CemerlangMedia.Com — Parlemen Jepang menaikkan usia sah persetujuan aktivitas termasuk di dalamnya hubungan seksual yaitu dari usia 13 tahun menjadi 16 tahun (16-6-2023).
Aturan baru itu juga sebagai klarifikasi terhadap persyaratan penuntutan perkosaan dan mengkriminalisasi voyeurisme (mengintip) dengan kata lain pasangan remaja di atas 13 tahun masih bisa bebas dari tuntutan hukum jika perbedaan usia pasangan itu tidak lebih dari 5 tahun, sebagaimana dikutip dari AFP. Aturan tersebut juga berisi banyak daftar permasalahan seperti permasalahan penuntutan perkosaan, korban di bawah pengaruh alkohol, narkoba, ketakutan dan pemanfaatan status sosial.
Dari penjelasan di atas nampaklah masalah aktivitas manusia di masyarakat Jepang diatur dengan perubahan aturan yang melihat dari sisi penaikkan usia, berarti sama saja aturan tersebut tetap memperbolehkan adanya hubungan seksual setelah berusia 16 tahun dan juga membolehkan hubungan seksual asal suka sama suka. Hubungan seksual yang dianggap sebagai persetujuan aktivitas semata hanya dipandang dari sisi usia. Ini sama saja mengakomodir adanya kemaksiatan meski usianya sudah dewasa.
Hal tersebut mengakibatkan timbulnya masalah baru dan berujung dengan terjadinya peningkatan masalah seperti free sex yang berujung pada aborsi, penyakit kelamin, kematian, penurunan populasi (akibat dari ketidakinginan mereka berkeluarga), penyebarluasan video porno, serta lain sebagainya.
Mengadopsi pemikiran sekularisme sebenarnya sama saja mengantarkan manusia ke gerbang kehancuran. Negara harusnya tidak melegalkan hubungan seksual di luar pernikahan. Padahal pernikahan adalah ikatan sakral yang harusnya menjadi satu-satunya pintu untuk laki-laki dan perempuan sebelum melakukan hubungan seksual. Ikatan pernikahan yang penuh komitmen dan hikmah yang selama ini banyak diabaikan.
Aturan baru di Jepang tersebut lahir dari pemikiran sekularisme negara yang melakukan pemisahan agama dari kehidupan serta mengedepankan hak asasi manusia (HAM) yang saat ini menjadi kebebasan yang kebablasan. Hukum yang landasannya hanya dari akal manusia mengakibatkan sering terjadinya perubahan aturan. Hal ini menandakan ketidaksesuaian aturan dengan akar masalah.
Oleh karenanya, akan sering terjadi kesalahan dan masyarakat akan terus menjadi korban percobaan dari aturan yang tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat akan makin mengalami keresahan, kesusahan, ketidakadilan, serta kezaliman.
Dengan demikian, masyarakat khususnya negara harus melihat akar permasalahan yang dihadapinya yakni ketidak adanya penerapan aturan Islam secara sempurna. Sudah saatnya masyarakat dan negara saling bekerja sama untuk menyatukan pemikirannya, aturannya, dan menyerahkan segala aktivitasnya kembali hanya untuk meraih keridaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan tujuan manusia diciptakan.
Dewi Maharani
Kisaran, Sumatera Utara [CM/NA]