CemerlangMedia.Com — Jerat utang Cina memang begitu menggiurkan bahkan cenderung melenakan negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Padahal saat ini negara tetangga, yakni Laos sedang mengalami ancaman krisis akibat utang kepada Cina.
Menurut perkiraan IMF, utang Laos hingga kini sudah sebesar 122 persen PDB. Bahkan pengamat menilai, negara tersebut bisa berada di ambang kehancuran ekonomi, jika krisis ekonomi tidak terkendali (09-11-2023).
Melihat hal itu, Indonesia sejatinya harus sangat berhati-hati terhadap jebakan utang Cina. Banyaknya laporan dari beberapa media adalah sebuah peringatan tentang akan adanya apa yang disebut “jebakan utang” Cina.
Hal tersebut merujuk kepada sebuah skenario, yakni Beijing akan menyita aset-aset infrastruktur yang berharga, jika setiap negara yang berutang gagal bayar (default) atau tidak bisa membayar tepat waktu. Namun, sebagian ahli membantah jika BRI (Belt and Raod Initiative) Cina merupakan satu-satunya yang membahayakan karena utang seperti dari debitur yang lain pun sama berbahayanya jika tidak diperhitungkan dengan baik.
Bahkan negara Eropa sekelas Italia pun menyesali keikutsertaannya dalam proyek utang Cina, Belt and Raod Initiative (BRI). Penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan dalam sebuah kesepakatan.
Untuk itu sebagai sebuah antisipasi, pemerintah berusaha menerapkan beberapa langkah stabilitas, termasuk menaikan suku bunga, penerbitan obligasi, kerja sama dengan Bank Pembangunan Asia dalam praktik pengelolaan utang. Hal tersebut diharapkan dapat mengurangi pengeluaran untuk layanan penting seperti pendidikan dan layanan kesehatan.
Walaupun sejauh ini langkah-langkah yang dilakukan pemerintah belum menunjukkan hasil yang cukup konkret. Indonesia masih sangat bergantung kepada Cina dalam hal apa pun. Bahkan utang pun makin membengkak menjadi 20,38 miliar pada akhir Maret 2023. Bertambah sebanyak US$ 370 juta, jika dibandingkan dengan posisi utang terakhir pada Februari 2023 sebesar 20,01 miliar.
Jika dilihat dari kacamata hukum Islam sendiri, konteks utang luar negeri sangat tidak sesuai karena mengandung bunga yang sangat besar. Di dalam hukum Islam dinamakan riba, yang notabene hukumnya haram.
Jika dilihat dari sisi lainnya pun, utang luar negeri hanya akan merugikan rakyat sendiri karena secara tidak langsung rakyat juga ikut menanggung beban utang luar negeri. Ini menunjukkan bahwa utang luar negeri tersebut tidak mengandung kemaslahatan, tetapi justru mendatangkan mafsadat dan mudarat.
Maka berdasarkan bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, -menurut syarak- bantuan luar negeri hukumnya haram. Hal itu dikarenakan: Pertama, utang luar negeri bisa menjadi sarana (wasilah) timbulnya berbagai ke-mudaratan, misal kemiskinan kian akut, harga kebutuhan pokok dan BBM terus naik dan melambung, dan sebagainya. Kedua, bantuan luar negeri sudah membuat negara-negara kapitalis kafir bisa mengeksploitasi, mendominasi, serta menguasai kaum muslimin. Tentu saja ini haram dan tidak boleh terjadi apalagi dibiarkan. Ketiga, bantuan luar negeri tidak bisa dilepaskan dari bunga (riba).
Padahal Islam dengan tegas dan gamblang sudah mengharamkan riba (QS Al-Baqarah 275). Riba merupakan dosa besar dan wajib dijauhi oleh kaum muslimin. Sungguh tidak ada kompromi terkait keharaman riba. Oleh karena itu, utang luar negeri dengan segala macam bentuknya harus ditolak. Wallahua’llam
Rina Herlina
Payakumbuh, Sumbar [CM/NA]