CemerlangMedia.Com — Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagikan sertifikat tanah kepada warga Grobogan Jawa Tengah. Ia juga memberi izin jika di kemudian hari sertifikat digadai, dengan catatan untuk modal usaha. Pembagian sertifikat tanah dinilai meminimalkan potensi sengketa yang merugikan rakyat saat di kemudian hari ada pihak yang mencoba mengeklaim tanah tersebut (23-1-2024).
Selama ini, penguasa sering kali beralasan jika mafia tanah itu sulit untuk diberantas. Bagaimana tidak, selain dikarenakan adanya ‘orang dalam’ di kementerian terkait, kita bisa saksikan pula, ada oknum PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang juga merupakan kaki tangan mafia tanah. Para mafia tanah itu tidak sekadar memalsukan dokumen, mereka juga mencari legalitas di pengadilan, membidik penduduk legal, hingga rekayasa suatu perkara.
Tidak hanya itu, mereka juga berkolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, ditambah kejahatan korporasi, seperti penggelapan dan penipuan, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, dan hilangnya warkah tanah. Semua itu dilakukan dengan sistemis dan terencana.
Hal tersebut tentu tidak mengherankan karena sistem yang tegak saat ini terkesan menaungi fenomena mafia tanah. Tidak sedikit juga oknum pejabat yang kemudian melindungi, bahkan membiarkan. Ironinya, dari pemerintah sendiri masih minim tindakan tegas untuk memberantas. Alih-alih memberantas, justru mafia tanah makin tumbuh subur.
Dalam Islam, persoalan kepemilikan tanah telah diatur secara rinci. Tanah dapat dimiliki dengan enam cara menurut hukum Islam, yaitu melalui jual beli, waris, hibah, ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).
Nah, jelaslah bahwa masalah kepemilikan tanah adalah untuk produksi, bukan semata untuk kepemilikan, terlebih untuk konsumsi. Oleh karenanya, kepemilikan tanah tetap akan ada jika produksi ada. Demikian pula hak dalam kepemilikan tanah akan hilang jika produksi tidak terealisasi.
Oleh karena itu, sudah semestinya konsep Islam inilah yang kemudian menjadi landasan atas kepemilikan tanah bagi warga, bukan pembagian sertifikat saja, apalagi malah menganjurkan warga untuk menggadai sertifikat tersebut demi memperoleh pinjaman dana. Ini jelas menjerumuskan warga ke dalam jurang keharaman riba. Nauzubillah. Wallahu a’lam bisshawwab.
Alfira Khairunnisa
Rokan Hilir, Riau [CM/NA]