CemerlangMedia.Com — Sepintas mendengar kata “May Day,” teringat oleh kita tanggal 1 Mei, yang mana setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Buruh dan menjadi hari libur nasional dan Hari Buruh Internasional. Ikon ini seakan menandakan bahwa hari buruh menjadi hari yang membahagiakan, dan hidup dalam kesejahteraan. Namun tidak demikian fakta yang sebenarnya, para buruh justru menggelar berbagai aksi tuntutan di berbagai kota serentak pada 1 Mei 2023.
Partai Buruh dan Organisasi Serikat Buruh melakukan aksi unjuk rasa di Istora Senayan, dengan mengangkat 4 isu sebagai tuntutan mereka. Pertama, mencabut UU no. 6 tahun 2023 Ciptaker Omnibus Law. Kedua, mencabut UU parliamentary threshold 4%. Ketiga, meolak RUU kesehatan. Keempat, mendesak disahkannya RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga). Hal tersebut dijelaskan oleh Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Andi Gani, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). (1/5/).
Menyoal kesejahteraan buruh berarti bagaimana memenuhi tunjangan hak- hak mereka. Seperti tempo hari dialami para pegawai dan buruh yang tidak menerima THR (Tunjangan Hari Raya) secara utuh. Perusahaan membagi THR untuk karyawan pada H- 7 Hari Raya, sedangkan putus kontrak kerja pada H- 30, di mana pekerja kontrak (outsourching) tidak mendapatkan hak THR. Hal ini dampak dari pengesahan RUU Cipta Kerja, yang tentu saja merugikan pekerja. Pun, berbagai masalah seperti upah murah, jam kerja yang panjang yakni 12 jam sehari tentu menjadi masalah pelik, khususnya bagi perempuan, sehingga kesulitan dalam mengatur rumah tangga dan keluarganya.
Peliknya persoalan tersebut tidak lepas dari adanya perusahaan-perusahaan yang melanggar hak- hak buruh seperti terlambatnya pemberian THR, dan RUU cipta kerja yang memang tak memihak pada pekerja. Hal inilah yang menimbulkan adanya aksi tuntutan dari buruh.
Sadar atau tidak, berharap pada kapitalisme untuk meraih kata sejahtera bagi para pekerja hanya ilusi semata. Di mana pekerja seolah-olah menjadi musuh bukan mitra bersama antara pengusaha dan penguasa. Hal ini terlihat dari setiap RUU yang disahkan yang tidak berpihak pada buruh. Kapitalisme dalam prinsipnya mengeluarkan biaya sekecil- kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar- besarnya, tanpa memandang apakah itu perbuatan zalim atau bukan.
Islam sebagai pemecah problematika umat bukan hanya mengatur ibadah mahdoh (salat, puasa, zakat, haji), namun juga mengatur tata cara pengupahan kepada buruh. SDM (Sumber Daya Manusia) sebagai subjek terpenting dalam membuat suatu produk harus diperhatikan pengupahannya, seperti akad yang telah disepakati antara pemilik modal dan pekerjanya, pengupahannya yang sesuai keahliannya, waktu bekerja, dan tempat bekerja, serta besarnya upah.
Menyangkut kesejahteraan dan kebutuhan buruh beserta keluarganya, maka besarannya tidak dibatasi sebagai Upah Minimum Regional (UMR) seperti kapitalisme, yang mana di setiap daerah yang berbeda, maka berbeda pula besaran UMR. Alhasil, buruh tidak pernah mampu memenuhi dan menyeimbangkan antara penghasilan dan kebutuhan hidup mereka. Tidak hanya itu, Islam melarang pemilik modal menunda pemberian hak upah pekerja. Sebagaimana sabda Rasul saw., “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah RA)
Hanimatul Umah [CM/NA]