CemerlangMedia.Com — “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan karena mereka berpendapat bahwa jual-beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (TQS Al-Baqarah [2]: 275).
Memahami ayat di atas, Allah dengan tegas mengharamkan riba. Dalam skala negara, utang ribawi adalah pintu masuk penjajahan dalam hal ekonomi karena adanya prasyarat kebijakan oleh pemberi utang. Utang luar negeri juga sudah terbukti banyak menjerat kedaulatan suatu negara. Zimbabwe, Sri Langka, Maladewa, Uganda, Kenya, dan Pakistan adalah contoh negara yang kolaps akibat debt trap (perangkap utang) luar negeri.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan posisi utang Indonesia hingga akhir November 2023 sebesar Rp8.041,01 triliun. Sejumlah ekonom mencatat, utang pemerintah diperkirakan bisa tembus Rp18 ribu triliun. “Rasio utang terhadap PDB adalah 38,11%,” tulis Kemenkeu dalam buku APBN Kita (19-12-2023).
Mirisnya, hal ini masih dianggap wajar oleh sejumlah pejabat negeri ini karena menurut mereka, banyak negara di dunia yang membangun infrastruktur dengan dana pinjaman luar negeri. Pemerintah selalu berdalih bahwa utang masih dalam kondisi aman karena rasio utang belum mencapai 60% atas Produk Domestik Bruto (PDB). (Buletin Kaffah No. 326).
Nyatanya setiap tahun, utang negara makin bertambah dan secara otomatis akan menambah beban bunga utang. Bunga utang yang makin besar inilah yang akan menjadikan negara masuk dalam jebakan utang ribawi dan membuat negara dalam jajahan ekonomi.
Sungguh, inilah buah dari sistem sekuler kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan materi di atas segalanya. Penerapan sistem ekonomi ala kapitalis membuka peluang seluas-luasnya kepada pemilik modal yang mayoritas orang asing untuk mengeruk dan mengelola sumber daya alam negeri ini.
Alhasil, negara bergantung pada pinjaman ribawi untuk membangun infrastruktur dan mengandalkan pajak sebagai pemasukan negara. Sesungguhnya, tidak ada negara yang sejahtera dengan utang ribawi, justru sebaliknya, kesengsaraan yang akan ditanggung oleh rakyatnya karena kebijakan ekonomi akan menguntungkan pemberi pinjaman. Dan yang lebih utama, dosa ribawi akan menyebabkan tidak adanya keberkahan di negeri tersebut.
Padahal, Allah telah menurunkan Islam secara sempurna untuk mengatur semua hal dalam kehidupan, termasuk ekonomi Islam yang telah terbukti menyejahterakan umat. Ekonomi Islam tidak dibangun atas dasar utang ribawi dan menghindarkan negara dari jerat utang ribawi.
Pengelolaan SDA akan sepenuhnya dilakukan oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga akan meminimalkan impor barang. Sistem ekonomi Islam telah dipraktikkan pada masa kejayaan Islam dan telah terbukti menyejahterakan rakyat. Wallahu a’lam bisshawwab.
Henny [CM/NA]