Hilangnya nyawa seseorang tidak boleh berlalu begitu saja. Siapa yang membunuh, harus menerima konsekuensi hukum. Qisas dan diyat adalah sanksi yang sangat adil bagi korban dan keluarganya.
CemerlangMedia.Com — Di tengah gemuruhnya suasana rakyat yang menyampaikan aspirasi, bentrokan antara aparat dan para pengunjuk rasa tidak bisa terhindarkan. Pengamanan yang dilakukan dengan cara memukul mundur massa menggunakan kendaraan taktis (rantis) telah mengakibatkan hilangnya satu nyawa. Seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan terlindas rantis dan meninggal dunia setelah dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (28-08-2025).
Affan bukan peserta aksi. Saat peristiwa, ia sedang mengantarkan pesanan konsumennya. Dalam video yang beredar, rantis terus melaju meski korban telah terkapar dan tertindas. Kejadian ini mengundang reaksi publik. Mereka mengungkapkan kesedihan dan kemarahan, juga menyadarkan bahwa siapa pun bisa menjadi korban kesewenang-wenangan aparat.
Menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak konstitusional setiap warga negara. Seharusnya aparat tidak menggunakan kekuatan secara berlebihan dan arogan dalam membubarkan massa aksi.
Kekacauan yang terjadi karena tidak ada itikad baik dari para anggota parlemen untuk memberikan ruang bagi mereka menyampaikan keberatan atas kenaikan tunjangan fantastis di tengah perekonomian rakyat yang sulit. Belum lagi pernyataan-pernyataan yang keluar dari lisan mereka, menambah luka di hati. Bukankah mereka di sana seharusnya mewakili suara rakyat?
Saat ini praktik diskriminasi terjadi, bukan hanya kepada yang lemah, tetapi kepada orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Bersuara bertaruh nyawa, diam saja mereka semena-mena. Aparat memberikan contoh buruk dalam penegakan hukum. Oleh karenanya, tidak heran jika masyarakat tidak taat hukum dan hilang kepercayaan terhadap pemerintahan. Inilah risiko konkret hidup dalam sistem kufur dan rusak. Ini sangat berbeda dengan hukum Islam.
Dalam pandangan Islam, hilangnya nyawa seseorang termasuk pelanggaran berat. Ahli waris yang berhak menentukan sanksi yang diberikan terhadap para pelaku. Jika kata maaf tidak diberikan, sanksi berupa jinayat, yakni penganiayaan badan yang mewajibkan qisas (balasan setimpal). Namun jika sebaliknya, pelaku harus membayar diyat (denda) yang nilainya sebagaimana diriwayatkan Abdullah bin Amru bin al-Ash, “Untuk pembunuhan seperti sengaja, sebesar 100 unta yang 40 ekornya sedang dalam kondisi bunting. Jika diuangkan, nilainya bisa mencapai milyaran rupiah/nyawa.”
Hilangnya nyawa seseorang tidak boleh berlalu begitu saja. Siapa yang membunuh, harus menerima konsekuensi hukum. Qisas dan diyat adalah sanksi yang sangat adil bagi korban dan keluarganya. Bagi pelaku, ini juga menguntungkan karena sanksi dunia ini menjadi penebus kelak di akhirat. Bagi masyarakat secara umum, mampu mencegah terjadinya kejahatan yang sama karena menimbulkan efek jera.
Keadilan yang sejati hanya akan lahir dalam sebuah sistem yang menerapkan Islam secara kafah yang semua unsurnya melaksanakan ketakwaan secara hakiki. Adakah sistem hukum yang seperti itu selain sistem hukum Islam? Jawabannya, tidak ada. Wallahu a’lam bisshawab
Mia
Bekasi, Jawa Barat [CM/Na]