar dalam mengontrol perilaku pengguna media sosial agar sesuai kepentingan mereka. Para kapitalis berusaha mengeruk keuntungan materi dari berbagai platform media sosial tanpa memedulikan dampak negatif yang dapat merusak anak-anak. Sayangnya, negara masih membiarkan konten negatif seperti bullying, konten dewasa, game online, hingga judi online berseliweran di media sosial.
Berbeda dengan sistem Islam dalam mengatur media sosial. Dalam Islam, setiap anak harus dibimbing untuk memiliki akidah Islam yang kuat sehingga standar halal atau haram dijadikan landasan utama dalam perbuatannya. Alhasil, anak-anak usia balig (rata-rata di atas 12 tahun) akan berhati-hati dalam menggunakan teknologi seperti media sosial. Akidah yang kuat pun akan mendorong remaja untuk membuat konten yang bermanfaat, bukan sekadar hiburan semata.
Di sisi lain, kurikulum pendidikan dalam sistem Islam dilandaskan pada akidah Islam. Tujuan pendidikan, yakni membentuk anak-anak yang memiliki ilmu pengetahuan, pola pikir islami, serta kepribadian Islam. Sementara itu, negara berperan untuk memblokir seluruh konten negatif yang merusak generasi. Negara dalam sistem Islam mengatur penggunaan teknologi, termasuk platform media sosial untuk kemajuan dan kemaslahatan rakyat. Inilah bentuk tanggung jawab negara dalam melindungi rakyatnya, sebagimana hadis Rasulullah saw.,
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab atas gembalaanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, sudah saatnya kita kembali menerapkan sistem Islam secara menyeluruh (kafah) agar permasalahan yang terjadi pada generasi penerus bisa diatasi secara tuntas. Wallahu a’lam bisshawab.
Aidha Iztania Balqis
Bekasi, Jawa Barat [CM/Na]
Views: 8






















