CemerlangMedia.Com — Sepasang manusia yang sedang dimabuk asmara rela melewati hambatan apa pun. Baik hambatan ekonomi dan keluarga, bahkan hambatan perbedaan agama. Hal ini tampak dari munculnya kasus pernikahan beda agama.
Kasus pernikahan beda agama di Indonesia ternyata bukanlah yang pertama. Terakhir Kasus pernikahan beda agama dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat yakni pemohon JEA yang beragama Kristen berencana menikah dengan SW yang beragama Islam. Padahal keharaman pernikahan beda agama telah dikeluarkan dalam fatwa MUI pada 2005 (24-6-2023).
Tentu publik patut bertanya alasan pengadilan membolehkan hal tersebut terjadi. Secara hukum Islam, penjelasan keharaman pernikahan beda agama telah tertuang jelas di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 221. Di dalam ayat tersebut dinyatakan larangan menikahi orang musyrik hingga dia beriman. Orang musyrik bermakna mereka yang menyembah selain Allah. Sedangkan ahli kitab adalah orang Yahudi dan Nasrani.
Dalam Islam, seorang laki-laki dibolehkan menikahi ahli kitab. Sedangkan seorang perempuan tidak boleh menikah dengan orang musyrik maupun ahli kitab. Ini ketentuan baku yang telah Allah tentukan dalam rangka menjaga keluarga muslim agar berada dalam keberkahan. Bukan semata-mata membentuk keluarga.
Pembentukan keluarga muslim dibangun di atas dasar akidah Islam dalam rangka beribadah. Seorang muslim seharusnya memperhatikan syarat-syarat untuk menikahi sesorang. Walaupun tercantum hadis kebolehan seseorang melihat kriteria kecantikan, harta, dan keturunan. Akan tetapi, penilaian utama terletak pada agama.
Berbeda dengan kondisi saat ini, ketika kaum muslim hidup dalam aturan sekularisme. Setiap individu bebas menikah dengan siapa saja tanpa melihat agama. Hanya dengan alasan hak asasi manusia, hakim pun bisa mengabulkan permohonan pemohon yang menikah beda agama dengan alasan sosiologis dan UU Adminduk.
Negara pun tidak akan menghambat ketika ada individu yang menikah beda agama. Alasan kebebasan dan heterogenitas masyarakat pun ditonjolkan. Negara akan menjamin kebebasan, selama individu mendapatkan apa yang menjadi tuntutannya. Maka, selama negara mengadopsi aturan sekularime, pernikahan beda agama akan terus bermunculan. Akankah kita rela, jika negara menerapkan aturan yang seharusnya tidak boleh diterapkan bahkan haram menurut syariat Islam?
Putri Ira [CM/NA]