CemerlangMedia.Com — Kebakaran hutan dan lahan kini kembali terjadi dan makin luas. Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) BPBD Kalimantan Selatan melaporkan luas total kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Selatan mencapai 163,15 hektare. Berdasarkan data yang dihimpun tim BPBD, Karhutla melanda sebagian wilayah pada satu kota dan enam kabupaten di Kalimantan Selatan (25-6-2023).
Di sisi lain kebakaran terjadi di Suaka Margasatwa Giamsiak kecil, Kecamantan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Diperkirakan 10 hektare habitat gajah Sumatera musnah terbakar sejak pertengahan Juni (25-6-2023).
Jika kita telaah lebih dalam, kebakaran hutan terus terjadi setiap tahunnya. Namun, pemerintah seolah tidak mengambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Juga tidak ada tindak tegas dalam penegakan hukum bagi para pelakunya. Akibatnya perusaahan masih bisa memiliki lahan yang luas dengan izin pemerintah, kemudian dikelola sesuai kepentingannya tanpa mempedulikan dampaknya.
Hal ini wajar, sebab dalam sistem kapitalis yang diterapkan saat ini, negara memberi hak konsesi lahan kepada perusahaan swasta bahkan asing untuk mengelolah lahan yang awalnya hutan gambut atau hutan lindung.
Pangkal kebakaran ini adalah penerapan sistem kapitalis yang melahirkan undang-undang yang telah memberi hak pengelola hutan dan lahan pada korporasi atau perusahaan. Aturan ini lahir dan bersumber dari pemikiran kapitalis yang menjamin hak kepemilikan pada individu dan korporasi. Hak kepemilikan yang dijamin negaralah yang membuat pemilik modal atau korporasi boleh memiliki apa saja yang dikehendaki.
Maka sekadar seruan atau peringatan untuk tidak membakar hutan saja tidak cukup, apalagi setelah pembakaran justru negara yang bertanggung jawab memadamkan api. Sementara tindakan tegas pada perusahaan yang menjadi pelaku tidak serius dilakukan. Tentu ini tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan akan terus berulang.
Dalam Islam, hutan dan lahan gambut merupakan sumber daya alam yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta karena memiliki fungsi ekologi penting bagi banyak orang sehingga dikategorikan sebagai harta milik umum. Sebagaimana hadis Rasulullah, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Hal ini berarti bahwa pengelolaan dan pemeliharaan hutan dan lahan gambut harus dilakukan oleh negara bukan individu atau swasta.
Negara berfungsi sebagai raa’in dan junnah. Sebagai raa’in (memelihara urusan rakyat) yakni bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan sesuai fungsinya untuk kemaslahatan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya. Dalam hal ini, pemerintah perlu memberikan edukasi dan membangun kesadaran rakyat guna berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hutan sehingga manfaatnya bisa dirasakan generasi berikutnya. Dan sebagai junnah (pelindung), pemerintah tidak boleh membiarkan hutan bebas dimiliki oleh individu atau swasta dari agenda hegemoni climate change yang bisa berdampak buruk.
Jika negara berjalan sebagaimana fungsinya seperti dalam Islam, insyaallah persoalan karhutla bisa diatasi. Dengan demikian, untuk menghilangkan persoalan karhutla ini adalah dengan menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem yang mengatur kehidupan ini dengan menerapkan syariat Islam secara kafah.
Nurul Afifah [CM/NA]